Jumat, 29 Maret 2013

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT DALAM MENJAGA HUTAN, MENJAMIN KELESTARIAN HUTAN INDONESIA



Masyarakat adat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dalam satu wilayah serta memiliki hubungan keterikatan sebagai satu keturunan. Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan tersendiri dengan mereka. Hutan bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat adanya tumbuhan yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi masyarakat adat, hutan merupakan symbol dari sebuah harga diri. 

Pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat adat mengerti akan pentingnya hutan sebagai tempat mencari nafkah, penyedia sumber daya, kawasan konservasi, penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya. Penerapan hal ini juga diperkuat dengan aturan-aturan adat yang mengikat. Seperti pemberian sanksi dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah. 

Pembagian kawasan dalam hutan juga menjadi bagian dari pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Pembagian kawasan ini memiliki beragam fungsi, seperti kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian, kawasan untuk berburu dan kawasan terlarang/ hutan larangan dan lain sebagainya tergantung kearifan local dari masing-masing komunitas  masyarakat adat. Kawasan-kawasan tadi digunakan sesuai dengan fungsinya, misalnya kawasan pertanian harus digunakan hanya untuk kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan kawasan berburu. Kawasan terlarang biasanya tidak boleh diganggu dikarenakan adanya situs-situs sejarah dalam kawasan hutan tersebut. Namun fungsi lain dari kawasan ini juga sebagai kawasan konservasi, menjaga mata air atau wilayah-wilayah berlereng agar tidak longsor pada musim hujan. 

Bagaimana dengan pengelolaan hasil hutan ? Pengelolaan hasil hutan dalam kawasan hutan adat tetap diberikan kepada masyarakat untuk mengelola namun harus tetap berpatokan kepada aturan-aturan adat yang berlaku. Aturan-aturan ini dimaksudkan supaya sumber daya hutan seperti kayu, rotan, damar dll itu tetap tersedia bagi semua orang yang membutuhkan serta berkelanjutan. Misalnya pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah harus telah ditentukan jenis kayu dan umurnya sehingga kayu yang ditebang tersebut memang sudah bisa digunakan sehingga tidak ada pembalakan liar dalam kawasan hutan adat. 

Kita bisa melihat beberapa kearifan local dari masyarakat adat di Indonesia dalam menjaga hutannya. Suku Cek Bocek Selensuri di Sumbawa, menjaga hutan mereka dengan aturan adat yang bernama Mungka. Mungka merupakan kegiatan menjaga hutan larangan oleh masyarakat adat yang sekaligus dilaksanakan ketika mereka mencari nafkah dalam kawasan hutan seperti berburu dan mencari tumbuhan obat. Kegiatan ini diatur dengan aturan adat, yaitu Biat. bila ditemukan ada yang menebang pohon yang belum cukup umur akan dikenakan sanksi dan denda. Sanksinya berupa orang tersebut harus menanam pohon yang sama sebanyak 3 pohon sedangkan dendanya biasanya harus menyediakan hewan sebagai korban yang nantinya akan dimakan bersama oleh masyarakat dan juga orang tersebut dilarang untuk masuk kawasan hutan selama satu tahun. 

Di kepulauan Maluku, tata kelola hutan adat dikenal dengan Sasi. Sasi merupakan larangan untuk mengambil hasil hutan dalam jangka waktu tertentu. Ini dimaksudkan agar sumber daya hutan yang ada dapat dipergunakan tepat pada waktunya serta tetap tersedia untuk semua orang. Waktu sasi biasanya 3 - 6 bulan bahkan bisa sampai 1 tahun. Setelah waktu itu selesai, masyarakat bisa mengambil hasil hutan namun dalam batasan yang wajar, seperlunya dan sesuai dengan aturan adat, proses ini dinamakan buka sasi. Aturan inipun mempunyai sanksi dan denda jika dilanggar. Di Maluku tengah, sanksi yang dikenakan biasanya diberi denda adat berupa membayar kembali sesuai dengan yang telah ditentukan dalam aturan adat sedangkan di Maluku tenggara, denda adat bisanya berupa ganti rugi dengan emas . Selain itupun mereka percaya bahwa jika sengaja melanggar sasi akan mendapat musibah. Karena itulah masyarakat benar-benar tahu akan pentingnya menjaga hutan.  
Contoh  diatas merupakan sebagian kecil dari ratusan kearifan lokal masyarakat adat nusantara dalam menjaga kelestarian hutan sebagai tangung jawab dan harga diri mereka.  Hutan dipandang bukan saja sebagai penyedia kayu atau hasil hutan tapi merupakan bagian dari lingkungan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat adat. Ketergantungan inilah yang menjadikan hutan bagi masyarakat adat menjadi sangat penting. Hal ini telah disadari bukan baru saat ini atau kemarin tapi sejak para leluhur dulupun mereka sudah mengerti akan arti pentingnya melestarikan hutan.

Hutanku Hijau, Bumiku Lestari
///***@be.ngingi (http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/03/29/kearifan-lokal-masyarakat-adat-dalam-menjaga-hutan-menjamin-kelestarian-hutan-indonesia-546930.html)

Senin, 18 Maret 2013

AMAN : PEMERINTAH SEGERA MENINJAU KEMBALI IZIN TAMBANG DI MALUKU UTARA



Aksi Memperingati HKMAN Ke 14 Oleh AMAN MALUT

SOFIFI – Masyarakat adat saat ini diperhadapkan dengan model pembangunan yang skala masif dan merampas hak – hak mereka, baik hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Ini bisa dilihat ratusan izin pertambangan dan perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Maluku Utara hampir semuanya berada diatas tanah – tanah adat.
Dimana – mana terjadi konflik agraria karena kebijakan tersebut tidak berdasar pada kehendak masyarakat adat tapi berdasarkan pada kehendak pemerintah. Konflik ini sangat merugikan masyarakat adat, karena mereka harus menerima resiko di kriminalisasi oleh aparat negara jika berani melawan kebijakan tersebut. 

Satu demi satu masyarakat adat di kriminalisasi. AMAN Maluku Utara mencatat dalam 6 bulan berjalan, sudah 50 orang masyarakat adat yang harus berurusan dengan polisi. ”Baru 6 bulan berjalan sudah 50 orang masyarakat adat yang ditangkap sebagian dibebaskan bahkan juga ada yang dipenjara berbulan – bulan” ungkap Munadi Kilkoda, Deputi AMAN Maluku Utara.

AMAN Maluku Utara menyesalkan Maluku Utara di design dengan mengandalkan sektor tambang. Bahkan skema Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mendorong tambang sebagai sektor unggulan di Halmahera. Ini tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan dan mempersempit ruang hidup masyarakat adat. ”168 IUP dikeluarkan oleh Pemda kita bahkan akan bertambah karena MP3EI itu dan kami pastikan hampir sebagian besar izin tambang ini ada diatas tanah – tanah adat, izin – izin ini juga akan memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat adat dan Maluku Utara, karena itu kami desak di tinjau ulang” Tegas Munadi dalam orasinya.
AMAN juga mendesak kepada pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang – Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak – Hak Masyarakat Adat. RUU PPHMA yang saat ini sudah di bahas DPR RI ini penting ada untuk memastikan hak – hak masyarakat adat itu dilindungi dan diakui baik hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Bahkan juga menjadi solusi dalam penyelesaian konflik agraria. ”Pemerintah Maluku Utara harus mendukung RUU segera disahkan, ini sebagai pertanggungjawabn konstitusional mereka kepada masyarakat adat” Ungkap Mahyudin Rumata ketika membacakan pernyataan sikap.

Aksi ini digelar pada tangal 18 Maret 2013, dipusatkan di Sofifi sebagai ibukota provinsi. Massa aksi yang berasal dari AMAN Maluku Utara, BPAN Maluku Utara, Komunitas Masyarakat Adat Pagu, dan Komunitas Masyarakat Adat Sawai ini melakukan orasi di kantor DPRD sejak 09.30 dan menutup orasi mereka pada pukul 14.30 di kantor Gubernur Maluku Utara. Selain berorasi, massa aksi juga membagikan selebaran yang isinya menyampaikan pesan tentang situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat serta meminta publik untuk mendukung pengesahan RUU PPHMA. Setelah itu mereka kembali dengan tertib.