Sabtu, 19 Januari 2013

REFORMASI AGRARIA TIDAK BERJALAN / BEREBUT TANAH DENGAN TNI - AU, MASYARAKAT MOROTAI ANCAM GABUNG KE PHILIPINA


Masyarakat Morotai Berdemonstrasi di depan pangkalan Udara TNI-AU Leo Wattimena

Morotai -Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, D. Lasidji gerah dengan tingkah para petinggi negeri ini  . Pasalnya , kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan TNI AU Lanud Leo Watimena Pulau Morotai  terus bergejolak , bahkan upaya mendamaikan kedua belah pihak masih menemui jalan buntu .

Kasus tanah , yang dianggap bisa diselesaikan tanpa harus berlarut-larut itu selalu berakhir dengan aksi demo masyarakat pulau morotai  di Markas TNI AU. Bahkan sudah sering terjadi ketegangan di antara masyarakat pulau Morotai dengan TNI AU Lanud Morotai. Ketegangan ini terjadi karena masalah perebutan lahan antara warga dengan TNI AU,

Menurut Kabag Hukum Pemkab Pulau Morotai , D Lasidji ” Ini menjadi ancaman serius jika tidak ditindak lanjuti , maka akan terjadi disintegrasi bangsa , saya mengatakan demikian, karena kita cukup dekat dengan Negara tetangga philipina, wacana ini sudah berulang-ulang didengungkan oleh masyarakat kalau kita tidak diperhatikan ya kita gabung saja dengan philipina, atau kita bikin negara sendiri,” ujar Lasidji,

Namun menurutnya warga Pulau Morotai mendambakan ketenangan dan kedamaian, tetapi penguasaan hak atas tanah dengan berpatokan pada keterangan TNI AU seluas 1125 Ha, dengan jumlah 104 patok itu harus dijelaskan secara hukum, dengan menunjukkan bukti kepemilikan berupa surat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, bukan atas dasar klaim pribadi pihak TNI AU. tegasnya

Lanjut dia , jika pihak TNI AU hanya di suruh untuk menjaga dan mengawasi pihak kementerian keuangan cukup tugas itu yang dilakukan, bukan berarti harus membongkar pondasi rumah atau menakut-nakuti warga, karena tanah ini sudah dikelola sebelum perang dunia ke II di mulai, apalagi pihak Pemda sudah melakukan peningkatan daerah yang tertuang dalam RTRW .

Pihak TNI AU tidak bisa seenaknya melakukan tindakan yang berlebihan, karena menurutnya semua sudah di atur dalam UU Dasar 1945 Pasal 33, dimana dijelaskan, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di negara adalah dikuasai oleh negara, yang diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. ‘ lanjutnya’

Masih menurutnya, pihak TNI AU tidak bisa melakukan tindakan yang sengaja memancing kemarahan masyarakat, karena semua ini bisa dilakukan dengan mengadakan pertemuan dengan pihak pemda, DPRD yang mewakili masyarakat.

” Namun saya yakin masyarakat Morotai adalah masyarakat yang nasionalis, masyarakat yang betul-betul memperjuangkan NKRI,” ujar Don yang juga ikut berorasi ketika masyarakat berdemo di depan kantor TNI AU Lanud Leo Wattimena Morotai.kata dia. 

Sekedar diketahui , Kepulauan Morotai yang merupakan teras Indonesia bagian utara itu , pernah menjadi markas besar Amerika Serikat dalam perang dunia ke II ,Pasukan Sekutu yang dipimpin MAC Arthur itu memanfaatkan Pulau Morotai dalam pertempuran dengan pasukan Nippont ( Jepang) , tak heran jika pulau ini dihiasi dengan sisa-sisa perlengkapan perang dunia II yang terdapat di dasar laut dan di darat , melihat potensi itu pada september 2012 tahun kemarin , Kegiatan bertaraf Internasional Sail Indonesia di gelar di Pulau Ini yang di hadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .
Sisa perang yang digunakan saat  ini yakni Bandara Pitu yang sudah berganti nama mejadi Bandara Leo Watimena ,Bandara ini memiliki 7 buah landasan alam , dan diklaim oleh Amerika Serikat sebagai bandara dengan landasan terbaik ke dua di Dunia setelah John F. Kennedy , Pulau Morotai  juga memiliki potensi dibidang  perikanan dan Hasil bumi lainya . (Sumber : ;http://www.deliknews.com/2013/01/berebut-tanah-dengan-tni-au-masyarakat-morotai-ancam-gabung-ke-philipina/....Jalu/Editor : Yeni)

Kamis, 10 Januari 2013

KIAMAT PULAU - PULAU KECIL




Pulau Gei yang kering kerontang akibat pertambangan
Dalam tapakmaya (website) resminya hari ini, 9 Januari 2013, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali menawarkan peluang konsesi pertambangan baru di Maluku Utara. BKPM menyiarkan satu daftar 15 lokasi baru potensial tambang emas yang tersebar di Kabupaten Morotai (2 lokasi, masing-masing di Aha dan Bere-bere); Kabupaten Halmahera Utara (3 lokasi, masing-masing di Kupa-kupa, Akelamo dan Gamkehe); Kabupaten Halmahera Selatan (8 lokasi, masing-masing di Yaba, Kaputusan, Paroang, Sawadae, Pigaraja, Kayoa, Sambiki dan Anggai); dan Kabupaten Kepulauan Sula (2 lokasi, masing-masing di Kuyu dan Tawate).

Mudah ditebak bahwa tawaran menggiurkan itu adalah bagian dari kebijakan nasional yang tercantum dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Dokumen MP3I memang menetapkan kawasan Maluku Utara sebagai salah satu koridor utama ekonomi dengan tumpuan utama pada sektor pertambangan. Maka, sampai akhir tahun 2012 lalu, izin usaha pertambangan atau Kuasa Pertambangan (KP) di seluruh Maluku Utara sudah mencapai angka fantastik: 148 pada kawasan seluas total 593.311,42 ha. Sepintas, angka ini terkesan biasa-biasa saja. Tetapi, jika dicermati lebih rinci, total luas kawasan konsesi pertambangan itu adalah sama dengan 5.933,11 km2, dan itu berarti hampir seperlima (17,83%) dari total luas daratan (33.278 km2) propinsi Maluku Utara yang sebagian besarnya (76,27% atau 106.977,32 dari total 140.255,32 km2) adalah wilayah perairan (laut). Dari 148 izin KP yang sudah terdaftar, 38 di antaranya sudah memasuki tahap produksi pada kawasan seluas 103.038,84 ha atau 17,37% dari total luas kawasan konsesi. Selebihnya (110 KP dengan luas kawasan konsesi 490.272,58 ha) masih dalam tahap eksplorasi. Dalam kenyataan praktiknya selama ini, perusahaan-perusahaan yang sudah melalukan eksplorasi umumnya atau biasanya tinggal menunggu waktu saja untuk segera memasuki tahap produksi.

Dengan kata lain, hampir dapat dipastikan bahwa tidak lama lagi sekitar seperlima dari seluruh daratan Maluku Utara akan menjelma menjadi kawasan pertambangan terbuka yang sesungguhnya dan senyatanya. Bahkan, sangat mungkin lebih atau semakin luas. Karena, tidak ada jaminan bahwa kawasan konsesi pertambangan di propinsi ini memang akan berhenti pada jumlah luasan yang ada sekarang. Kemungkinan penambahan luas kawasan konsesi pertambangan justru semakin menguat.

Buktinya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk bersungguh-sungguh memperhatikan tuntutan melakukan penghentian sementara (moratorium) pertambangan di sana. Usulan moratorium itu sebenarnya sudah cukup lama diajukan. Pada bulan Juli 2011, beberapa organisasi masyarakat sipil yang dikordinasikan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara, menyerukan mendesaknya moratorium tersebut. Mereka menyebutkan bahwa total luas kawasan pertambangan sudah mencapai 1,6 juta ha atau sudah lebih dari separuh (50%) luas hutan di daerah tersebut. Usulan moratoium serupa juga pernah diajukan, pada bulan Februari 2012, oleh tim Komisi II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang melakukan peninjauan lapangan ke wilayah Halmahera Utara, meskipun usulan mereka memang hanya terbatas pada kawasan konsesi PT Nusa Halmahera Minerals (NHM). Usulan terbaru, pada bulan November 2012, datang dari kalangan akademisi, yakni dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG) Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Yang menarik adalah bahwa usulan dari PUSLITBANG UNHAS tersebut adalah hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) justru atas permintaan lembaga pemerintah daerah, yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Maluku Utara.

Pertanyannya adalah: mengapa lembaga resmi pemerintah seperti BKPM justru masih menawarkan terus peluang konsesi tambang baru di Maluku Utara?
Foto satelit rupa-bumi Pulau Gei di ujung Semenanjung Maba, Halmahera Timur, pada tahun 2012, nyaris botak total oleh galian tambang nikel sejak 2000.
Salah satu jawabannya adalah kenyataan bahwa semua pemerintah daerah (kabupaten) di Maluku Utara --kecuali Kota Ternate dan Kota Tidore yang wilayahnya memang sangat terbatas dan sudah merupakan kawasan perkotaan padat-- juga masih tetap dan selalu mengedepankan "potensi tambang" daerah mereka sebagai 'sajian menu utama' untuk memikat para investor baru. Para pemimpin pemerintahan dan politik di daerah ini sepertinya memang tak punya imajinasi apapun selain mengandalkan sektor pertambangan sebagai primadona sumber pendapatan utama daerah mereka. Bupati Halmahera Utara, misalnya, memang pernah menyatakan persetujuan pada usulan Komisi II DPD-RI untuk melaksanakan moratorium, khususnya pada PT NHM yang beroperasi di wilayahnya. Tetapi, alasannya sungguh mencengangkan, yakni semata-mata alasan 'ekonomis' belaka. Dia menyatakan bahwa nilai tambang yang dieksploitasi oleh PT.NHM mencapai Rp 7 trilyun per tahun, tetapi dana yang mengalir atau disetorkan ke kas pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara hanya Rp 16 milyar per tahun. Dengan kata lain, jika setoran perusahaan itu jauh lebih besar, apakah Pak Bupati juga masih setuju dengan usulan moratorium? Dan, yang jauh lebih penting, apakah juga setuju untuk moratorium total seluruh usaha pertambangan di sana, bukan hanya untuk PT.NHM saja? Dan, yang jauh lebih mendasar, apakah memiliki wawasan alternatif selain tambang? Karena, moratorium pada dasarnya hanyalah satu penyelesaian sementara, bukan penyelesaian tuntas pada akar permasalahan yang sebenarnya.

Pulau Pakal, beberapa mil di selatan Gei, satu pulau kecil yang hijau pada tahun 2002 sebelum dijual oleh warga ke PT.Aneka Tambang ; dan kini, sejak 2011, nyaris gundul pula setelah dibeli dan dieksploitasi oleh PT.Aneka Tambang.

Pulau Gee pasca proses  penambangan oleh PT. ANTAM
Dalam hal ini, memang sulit membayangkan para pemimpin pemerintahan dan politik di Maluku Utara berwawasan lebih luas dan jauh ke masa depan. Faktanya, usaha pertambangan masih terus berjalan dan berjaya di Maluku Utara dengan segenap dampak negatifnya yang sudah diketahui luas, terutama terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal. Kasus punahnya perikanan teri yang pernah berjaya di Teluk Kao, misalnya, sudah diketahui adalah akibat dari pencemaran limbah pertambangan di kawasan itu. Di Kabupaten Halmahera Timur, masyarakat adat lokal malah 'dibiarkan' menjual Pulau Pakal di Teluk Buli ke PT.Aneka Tambang (ANTAM) dengan harga yang juga mencengangkan murahnya: hanya Rp 15 milyar!! Enam anak muda Halmahera yang bertandang ke kantor INSIST di Yogyakarta, pada 5 Januari 2012, mengisahkan bagaimana banyak warga Pakal yang pernah menerima pembagian harga jual pulau mereka itu kini tak punya apa-apa lagi, bahkan ada yang setiap hari kerjanya hanya menghitung lembaran gulungan kertas rokok lintingan, seakan-akan masih menghitung tumpukan uang yang pernah mereka terima dan kini habis tanpa bekas. Dan, Pulau Gei yang hanya beberapa mil laut di sebelah utaranya, kini tersisa sebagai bongkahan tanah gundul setelah digali sejak tahun 2000.

Jika keadaan ini terus berlangsung, hanya soal waktu saja banyak pulau-pulau kecil lain di sana akan bernasib sama dengan Pakal dan Gei, atau jauh sebelumnya seperti Gebe dan Yu di lepas pantai ke arah Kepulauan Raja Ampat di Papua yang justru telah diketahui sebagai salah satu pusat terumbu karang terkaya dan tercantik di dunia. 'Ramalan Kiamat' nya kalender Suku Indian Maya yang jatuh pada bulan Desember 2012 --meskipun ini sebenarnya salah-kaprah dunia luar-- ternyata tidak terjadi, tetapi 'kiamat' bagi pulau-pulau kecil di Maluku Utara tidak mustahil sangat mungkin akan benar-benar terjadi jika wawasan pembangunan di daerah itu masih tetap bertumpu pada ekstraksi berlebihan sumberdaya alam, terutama hasil hutan dan bahan galian tambang, masih tetap menjadi tumpuan utamanya.**
(BETA PETTAWARANIE, http://www.insist.or.id/news/kiamat-pulau-pulau-kecil.html  )

Rabu, 09 Januari 2013

MP3EI, PELUANG KONFLIK BARU DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI MALUKU UTARA

 Suasana diskusi PW AMAN MALUT dengan beberapa narasumber dengan tema MP3EI, Peluang atau Ancaman
Ternate - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, menggagas diskusi dengan tema “MP3EI, Peluang Atau Ancaman..!!” dengan menghadirkan beberapa narasumber, Herman Usman (Akademisi UMMU), Hasby Yusuf (Akademisi Unkhair), Asgar Saleh (Anggota DPRD Kota), Munadi Kilkoda (AMAN Malut), Thamrin Hi. Ibrahim (eLSIL Kie-Raha), Yahya Mahmud (LBH Malut) dan Mufti Maurhum (Semank Malut) yang dilakukan hari ini, 09 Januari sekitar pukul 15.00 WIT  bertempat di Kantor Tabloid MomentuM,
   
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Khusus untuk koridor 6, Papua dan Kepulauan Maluku dikembangkan sektor Pangan, Perikanan, Energi dan Pertambangan Nasional.

Khusus Maluku Utara akan dikembangkan dua sektor unggulan yang menjadi Primadona yakni Sektor industri pertambangan nikel nasional berpusat di Halmahera dengan nilai nominal investasi 83 triliun dan sektor perikanan (megaminapolitan) berpusat di Morotai dengan nilai nominal investasi 30,54 triliun.

Herman Usman menjelasakan bahwa pembangunan saat ini berorientasi pada keuntungan semata. Pembangunan hanya dirasakan di kalangan atas, sementara di kalangan bahwa tidak merasakan dampak dari pembangunan. Pembangunan selama ini tidak mengakses ke bawah akhirnya yang terjadi peminggiran hak – hak masyarakat adat. Beliau juga melihat MP3EI adalah proyek kapitalis, “Saya melihat MP3EI menjadi bagian dari skenario kapitalis untuk menguasai SDA dan masyarakat kita di Maluku Utara” ungkap lelaki yang sementara menyelesaikan program doktor ini.

Sementara itu Hasby Yusuf mengungkapkan bahwa misi pertama dari MP3EI adalah peningkatan nilai tambah bagi Indonesia. Selain itu MP3EI ini menunjukan kekalahan negara melawan kelompok pemodal “Sudah ada kontrak karya, IUP, semua itu menunjukan kegagalan negara, jadi MP3EI di programkan melegitimasi kekalahan negara itu” ujarnya.
Lanjut beliau, pengerukan sumber daya alam di Maluku Utara terus menerus terjadi. Bahkan penetapan Maluku Utara dalam koridor dengan leadingsektornya tambang, menandakan praktek ini belum berhenti. Ini juga soal mentalitas elit kita, papar beliau.

Hak – hak masyarakat dipastikan hilang, baik hak atas tanah dan sumberdaya alam. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Asgar Saleh. “MP3EI ini adalah konsep yang tidak jelas,bahkan juga kalau di paksakan, sangat berpotensi melahirkan konflik baik oleh masyarakat adat, negara dan pemilik modal”. Lanjut beliau, konflik itu karena kekalahan masyarakat adat melawan dominasi negara dan pemodal. Kebijakan dalam MP3EI yang di dorong inikan lebih banyak bukan berdasarkan dengan kemauan masyarakat setempat. Itu  didorong berdasarkan kemauan pemodal. “Masyarakat pesisir itu akan dikalahkan dalam penguasaan sektor laut, bahkan sektor ini akan di dominasi oleh kelompok pemodal dalam penguasaan sektor produktif” tandas politisi Kalumata ini.

Narasumber yang lain juga bersepakat bahwa kondisi ekologi Maluku Utara dan Hak – Hak Masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang belum dilindungi oleh negara, sangat berpotensi melahirkan konflik dalam kebijakan pembangunan. Kedepan nanti perlu ada ada kearifan lokal masyarakat adat yang menjadi strategi dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA di Maluku Utara. Konsep ini diyakini menjawab tantangan pembangunan saat ini dibandingkan dengan MP3EI. ///***Ubaidi Abdul Halim-AMAN

Minggu, 06 Januari 2013

PERJALANAN KE TANAH PERJUANGAN / KUNJUNGAN KOMNAS HAM DI MASYARAKAT ADAT PAGU



Pertemuan Antara KOMNAS HAM Dengan Masyarakat Adat Pagu
Setelah selesai melakukan kegiatan dengan Masyarakat Adat Sahu, tanggal 28 Desember 2012, rombongan melakukan kunjungan ke suku Pagu, di Kecamatan Malifut, Halmahera Utara.

Sekitar pukul 10.00 Wit, tanggal 28 Desember 2012, rombongan yang terdiri dari Komnas HAM antara lain Sandra Moniaga (Wakil Ketua Komnas HAM) Andi Nur (Staf Komnas HAM), Munadi Kilkoda (Deputi AMAN Malut), Safi Din, Mustamin (Staf AMAN Malut) dan Abdurahman Salam (Wartawan) bertolak ke Pagu. Perjalanan darat itu di tempuh sekitar 2 jam dengan menggunakan mobil berjenis Inova. Sepanjang jalan kami berkesempatan berdiskusi tentang perjuangan masyarakat adat di berbagai daerah, sambil juga menikmati tiupan angin sepoi – sepoi serta hijaunya hutan Halmahera.

Dalam pikiranku, hijaunya hutan Halmahera ini disitulah sumber kehidupan masyarakat adat untuk berkebun dan mengelola alam untuk keberlanjutan hidup. Disitu juga tempat hidup flora dan fauna, seperti beberapa burung endemic yang terancam punah karena kesalahan pemanfaatan ruang oleh Negara.

Hijaunya hutan itu berbanding terbalik dengan yang terlihat di Sidangoli, salah satu wilayah di Halmahera Barat. Wilayah ini terlihat gersang. Sekitar 5 KM hanya terlihat  rumput ilalang yang dalam bahasa local disebut kusu – kusu yang tumbuh. Bukan cerita baru, kondisi yang terlihat di Sidangoli ini karena dulunya hadir perusahan kayu terbesar di Maluku Utara. PT. Barito, perusahan milik penguasa Orde Baru.

Tak berselang berapa lama, kita pun melintasi perusahan raksasa lain. Perusahan tambang milik Australia yang sudah bercokol puluhan tahun di atas tanah Halmahera, PT Nusa Halmahera Mineral (PT NHM). Beberapa gunung terlihat dari jauh sudah dibabat hutannya dan dikeruk tanahnya. Wilayah itu adalah Toguraci dan Gosowong milik Masyarakat Adat Pagu. Menurut informasi warga, sekarang perusahan mulai membuka lahan baru di gunung Diun, padahal di wilayah tersebut ada kebun cengkeh dan tempat – tempat yang dikeramatkan seperti kubur leluhur masyarakat adat Pagu.

Sekitar pukul 12.00 Wit, kami pun tiba di perkampungan suku Pagu, lebih tepatnya di Desa Sosol yang akan menjadi tempat pertemuan 17 desa Pagu . Kami di informasikan bahwa pertemuan akan dilakukan pada jam 2 siang (14.00), sehingga masih ada waktu untuk makan siang dan istirahat sejenak.

Jarum jam tepat menunjukan pada angka 2, kami pun di undang oleh masyarakat adat yang diwakili Ibu Afrida Erna Ngato sebagai Sangaji Pagu (Kepala Adat) untuk segera ke tempat pertemuan yang dilakukan di Balai Desa Sosol. Penjemputan dengan tarian seperti cakalele yang diperagakan oleh anak – anak usia remaja sebagai simbol penerimaan tamu. Ratusan warga dengan pakaian adat terlihat sudah menunggu kedatangan kami. 
Teriakan Otuuu......dan dibalas Yeeeee keluar dari mulut ke mulut masyarakat adat sebagai penambah semangat siang itu.

Sesuai dengan agendanya, Komnas HAM melakukan dialog dengan masyarakat adat Pagu. Munadi Kilkoda dari AMAN Maluku Utara dipercayakan untuk mengarahkan dialog tersebut, lalu akan dilanjutkan oleh Ibu Sandra Moniaga dari Komnas HAM yang lebih fokus pada masalah Hak Asasi Manusia (HAM) serta mendengar informasi dari masyarakat adat.
Munadi menyampaikan, kedatangan Komnas HAM ke Masyarakat Adat Pagu ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya terutama melaporkan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan perusahan tambang atau pihak – pihak lain. Seperti masalah pengambil alihan tanah adat dan dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT NHM.

Sedangkan Sandra Moniaga dari Komnas HAM yang didaulat sebagai narasumber dalam dialog tersebut, banyak memberikan penjelasan yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD dan UU, termasuk hak – hak Masyarakat Adat.
Kalau bicara HAM, UUD 1945 hasil amandemen sudah sangat dengan jelas dalam beberapa pasal mengakui dan melindungi HAM tersebut. Masyarakat Adat beserta hak – hak adatnya sudah diakui dalam UUD 1945 (pasal 18b dan 28i). Selain itu juga beberapa UU sektoral seperti UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, serta UU HAM sudah dengan jelas mengakui hak – hak masyarakat adat, namun UU Minerba yang menjadi sumber konflik selama ini yang tidak mengakui hak – hak Masyarakat Adat. Sehingga kedepannya tugas kita bersama untuk mengajukan judicial review terhadap UU yang tidak berpihak pada masyarakat adat dan itu membutuhkan dukungan dari Masyarakat Adat Pagu.

Lanjut beliau, Masyarakat Adat memiliki hak atas hutan adat dan tanah adat. Hak ini dijamin dalam UUD. Begitu juga akses mereka ke sumber kehidupan seperti ini tidak boleh dibatasi oleh siapapun, karena ini bersumber dari hak asal – usul yang diwariskan oleh leluhur masyarakat adat. Masyarakat Adat juga berhak adat lingkungan hidup yang sehat, bekerja dengan rasa aman, jauh dari intimidasi dan kriminalisasi.

Dialog itu mendapat respon yang beragam dari masyarakat adat ini terlihat dari pertanyaan seputar masalah yang mereka hadapi selama ini. Ada yang mengatakan wilayah adat mereka sangat kaya dengan sumberdaya alam, namun sumberdaya alam itu tidak dinikmati oleh mereka.  Bahkan mereka menganggap bahwa selama ini mereka dimiskinkan diatas tanah adat mereka sendiri. Ada sebagian juga yang mengatakan semakin sulit mereka mengakses hutan dan melaut karena sudah dikuasai oleh perusahan NHM. Mereka meminta PT. NHM bertanggungjawab atas semua masalah yang mereka hadapi. Bahkan juga semua kerusakan yang dilakukan oleh perusahan tersebut. Harus ada denda adat. Komnas HAM juga diminta untuk membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Komnas HAM sendiri menyarankan agar Masyarakat Adat Pagu terus mendokumentasikan masalah yang terjadi baik karena aktifitas PT NHM maupun pihak lain, sambil melengkapi data – data yang mereka temukan, untuk selanjutnya dikirim ke Komnas HAM sebagai pengaduan. Kata Sandra.

 Diakhir diskusi, Sandra mendorong supaya Masyarakat Adat Pagu segera menyelesaikan peta wilayah adat mereka, karena pemetaan ini menjadi penting dalam mempertahankan wilayah adat Pagu. Selain itu juga terus menelusuri sejarah asal – usul sehingga semakin memperjelas bahwa klaim Masyarakat Adat atas tanah adat karena didasari pada sejarah tersebut.///***Ubaidi Halim