Kamis, 27 Februari 2014

EKSPEDISI SUKU TOBELO DALAM DODAGA

“ PEMETAAN WILAYAH ADAT DAN MEMAHAMI LEBIH DEKAT HUBUNGAN SUKU TOBELO DALAM DODAGA DENGAN HUTAN SERTA BERBAGAI PERMASALAHAN MEREKA ”


Tim Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga
Matahari mulai menunjukan dirinya ketika team ekspedisi suku Tobelo Dalam Dodaga tiba di dusun Tukur-tukur Desa Dodaga, sekitar jam 09 pagi, Senin 24 Januari. Tukur-tukur merupakan anak dusun dari desa Dodaga yang mayoritas penduduknya merupakan suku Tobelo Dalam Dodaga atau dalam bahasa setempat Ohongana Manyawa. Kurang lebih 20-an kepala keluarga mendiami dusun ini lebih dari 14 tahun lalu ketika adanya program resetlment dari Dinas Sosial waktu itu. Suku Tobelo Dalam Dodaga sudah mendiami wilayah dataran wasilei sampai kearah perbatasan Buli sejak ratusan tahun lalu.
Ekspedisi Tobelo Dalam, begitulah kami menamakannya. Sebenarnya ekspedisi ini merupakan kelanjutan proses pemetaan partisipatif wilayah adat Dodaga. Inisiatif untuk dilakukannya pemetaan datang sendiri dari masyarakat Dodaga, menyadari adanya ancaman dari luar terhadap hutan dan wilayah adat mereka.
Setelah seluruh anggota tim, Abah Kasiang, Abah Lihang, Abah Uhe, Abah Madiki, Bung Jems, si bule Cai dan saya menyiapkan berbagai peralatan sederhana dan breffing singkat, kami pun berangkat.               DAN EKSPEDISI PUN DIMULAI

Menyusuri kebun warga dan aliran sungai-sungai kecil hampir dua jam,  kami pun tiba di pintu masuk ke wilayah hutan tobelo dalam. Kicauan burung Rangkok dan Kakatua, seakan mau mengucapkan selamat datang kepada kami dengan barisan pohon  besar berbaris lurus menjadi pagar dalam perjalanan kami hari ini. Tujuan kami hari ini adalah Magelenga, yang merupakan batas wilayah adat Dodaga dengan Lolobata. Jalan yang licin, berbukit dengan sisi kiri kanannya adalah jurang, membuat kami harus tetap ekstra hati-hati. Tiba di Magelenga, kami pun mengambil titik koordinat dengan GPS sambil tetap menyalakan track jalur kami hari ini. Setelah itu, kami harus berhenti sebentar untuk makan siang guna menambah stamina kembali.
Sagu, Ikan Ngafi (teri Halus) dan kopi panas menjadi sajian pengobat rasa lapar.  Setelah makan siang kami kemudian melanjutkan perjalanan hingga terdengar suara serangga yang merupakan penanda bahwa sore hampir selesai dan malam akan datang. Dengan berbekal terpal, tenda pun didirikan seadanya menggunakan bahan-bahan dari hutan yang tersedia. Makan malam pun segera disiapkan. Setelah acara bangun membangun selesai dan makan memakan berakhir, pentas seni tradisional menjadi acara penutup hari ini. Abah Kasiang pun menjadi actor di pentas seni ini. Basalumbe dan Bakabata menjadi nyanyian malam dengan iringan musik suara binatang malam yang ikut berdendang bersama kami. Pentas seni tanpa lampu dengan suasana gelap ditemani cahaya bulan yang menembus celah-celah pohon besar dan sisa api di tungku yang hampir padam. Menurut Abah kasiang, nyanyian ini sudah tak lagi dinyanyikan ketika mulai adanya teknologi tape dan VCD. Anak muda pun tak lagi menguasai nyanyian ini.  

Track sungai dan kebun warga
Hari berikut, tujuan kami adalah Luriiha, yang adalah batas antara Dodaga dan Akelamo. Perjalanan hari ini menyusuri sungai Lolaiha. Batu-batu besar yang licin merupakan track kami di hari yang kedua ini. Sekitar jam 2 siang kami pun tiba di Luriiha. Pemandangan menarik sepanjang perjalanan kami adalah  terpampangnya papan nama bertuliskan Taman Nasional atau Taman Nasional Lolobata. Ini pertanda bahwa kami berada didalam kawasan taman Nasional.

Saat makan siang, kami coba berdiskusi kecil tentang taman nasional Lolobata. Menurut Abah Madiki, yang adalah kepala suku Dodaga, Taman Nasional Lolobata masuk diwilayah ini tanpa Basiloloa (meminta izin/permisi) di masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga. Pemerintah seenaknya saja menetapkan hutan kami menjadi taman nasional padahal disitu ada kebun, tempat berburu, tempat sejarah dan hutan adat. Kami pun dibatasi untuk masuk ke hutan dan mulai dilarang untuk berburu serta memasang jerat.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, sampai terdengar lagi suara serangga malam, menandakan tenda harus cepat-cepat didirikan. Makan malam menanti kembali. Setelah itu kami mulai berdiskusi  tentang kegelisahan mereka akan wilayah dan hutan. Masalah yang sementara mereka hadapi adalah gempuran transmigrasi dan  himpitan taman nasional Lolobata. Ini merupakan ancaman bagi wilayah adat mereka. Bagi mereka hutan memiliki hubungan emosional tersendiri dengan suku Tobelo Dalam. Hutan menjadi tempat berburu, tempat tumbuh tanaman obat, mencari hasil hutan dan juga sebagai tempat lahir serta rumah mereka. Hutan juga merupakan tempat berdiamnya para leluhur masyarakat Tobelo dalam.

Masyarakat Tobelo dalam memiliki cara tersendiri memperlakukan alam mereka khususnya hutan. Ketika hasil buruan mereka melimpah, mereka melakukan upacara Gumatere sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan leluhur yang telah menyediakan makanan bagi mereka. Di tempat-tempat tertentu dalam hutan, masyarakat dilarang masuk karena merupakan daerah keramat yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Gunung menjadi penanda batas wilayah antar sesama kelompok orang Tobelo Dalam. Bila mereka berburu dan binatang buruan mereka masuk dalam wilayah kelompok lain, maka mereka tak mengejarnya lagi karena itu telah menjadi bagian kelompok lain. Hal itu masih dipatuhi sampai sekarang. Disepanjang aliran sungai tumbuh berbagai jenis tanaman obat yang biasa dipergunakan oleh masyarakat.

Sebelumnya tak pernah terdengar raungan mesin chainsaw didalam hutan sampai masuknya transmigrasi yang juga berperan dalam penghancuran hutan adat kami, tutur Abah Uhe. Di Gunung, di dalam hutan dan sungai ada sejarah asal muasal orang Tobelo Dalam Dodaga, cerita tentang para tetua kami dan juga ada makanan dan obat-obatan. Bila gunung dan hutan hancur maka sejarah kami pun hilang, cerita para tetua pun tak terdengar lagi dan kami akan kelaparan karena hewan buruan tidak dapat kami jumpai juga leluhur pasti akan marah, ujar Abah Lihang. Memang miris sekali mendengarkan hal ini. Para tetua inipun berkomitmen untuk tetap menjaga wilayah adat mereka. karena yang kami lakukan bukan untuk saat ini saja tapi untuk generasi kami turun temurun, untuk anak cucu kami penerus suku Tobelo Dalam Dodaga, ungkap Abah Kasiang.

Memang benar yang diungkapkan para tetua ini. Masuknya transmigrasi berpengaruh terhdap perubahan pranata budaya dan juga dalam pengrusakan hutan adat masyarakat Tobelo Dalam Dodaga. Sama halnya juga dengan penetapan kawasan taman nasional yang membatasi akses masyarakat dalam mengelola hutan.
Perjalanan hari ke 3 dan ke 4, dengan menyusuri sungai sambil sesekali keluar celoteh kejengkelan para tetua tentang adanya taman nasional.

Di sore terakhir kami dalam hutan, para tetua ini dengan kompak memperagakan tarian Cakalele yang merupakan tarian perang dan tarian Tide-tide dengan iringan music dari handphone sambil bercanda gurau dan pastinya masih tetap semangat.

Perjalanan 4 hari ke dalam hutan adat Dodaga, menyisakan berbagai cerita tentang bagaimana masyarakat Tobelo Dalam Dodaga memperlakukan hutan serta hubungan emosional mereka dengan gunung, hutan dan sungai.
Karena disana ada cerita dan disana ada sejarah…………….

(juniorabe.blogspot.com//Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga)
Abe Ngingi




Selasa, 11 Februari 2014

Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat di Hutan Halmahera

Catatan Lapangan ke Walaino, Suku Tobelo Dalam)

OLEH: UBAIDI ABDUL HALIM
Kepala Biro OKK AMAN Malut

 Salah satu persoalan yang menjadi perhatian publik, ada pada pengelolaan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan aspek penting seperti hak masyarakat dan lingkungan, menjadi penyebab utama persoalan. Semangat Pasal 33 UUD 1945 belum terwujudkan secara nyata. Hak – hak masyarakat adat di rampas begitu saja, kerusakan lingkungan dimana – mana, krisis identitas membuat masyarakat menjadi manusia yang individualistik, kemiskinan melanda karena sektor produktif lainnya tidak bisa lagi di kelola masyarakat. Bahkan kriminalisasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan yang kita harapkan bisa memberikan harapan hidup bagi masyarakat adat, justru terbalik menjadi malapetaka. Itulah gambaran Maluku Utara dalam satu kesempatan diskusi sebelum saya melanjutkan perjalanan ke pemukiman masyarakat adat yang saat ini diperadapkan dengan arus kapitalisme global.

Malam itu 12 Desember 2013, sekitar pukul 22.00 Wit, saya menempuh perjalanan dengan kapal laut KM. Nur Abadi. Perjalanan dengan rute Tobelo – Patlean ditempuh sekitar 6 jam. Sedikit bergelombang menyambut kami yang berlayar di laut Halmahera, ditemani juga musik dangdut “Kereta Malam”. Suasana di dalam kapal sangat ramai dengan penumpang. Kapal dengan tujuan beberapa kampung di Halmahera Timur itu mengangkut penumpang dengan berbagai tujuan. Saya memilih istirahat lebih cepat, agar bisa menyiapkan energi sebelum masuk ke perkampungan suku Tobelo Dalam di Walaino. Menjelang pagi kami tiba di Desa Patlean, pelabuhan dimana saya harus turun dan berpisah dengan penumpang yang akan melanjutkan perjalanan berikut.


Perkampungan itu adalah Walaino, dusun kecil dari Desa Pumlanga. Jarak dari Patlean ke dusun ini sekitar 20 kilometer lebih. Alat transportasi yang tersedia hanya motor laut dan jasa angkutan motor  dan ojek. Sekali perjalanan biaya  sekitar Rp. 200.000. Jalannya belum beraspal,  dengan kerikil tajam yang membahayakan setiap pengendara motor. Warga di sini sudah sangat akrab dengan kondisi jalan tersebut. Dalam pandangan saya belum terlihat niat baik pemerintah memperbaiki jalan tersebut. Mereka hanya berkepentingan menggaruk sumber daya alam di sekitar wilayah ini, baik tambang dan kayu.

Dusun Walaino tempat tinggal Suku Tobelo Dalam berada di tengah hutan Halmahera. Dusun ini adalah salah satu dari 19 titik penyebaran Suku Tobelo Dalam (O hongana manyawa) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan (Data Survey Burung Indonesia). Dalam berbagai catatan dan tulisan, suku ini sedang berhadapan dengan ganasnya kebijakan pembangunan pada sektor tambang, Taman Nasional, HPH dan transmigrasi yang mengancam identitas mereka. Di beberapa tempat yang berada di Wasile, suku ini terusir dari tanah adatnya. Tanah dan hutan mereka di konversikan oleh pemerintah untuk kegiatan – kegiatan di atas.

Mereka yang hidup menetap di dusun Walaino sebanyak 66 kepala keluarga (KK) dan sekitar 300-an jiwa. Dalam sejarah asal – usul dan turunan, awalnya mereka terdiri dari 7 bersaudara sekandung yakni Hidotu Kaibi, Mukurino Kaibi, Mely Kaibi, Buayang Kaibi, Dunia Kaibi, Puko Henggo Kaibi dan Duguyang Kaibi yang kemudian melahirkan anak – cucu sampai berjumlah seperti saat ini. Kelompok ini dipimpin seorang kepala suku yang bernama Duguyang Kaibi. Hampir sebagian besar dari mereka belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. Komunikasi sehari – hari dengan bahasa Tobelo.

Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Alam menjamin keberlanjutan hidup mereka dari turun – temurun sampai saat ini. Sejak  adanya program transmigrasi Patlean di atas wilayah adat, terjadi penyempitan lahan perkebunan. Mereka tidak bebas membuka lahan kebun. Hewan – hewan yang diburu seperti rusa dan babi juga sudah sulit didapat. Selain itu juga banyak orang yang masuk ke hutan adat mereka melakukan pembalakan liar yang dikomersilkan.

Duguyang melanjutkan cerita bahwa pemerintah melalui Kemensos (2013) melaksanakan program resetlemen dengan membangun rumah beratap seng, berdinding kayu. Sayangnya sejak awal dibangun sudah diprotes warga adat, karena tidak sesuai konsep rumah mereka yang harusnya rumah  panggung sehingga di kolong  rumah bisa dijadikan kandang hewan piaraan, seperti anjing dan  sirkulasi udara juga bisa berjalan lancar. Tentu yang dibikin pemerintah ini sangat beda. Kalau di tempati siang atau malam begitu panas, karena itu bagi mereka yang sudah menempati rumah ini, pada malam hari memilih tidur di kebun. Sebagian dari mereka memilih tidak menempati rumah tersebut dan memilih tinggal di rumah yang mereka bangun sendiri.

Pada satu kesempatan pertemuan warga adat Walaino dengan pemerintah pada 16 Desember lalu, saya saksikan sendiri penolakan warga atas rencana pemerintah membangun bendungan transmigrasi. Warga menolak karena bendungan itu akan menggusur kebun kelapa, pala dan tanaman lain bahkan menyebabkan krisis air dikemudian hari.

Dalam pertemuan itu, petugas pemerintah dikawal beberapa anggota polisi. Rupanya ada intimidasi dilakukan pemerintah dalam bernegosiasi. Selesai pertemuan petugas  kemudian memberikan setiap orang uang dengan nilai Rp50.000. Entah apa maksud dari pemberian uang tersebut.  Pembangunan apa pun bentuknya, jika masuk dalam wilayah komunitas masyarakat adat, harus berdasarkan dengan mekanisme FPIC. Mekanisme ini melarang salah satu pihak melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, termasuk juga kehadiran polisi dalam pertemuan dengan warga Tobelo Dalam di Walaino. Dan keputusan apapun yang diputuskan oleh masyarakat adat Walaino, harus dihormati oleh pemerintah, bukan dengan cara menyogok dan di intimidasi.

Uang dan Produk Modernisasi di Walaino

Sejak kapan komunitas Tobelo Dalam di Walaino ini mengenal uang sebagai alat transaksi belum diketahui pasti. Namun fakta kekinian menunjukan ada perubahan paradigma dalam kehidupan mereka. Uang menjadi alat transaksi setiap saat, baik untuk kebutuhan sehari – hari maupun pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang mereka lakukan harus dibayar tenaganya dengan uang. Mereka bahkan menawarkan jasa angkutan bagi setiap orang yang melintasi sungai Akelamo. Rp 10.000 harga untuk setiap orang. Pekerjaan ini dilakukan oleh kelompok perempuan. Masyarakat adat Tobelo Dalam di Walaino, harus berhadapan dengan gelombang modernisasi yang begitu kencang masuk dalam ranah kehidupan. Derasnya informasi dan teknologi, ikut membentuk perilaku mereka. Produk makanan siap saji, misalnya beras,  mie instan ,  air mineral, buskuit dan obat – obatan (pil). Kendaraan bermotor, tv dan pakaian sudah menjadi alat yang dipergunakan setiap saat. O Doro, salah satu dari warga adat Walaino, walaupun tinggal di rumah yang sangat sederhana (bevak), tapi menjadi pedagang barang – barang tersebut. Sering juga yang bersangkutan membersihkan gigi dengan menelan pepsodent. Dalam satu acara nonton bareng film Wiro Sableng di rumah salah satu warga pada malam hari, raut wajah mereka begitu berbeda melihat adegan demi adegan yang ditampilkan aktor utama dalam cerita film tersebut. Besoknya anak – anak bermain dengan meniru gaya Wiro Sableng. Film itu memberikan pesan yang gampang sekali bisa merubah perilaku mereka.

Hemat penulis, ada pergeseran perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Produk – produk modernisasi tadi berkontribusi besar membentuk semua itu. Bahayanya bisa menciptakan ketergantungan mereka terhadap produk tersebut. Salah satunya soal makanan dan obat – obatan. Dua hal ini sebenarnya tersedia di wilayah adat mereka. Mereka tidak perlu bergantung pada produk dari luar. Menurut keterangan dari mereka, produk seperti ini dikenal ketika perusahan masuk berinvestasi di wilayah mereka, termasuk masuknya trasmigran dan proses interaksi dengan penduduk di luar mereka.

Ketahanan diri dengan budaya yang mereka miliki harus bangun. Kapasitas pengetahuannya mereka harus diperkuat agar bisa membedakan mana yang membahayakan dari aspek kebudayaan mereka dan mana yang bisa diterima. Pandangan mereka tentang alam yang sebagai kearifan lokal (local wisdom) harus terus terpelihara karena itu kunci dari kemampuan mereka bisa bertahan hidup. (*)

Cemari Lingkungan, Pemerintah Didesak Putus Kontrak Karya PT NHM

”PT. NHM Dapat Emas, Masyarakat Dapat Limbah.” Begitu bunyi spanduk yang dibentang dalam aksi protes gabungan organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa pada Selasa (17/12/13), di Ternate, Maluku Utara. Mereka protes pencemaran Teluk Kao, akibat limbah perusahaan tambang emas, PT Nusa Halmahera Mineral (NHM).
Aksi organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa protes pencemaran Teluk Kao, akibat limbah PT NHM

Massa aksi yang tergabung dalam Front Penyelamat Teluk Kao, hari itu turun ke jalan mendesak pemerintah segera mencabut izin Kontrak Karya perusahaan Australia yang akan selesai pada 2016. Perusahaan ini menambang di wilayah adat Suku Pagu, Malifut, Halmahera Utara.

Masri Anwar dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, sekaligus koordinator lapangan mengatakan, Teluk Kao, di Halmahera Utara, sudah tercemar limbah tambang NHM. Mata pencarian wargapun terganggu karena limbah menyebabkan kerusakan ekosistem, baik di darat maupun laut.
“Sekitar 13 warga adat menjadi korban terjangkit penyakit benjol–benjol dan gatal–gatal karena mengkonsumsi ikan dan air sungai yang diduga tercemar. Ini mengancam masa depan 5.000 jiwa warga yang hidup di sana,” dalam pernyataan yang dikirim kepada Mongabay.

Lembaran kain putih untuk membubuhkan tandatangan bagi setiap warga yang ingin mendukung gerakan penyelamatan Teluk Kao


Menurut dia, dulu Teluk Kao menghasil teri terbesar di Indonesia Timur, tetapi hilang saat NHM mulau penambangan dan membuang limbah ke sungai dan teluk.  Wargapun tak bisa lagi mengkonsumsi air sungai, karena sudah tercemar. “Jadi NHM harus dihukum seberat–beratnya. Mereka mengambil emas untuk mereka, limbah untuk kita.”

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, mereka mendesak pemerintah segera audit lingkungan secara jujur dan transparan. NHM, harus bertanggungjawab atas pelanggaran adat, hukum dan lingkungan.  Mereka juga mendesak pemerintah memberikan sanksi hukum kepada NHM dan memberikan perlindungan hukum ke masyarakat. “Kami mendesak pemerintah tak memperpanjang kontrak karya NHM. Mendesak NHM mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula di Teluk Kao dan sekitar.”

Warga mengalami penyakit benjol-benjol setelah lama
mengkonsumsi ikan dan air di sungai yang tercemar limbah
PT NHM
Tak hanya orasi, para aktivis ini juga membagi-bagikan selebaran berisikan kondisi masyarakat di Teluk Kao. Ada juga penandatanganan petisi di atas kain putih. Masyarakat ikut memberikan tanda sebagai bentuk dukungan.

Aksi ini melibatkan 24 organisasi masyarakat dan mahasiswa antara lain, AMAN Malut, BPAN Malut, Perempuan AMAN, Togamaloka, FKPMM, Hipma Moro, KPMG, Hikmat, Himalok, Gamhas, BEM Faperta, dan BEM Perikanan. Lalu, BEM FKIP, BEM Sastra, BEM Fatek Unkhair, BEM Hukum Unkhair, BEM Ekonomi, LMND, HMI, IMM, Samurai, Baret, HPMK, Pembebasan.

Pencemaran lingkungan dampak operasi NHM, bukan cerita baru. Namun, terus berlanjut tanpa ada perhatian pemerintah. Sebuah laporan berjudul Environmental justice in Halmahera Utara: lost in poverty, interests and identity, yang diposting di website Universitas Leiden, yang memperlihatkan berbagai dampak dari kehadiran tambang emas ini.

Dari situs newcrest.com.au, perusahaan menyebutkan, telah beroperasi sesuai standar operasi tambang berkelanjutan. Mereka mengklaim sudah peduli lingkungan dan warga sekitar.  Mereka juga merilis laporan tentang operasi berkelanjutan secara periodik.

kunjungi alamat ini : http://www.mongabay.co.id/2013/12/20/cemari-lingkungan-pemerintah-didesak-putus-kontrak-karya-pt-nhm/

Minggu, 09 Februari 2014

Setelah Hutan Tak Lagi Bisa Di Jamah




Catatan Perjalan ke Kobe:

Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Maluku Utara (Malut)



Desa Kobe tidak diakui sebagai wilayah adat sehingga suku Sawai sulit mengakses hutan.

Pertemuan antara AMAN dengan warga Kobe (Foto : AMAN Malut)
Weda, Halmahera Tengah - Konflik tenurial mempengaruhi aktifitas masyarakat adat Kobe. Itu yang terungkap dalam diskusi dengan Dewan Adat, Pemerintah Desa dan Masyarakat Adat Kobe di balai desa.

Sore menjelang malam, saat itu tanggal 9 Februari 2014, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Kobe salah satu desa yang ditempati oleh Suku Sawai, setelah beberapa hari berada di komunitas Pnu Messem. Perjalanan kali adalah dalam rangka melaksanakan tugas pelayanan organisasi pada anggota AMAN, sekaligus mensosialisasi Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35 tentang hutan adat.

Kobe adalah salah satu desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Aketajawe. Jarak tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah yang berkedudukan di Weda. Topografi wilayahnya didominasi pegunungan dan dikelilingi hutan yang masih prima. Desa ini berada di ketinggian 200 meter di atas permukaan air laut. Letaknya berkisar 4 kilometer dari bibir pantai. Perkampungan mereka belum dijangkau oleh PLN, sehingga setiap rumah hanya mengandalkan lampu loga – loga untuk kebutuhan penerangan pada malam hari.

Hampir 99 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang bergantung pada hutan. Mereka membuka lahan untuk menanam kelapa, pala, sagu. Ada hutan sagu (sagu aha) yang merupakan milik komunal. Sagu tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan sehari – hari. Memang makanan pokok mereka adalah sagu dan ubi.   

Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Dewan Adat itu, terungkap satu demi satu masalah yang selama ini dihadapi oleh mereka, salah satunya adalah penetapan Taman Nasional yang tumpang tindih dengan hutan adat mereka. Berdasarkan SK Nomor : 397/Menhut – II/2004, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan Taman Nasional Aketajawe dengan luas ± 77.100. Kawasan yang dikuasai Taman Nasional itu merupakan wilayah adat mereka bersama beberapa suku di sekitarnya. 

Menurut keterangan warga, penetapan batas taman nasional ini tidak melalui musyawarah dengan mereka lebih dulu. Mereka hanya mendapat sosialisasi ketika batasnya sudah selesai ditetapkan oleh pemerintah. Yang membuat warga tidak terima, karena batas Taman Nasional tersebut berada dalam areal perkebunan, bahkan sekitar 3 kilometer dari pemukiman penduduk. 

Mereka mengeluh karena sekian lama wilayah adatnya tidak diakui oleh pemerintah. Hutan adat yang sudah dikelola secara turun – temurun sejak dari leluhur mereka itu justru dianggap sebagai hutan negara. Hutan ini bukan berian negara tapi kenapa dicaplok oleh taman nasional. Pemerintah harus tahu bahwa kami ini sudah hidup ratusan tahun tahun lalu bukan baru sekarang,ungkap Hery Bane dengan nada kesal.

Antusiasme warga Kobe dalam pertemuan dengan AMAN (Foto : AMAN Malut)
Melky Sambirang, salah satu warga Kobe mengatakan,”pada tahun 2012 lalu, beliau bersama temannya pernah diusir oleh empat orang anggota Polisi Kehutanan (Polhut) karena menebang kayu di kebunnya yang masuk dalam taman nasional. Warga juga pernah menolak kehadiran TN ini karena membatasi akses mereka ke hutan. Pengusiran ini menunjukan yang berkuasa di hutan mereka adalah Taman Nasional, bukan masyarakat adat Kobe. Kondisi ini menurut dia sangat merugikan mereka yang sehari – hari memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi. Mereka tidak bisa hidup kalau tidak bisa mengakses hutan.

Salah satu masalah yang terjadi juga dengan keberadaan Yayasan Sawai Ecotourism Foundation milik Mr. Rob, warga berdarah Belanda namun sudah berkebangsaan Indonesia. Yayasan tersebut menguasai tanah seluas ± 200 hektar di dalam wilayah adat. Tanah tersebut diperoleh dari masyarakat melalui transaksi jual beli. Namun memberikan dampak, karena masyarakat kemudian tidak bisa berbuat apa-apa di dalam kawasan yang sudah mereka jual. Sebatang pohon saja di tebang, pasti dipenjarakan oleh pemiliknya.

Hutan adat Kobe memiliki memiliki keanekaragaman hayati yang langkah (endemic) seperti burung bidadari Halmahera. Ekosistem seperti terumbu karang juga masih sangat bagus, namun sudah dikomersilkan dan hasilnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat adat. Kontribusinya hanya kepada pemerintah bukan kepada masyarakat.

Kepala Desa Kobe dalam pertemuan tersebut berharap bisa dilakukan pemetaan wilayah adat agar hak mereka bisa terlindungi. Beliau berharap pemerintah kabupaten Halmahera Tengah segera melaksakan keputusan MK-35 yang mengakui hutan adat mereka. 

Putusan MK – 35 tentang hutan adat menjadi urgen untuk diimplementasikan segera oleh pemerintah, jika tidak sama saja pemerintah ikut berkontribusi besar memiskinkan masyarakat adat Kobe dengan membatasi akses mereka terhadap hak dalam kawasan hutan. Masyarakat juga sewaktu – waktu bisa dikriminalisasikan kalau memanfaatkan hasil hutan dalam wilayah adatnya yang sudah berubah status. Apa yang diungkapkan oleh masyarakat adat Kobe adalah potret nyata penguasaan hutan oleh pihak lain yang justru memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan hidup mereka setiap saat. Karena itu tidak boleh dibiarkan model penguasaan hutan seperti ini terus berlanjut. Segera akui dan lindungi hak mereka agar Indonesia menjadi lebih baik .****Munadi Kilkoda

Penulis : Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut