Rabu, 30 April 2014

DANA HIBAH UNTUK MASYARAKAT ADAT



Nus Ukru diutus sebagai Anggota Komite Pengarah DGM Regio Kep. Maluku


AMBON - Indonesia menjadi bagian penting dari perundingan program kehutanan. Melalui Dedicated Grant Mechanism (DGM) masyarakat adat dan komunitas local mendapat dukungan pendanaan sebesar $ 6,500,000 (65 Miliyar) dari Forest Invesment Program (FIP). Dukungan ini diberikan ke mereka yang memiliki inisiatif dalam pengelolaaan hutan berkelanjutan.

Suasana Pertemuan DGM Regio Kep. Maluku (Dok. AMAN Malut)
Dalam rangka program itu kelompok masyarakat adat di Regio Kepulauan Maluku (Maluku dan Maluku Utara) berkumpul di Hotel Merina Kota Ambon melakukan dialog isu – isu kehutanan dan melakukan musyawarah untuk memilih satu perwakilan regio Kepulauan Maluku menjadi Anggota Komite Pengarah Nasional DGM. Pertemuan tersebut berlangsung selama dua hari (29-30/04/2014) dan difasilitasi oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamar Masyarakat.

Prof. Ronald Z. Titalehu dan Totok Dwi Diantoro SH, MA, LL.M yang diberikan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam dialog tersebut, mengurai beragam isu – isu kehutanan yang saat ini menjadi perbincangan di tingkat lokal, nasional dan internasional. Salah satunya Hutan Adat berdasarkan Putusan MK 35. Kegiatan eksploitasi pertambangan d pulau – pulau kecil juga banyak memberikan dampak negatif terhadap penghancuran sektor kehutanan dan masyarakat adat yang hidup dengan kearifan lokal mereka. Selain itu saat ini sudah lahirnya UU Desa yang memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk kembali menjadi Desa Adat.


Peserta pertemuan DGM Regio Kep. Maluku (Dok. AMAN Malut)
Salah satu anggota komite transisi DGM, Mina Susana Setra hadir juga dalam pertemuan tersebut. Penjelasan beliau, “Ini hibah khusus untuk masyarakat adat dan lokal yang memiliki inisiatif mendorong mata pencaharian alternatif, hak – hak tenurial, keanekaragaman hayati, pengurangan kerusakan hutan dan adaptasi perubahan iklim akan di suport oleh program ini” Kata perempuan yang juga sebagai Deputi I PB AMAN ini.    


Lanjut beliau, hibah khusus dari FIP ini terdapat di 6 negara, Brazil, Indonesia, Burkina Faso, Republik Kongo, Ghana dan Lao PDR. Untuk Indonesia pembiayaan hibah ini akan langsung turun ke masyarakat, tidak lagi melalui pemerintah. Selain itu saat ini sedang disiapkan kelembagaannya agar program ini bisa berjalan sesuai rencana.

Dalam Musyawarah Regio Kepulauan Maluku Utara, Nus Ukru yang juga sebelumnya sebagai anggota DAMANNAS dipercaya untuk duduk menjadi anggota komite pengarah DGM di nasional *Supriyadi


Selasa, 29 April 2014

REFORMASI HUKUM DAN HAM; AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT



Ternate. Senin 28 April 2014, Kantor Berita Radio KBR68H - Jakarta menyelenggarakan Dialog Publik dengan tajuk “Reformasi Hukum dan Ham” Akses Keadilan Bagi Masyarakan Adat. Bertempat di Hotel Bukit Pelangi. Narasumber dialog publik ini yaitu, Kepala Biro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim, Dirjen Kementerian Perikanan dan Kelautan, Sudirman Saad
  
Penjelasan Perwakilan Kepala Kanwil Hukum dan Ham Malut (Dok AMAN Malut)
Dialog publik ini dipandu oleh Agus Lukman Amsa dari KBR68H. Beliau dalam pengantarnya mengatakan KBR68H adalah kantor berita radio swasta terbesar di Indonesia. Saat ini KBR68H melayani lebih dari 960 radio jaringan di Indonesia, sejumlah negara di asia serta Australia. KBR68H memproduksi program-program berbasis jurnalisme dan beritanya bagus sehinga menjadi referensi masyarakat. Dengan jaringan yang sangat luas dan menjadi media yang efektif untuk menyebarkan pesan sosial “Reformasi Hukum dan HAM” termasuk menyebarkan informasi terkait dengan sejauh mana implemetasi Putusan Mahkamah Konstitusi  35/PUU-X/2012 yang memisahkan hutan adat bukan lagi hutan Negara dan bagaimana implikasi dan rencana implementasi oleh masyarakat adat. 

Ubaidi Abdul Halim, Jika Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) tidak segera disahkan DPR RI tahun ini, maka “Keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat” tak kunjung datang. Masyarakat adat berhak mendapatkan restitusi dan konpensasi yang adil dan layak atas tanah dan sumberdaya alam mereka. RUU PPHMA adalah solusi untuk menjawab konflik sosial dan agraria di lapangan, “tegasnya. Betapa tidak, seluruh wilayah masyarakat adat dan  sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada pengusaha lewat skema perizinan untuk eskploitasi tanpa ada proses negosiasi dengan masyarakat adat. Di Maluku Utara ada 345 Izin Pertambangan (IUP, KK, KP) yang dikeluarkan pemerintah daerah dan lebih gila lagi penetapan status kawasan hutan tanpa ada musyawarah adat atau kesepakatan bersama masyarakat adat dan ini akan memicu konflik sosial.”katanya. 
 
Kepala Biro OKK AMAN Malut, Ubaidi Abdul Halim membeberkan masalah pengabaian hak-hak masyarakat adat di Maluku Utara (Dok AMAN Malut)
Kita mengetahui bahwa sudah satu tahun lamanya Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian perubahan beberapa pasal dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang memisahkan hutan adat dari hutan negara, semestinya pemerintah daerah di seluruh Nusantara menyambut ini dengan membuat peraturan daerah untuk melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat,”ujarnya lagi. 

Sementara itu, Sudirman Saad mengatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap mengakui eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat, di dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di pasal 16 ayat 1 disana disebutkan bahwa setiap pemanfaatan wilayah pesisir wajib memiliki izin tapi masyarakat hukum adat diberi kewenangan dalam pemanfatan sumber daya perairan pada wilayah masyakat hukum adat di serahkan kepada masyarakat adat setempat. Tetapi masyarakat adat wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dan kepentingan nasional serta tidak bertentangan dengan Undang-undang.“ Jelasnya.****  

Senin, 28 April 2014

AMAN: Masyarakat Adat di Ternate Kehilangan Hutannya

KBR68H, Ternate - “Kita melakukan plangisasi di wilayah masyarakat hukum adat di Halmahera Utara dan melakukan sosialisasi. Tetapi Dinas Kehutanan di sana malah mengatakan, UU tersebut tidak berlaku di Halmahera Utara. Ini kan aneh bin ajaib. Harusnya mereka menyambut baik,” begitu kata perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Ternate, Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim.

Menurutnya, masih banyak hutan adat yang belum dikembalikan kepada masyarakat adat. Padahal UU-nya sudah ada dan berlaku. Jika diterapkan dengan baik, menurut Ubaidi, putusan MK soal UU Kehutanan tersebut bahkan bakal mampu menetralisir dan membatasi ruang konflik di masa depan.

Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat. Hal penting dari putusan tersebut adalah hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara. Di masa mendatang, hutan adat dikategorikan sebagai hutan hak, sama seperti hutan milik perseorangan ataupun badan hukum.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, selama ini hampir 50 komunitas adat di Maluku Utara kesulitan mendapatkan haknya mengelola sumberdaya alam. Masyarakat adat di Maluku Utara selalu berhadapan dengan pengelola izin tambang, jasa perhotelan dan wisata yang dikeluarkan pemerintah. Hidup dan kehidupan mereka makin terpinggirkan. 

Setelah putusan MK yang memberi hak kepada masyarakat adat mengelola hutannya, ternyata belum berbuah banyak. Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kata Ubaid, masih belum memihak masyarakat adat. Penyebabnya karena kementerian tak gamblang dan tegas memerintahkan pemda untuk menerapkan aturan pasca putusan MK itu.

“Dalam UU Kehutanan, masyarakat adat dianggap sebagai tamu negara. Kesannya dikriminalisasikan. Padahal masyarakat adat yang mempelopori kemerdekaan. Setelah putusan MK No.35/2012 yang memisahkan hutan masyarakat adat dan hutan negara, tetap saja masyarakat adat tersingkirkan,” ujar Ubaid.

Negara harusnya sadar bahwa masyarakat ada punya hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam di Indonesia. Sayangnya, meskipun UU ada, pemda seakan enggan mensosialisasikan peraturan tersebut.

“Banyak yang harus dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satunya wajib mengidentifikasi diri bahwa masyarakat adat ada. Masyarakat juga perlu melakukan plangisasi dan pemetaan wilayah adat, yang kemudian ditunjukan kepada negara,” kata Ubaid.

Dirjen Kepulauan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Kementterian Kelautan dan Perikanan  (KKP) Sudirman Saad mengklaim kementerian sudah mengakui jelas dan tegas pengelolaan pesisir maupun hutan yang menjadi milik masyarakat adat, dikelola dan dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat adat diberi legitimasi untuk mengelola dan memberikan izin bagi siapapun yang ingin mengambil manfaat dari hutan atau wilayah pesisir laut mereka.

“Dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir sudah terang benderang memberikan pengakuan hak eksistensial kepada masyrakat adat terkait hak wilayah mereka, bukan lagi pengakuan atas pemberian negara. Setelah putusan kami pun berkoordiunasi dengan aman.”

Menurut Sudirman, masyarakat adat maupun aliansi, di masa datang harus terus berkordinasi dan bergandengan tangan dengan pemerintah, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk melakukan pemetaan wilayah adat yang ada di Indonesia.

Editor: Fuad Bakhtiar

Sabtu, 26 April 2014

PALA LEBIH MAHAL DARI NIKEL



Oleh : Ubaidi Abdul Halim
Biro OKK AMAN Malut


Buah pala (myristica fragrans) merupakan komoditas asli masyarakat adat Maluku Utara.  Komoditas ini, yang membuat pelayaran bangsa-bangsa Eropa untuk datang ke Maluku Utara. Sumber daya alam Maluku Utara sangat berlimpah ruah sehingga terdokumentasikan dalam lembaran-lembaran sejarah bangsa-bangsa Eropa.  Negeri ini, sering juga disebut Gafilin Mahira.  Negeri yang katanya menyimpan banyak kekayaan alam dan  hampir terlupakan dalam sejarah peradaban manusia yang konon disebut-sebut mengetahui asal-usul sejarah manusia. 

Biji Pala dari Suku Patani, Halmahera Tengah (Dok: AMAN Malut)
 Doktrin politik hegemoni kolonialisme masih terasa di ingatan kita dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Semua orang tahu di masa lalu, bahwa ekspansi ekonomi besar-besaran bangsa Portugis, Spanyol, Inggiris, dan Belanda ingin menguasai ekonomi dan perluasan wilayah serta merebut rempah-rempah berupa pala dan cengkeh di tangan masyarakat adat Pulau Halmahera di Indonesia. Kejayaan Maluku ada di komoditas ini

Hal itu yang mendorong bangsa-bangsa Eropa berlomba- lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah ini. Seiring dengan dogma Gold, Glory and Gospel alias kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama. Berkat kekuatan masyarakat adat dan restu para leluhurlah,  bangsa-bangsa diatas berhasil diusir dari daerah ini.


Pala lebih sejahtera 

Tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa biji pala lebih mahal dibandingkan dengan, “ biji nikel”. Pala saat ini menjadi komoditas berharga di Pulau Halmahera.  Selain memiliki rempah-rempah pala dan cengkeh, Maluku Utara juga kaya akan sumberdaya alam lainnya berupa tambang, emas dan nikel. Bahkan daerah ini, di anugerahi potensi sumberdaya perikanan, jika sektor-sektor ini dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi supporting terhadap kehidupan masyarakat adat dan penduduk Maluku Utara di masa depan.


Bukan tambang tapi pala

Membangun Maluku Utara bukan hanya bertumpu pada sektor pertambangan tapi  ada sektor-sektor lain seperti pala yang harus di pikirkan oleh pemerintah daerah.  Penetapan kawasan hutan sepihak lewat skema perizinan sangat memprihatinkan. Betapa tidak,  hutan dan wilayah masyarakat adat  masuk dalam penguasaan negara padahal sudah diuji (baca Putusan MK 35) konversi lahan produktif menjadi lahan perkebunan sawit terjadi hampir diseluruh wilayah adat di Pulau Halmahera.
Di Patani Timur misalnya, baru-baru ini kita di kejutkan oleh berita Bupati Kabupaten Halmahera Tengah memberikan izin kepada perusahan sawit PT. Manggala Rimba seluas 11.870 Ha. Padahal hutan ini, didalamnya terdapat kebun pala dan cengkih, yang dikelola masyarakat yang mendatang income yang luar bisa secara turun-temurun.


dok. pala suku Patani
Pengambilan kebijakan negeri harus kembali kepada komoditas ini. Namun hari ini, harapan tak sejalan dengan realitas. Sepertinya banyak persoalan pengelolahan dan pemanfaatan sumberdaya alam justru menimbulkan banyak masalah baru. Eksploitasi sektor bertambangan menjadi “juara satu” di dalam nalar dan pikiran pengambilan kebijakan.  Perampasan tanah-tanah di wilayah adat dan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sering mewarnai halaman-halaman pertama media massa. 

Membangun keadilan dan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara hanya mimpi di siang hari bolong karena negara membuka jalan baru dan sering memfasilitasi kepentingan para investor menguras SDA dan mengabaikan kesejatraan umum masyarakat. Lubang masuknya yaitu lewat regulasi perizinan dan Undang-Undang sektoral yang pro terhadap pemodal dan pada akhirnya masyarakat adat akan miskin diatas wilayah yang kaya akan sumberdaya alam itu.

Hari ini, pala harus menjadi komoditas gerakan untuk melawan tambang.  Fakta menunjukan kepada kita bahwa “Suku Patani” di Kabupaten Halmahera Tengah kehidupannya sangat bergantung pada komoditas ini. Biasanya dalam sekali panen, satu pohon pala bisa menghasilkan 2-5 juta rupiah. Artinya pala lebih menjanjikan kesejahteraan ketimbang sektor tambang, sawit dan lain-lain.

Rabu, 16 April 2014

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAGI MASYARAKAT PESISIR DI HOANA GURA




DIKALA ALAM TAK LAGI BERSAHABAT

Aktifitas Warga di Pulau Kumo (Foto : AN)
Global Warming atau Pemanasan global saat ini merupakan  isu penting yang menjadi perhatian seluruh masyarakat dimuka bumi. Pemanasan global memberi banyak dampak negatif terhadap kehidupan mahkluk hidup dimuka bumi terlebih kepada manusia. Dampak yang terjadi seperti perubahan iklim secara drastis yang menyebabkan mencairnya es di kutub. Ini merupakan ancaman bagi ribuan bahkan jutaan orang yang tinggal dan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena naiknya permukaan air laut. Selain itu perubahan iklim berdampak juga terhadap perubahan cuaca yang berakibat semakin sulitnya petani memprediksi cuaca untuk musim tanam ataupun nelayan untuk musim tangkap ikan. 

Masyarakat Hoana Gura, merupakan komunitas adat yang mendiami wilayah pulau Halmahera bagian utara. Wilayah adat komunitas ini terbagi atas wilayah pesisir (3 pulau kecil) dan wilayah dataran rendah sampai berbukit. Kehidupan masyarakat Hoana Gura sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dan buruh pikul. Ini menyebabkan ketergantungan dengan alam sangat tinggi terlebih di laut. Wilayah ini juga kaya akan biodiversity baik di darat maupun di laut.
Di wilayah pesisir, kita bisa dengan leluasa menemukan koral yang masih terjaga dengan baik pada beberapa titik. Selain itu, beragam jenis ikan dan biota laut lain masih dapat dijumpai. Masyarakat biasa mengkonsumsi biota-biota laut tersebut seperti bia (kerang), taripang (teripang), bulu babi dan lain-lain sebagai pelengkap protein mereka.

Beberapa tahun terakhir ini, komunitas Hoana Gura khususnya yang bermukim di pulau Kumo, Kakara dan Tagalaya mengalami masalah serius yakni abrasi air laut yang sedikit-demi sedikit mulai mengikis garis pantai. Terkadang pun air sampai masuk ke lahan kebun dan sekitar pemukiman warga. 6 tahun lalu, pernah terjadi ombak besar sehingga air laut masuk sampe (sampai )di torang (Kami) pe (punya) kobong, Ungkap Pak Wempi Widadari, Kades di Pulau Kumo. Air laut ini menggenangi kebun-kebun warga menyebabkan matinya tanaman dan kerugian bagi masyarakat. Di bagian depan pulau Kumo juga, sering terjadi banjir roob. Ketika ombak besar, air laut masuk melalui celah-celah mangrove dan tergenang, tak jauh dari sekitar pemukiman warga Kumo.

Kondisi Hutan Bakau di Pulau Kakara (Foto : AN)
Cerita yang sama juga terjadi di Pulau Kakara. Atler Wangengela, pemuda Kakara, menuturkan bahwa wilayah timur pulau Kakara terancam putus karena terus menerus dihantam ombak. Tersisa sekitar 20 meter lagi, maka sebagian pulau ini akan putus menjadi dua. Dari laut tarada yang tahan ombak, makanya ombak langsung hantam di pinggir pantai, tutur Atler wangengela. Selain itu, kondisi yang memprihatinkan pula terjadi di sekitar wilayah pemukiman. Bila pasang besar pada bulan tertentu, air laut akan naik sampai dekat dengan pemukiman dan sekolah. Selain itu, sumur-sumur milik warga akan tercampur dengan air laut menyebabkan kelangkaan air bersih bagi warga. Mangrove yang tumbuh di depan pulau sangat membantu karena memperlambat kecepatan ombak, sehingga menurunkan daya rusaknya bagi pulau. Kondisi Kumo dan Kakara pun sama halnya terjadi di Pulau Tagalaya.

Menurut warga, 20 tahun lalu tak pernah terjadi hal-hal seperti ini. Jarang sekali terjadi ombak besar di sekitar 3 pulau ini. Saat ini, prediksi cuaca untuk musim tanam juga telah meleset. Bulan  November sampai Desember harusnya terjadi hujan, makanya bulan tersebut merupakan musim tanam padi. Tapi sekarang, hujan tak tentu. Biasanya mulai bulan Desember ataupun bergeser sampai  bulan Januari dan Februari. Semua ini mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam hal pertanian. Prediksi musim ikan pun berubah. Tak menentu lagi musim musim tersebut. 

Hal diatas merupakan bagian perubahan iklim yang berdampak bagi kehidupan  masyarakat adat. Kearifan lokal masyarakat sangat dibutuhkan sebagai bentuk adaptasi maupun mitigasi menghadapi perubahan iklim guna menekan potensi dampak negatif yang dirasakan masyarakat serta perhatian serius dari berbagai pihak khususnya pemerintah.