Sabtu, 27 April 2013

DUA DESA DI KAO BARAT DISAPU BANJIR




Malut post
Edisi,sabtu.27 April 2013
1000 Orang Mengungsi, Sekolah Juga Lumpuh

Tobelo- Hujan deras yang mengguyur kecamatan Kao dan sekitarnya sejak Rabu hingga Jumat (26/4) kemarin hingga mengakibatkan dua desa yakni Takimo dan  Tabau serta  satu pemukiman transmigrasi di Kao Barat terendam Banjir.

Hujan deras selama tiga hari berturut-turut , menyebabkan tiga sungai yakni Wilamo,Togiora dan Togi meluap.  Informasi yang dihimpun Malut Post menyebutkan,  akibat meluapnya sungai tersebut, 1000 orang warga  dua desa itu mengungsi  ke sejumlah tempat seperti di Balai Desa  yang di anggap aman dari banjir.
Tidak hanya membuat warga  mengungsi, banjir juga merusak puluhan hektar lahan pertanian milik warga seperti cabe dan kedelai serta hewan ternak. Bahkan hasil pertanian terancam gagal panen.

“ Mulai Kamis malam sekitar pukul 19.00 Wit, air masuk kerumah warga hingga ketinggian 1.5 m melewati leher orang dewasa. Bahkan puluhan hektar lahan pertanian  serta hewan ternak ikut  terendam. “  kata Oktavianus Lukas  Tomao warga desa  Takomo ditemui sejumlah  wartawan Jumat (26/4) saat melaporkan kejadian  ke kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPD)  Halut. 

Aktifitas pendidikan disana juga lumpuh total, mengakibatkan siswa di liburkan, padahal  pekan depan siswa SD akan menghadapi Ujian Nasional (UAN).  Ia berharap pemerintah  baik Provinsi maupun Pemkab Halmahera Utara dapat secepatnya memberikan bantuan  guna mengurangi penderitaan warga. 


Kepala BPBD Halut,  Yudihard Noija saat di temui  mengatakan, pihaknya telah menyalurkan  bantuan sembako darurat.  Rencananya juga akan dibangun posko  darurat dilokasi banjir. Tim sudah turun melakukan survei  sekaligus membangun posko darurat. “ dari Dinas  Nakertrans Halut telah Turun. Sementara untuk mencegah banjir butuh  normalisasi Sungai,” tukasnya, (end/ici)

MASYARAKAT ADAT PNU MESEM MENGGALI KEARIFAN LOKAL



”Perubahan Iklim Akibat Keserakahan Manusia Mengeksplotasi SDA”

Dua hari berturut – turut masyarakat adat Pnu Mesem melakukan kegiatan Fokus Group Diskusi (FGD) kearifan lokal dalam adaptasi perubahan iklim.

Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 10 – 11 April 2013, dipusatkan di kantor Desa Messa, Kab. Halmahera Tengah. Hadir dalam kegiatan tersebut Pengurus AMAN Maluku Utara, tokoh – tokoh adat, perempuan adat dan pemuda adat.

Isu perubahan iklim telah mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Pnu Mesem, mulai dari pergeseran pemukiman penduduk sekitar 100 meter lebih dari 50 tahun terakhir dan semakin mengecilnya Pulau Mtu Mya karena abrasi pantai, hujan sampai menyebabkan banjir bahkan juga kalender musim di kampung yang sering berubah tak menentu.

Walaupun demikian, masyarakat adat Pnu Mesem belum menyadari bahwa ancaman ini adalah bahaya iklim yang saat ini hangat didiskusikan di tingkat lokal, nasional dan internasional. Masyarakat adat menganggap ini peristiwa yang terjadi karena kehendak Tuhan, bukan ulah manusia yang rakus SDA.

Udi Lasa, salah satu tokoh masyarakat adat di kampung ini mengemukakan bahwa mereka baru tau bahwa ancaman dari perubahan iklim ini akibat dari keserakahan manusia untuk mengeksploitasi SDA ”Terus terang kami baru tau bahwa kegiatan tambang itu berkontribusi terhadap perubahan iklim”, terangnya.

Dalam materi yang disampaikan oleh Munadi Kilkoda, Deputi AMAN Maluku Utara, mengatakan bahwa, perubahan iklim bukanlah hal yang baru, isu ini sudah sekian tahun dibahas oleh pemerintah maupun kelompok kepentingan seperti LSM, perusahan maupun kalangan perguruan tinggi. Sayangnya pembahasan ini tidak sampai di telinga masyarakat adat. Masyarakat adat yang memiliki hak atas tanah, wilayah dan SDA bahkan menjadi korban dari perbuatan orang lain, ”Masyarakat adat ini sekian ratus tahun sudah menjaga hutan, tapi pemerintah memberikan kuasa hutan kita itu kepada perusahan, lalu mereka mengekploitasi hutan kita dan kita harus menghadapi masalah seperti saat ini”, ungkapnya.

Lanjut Munadi, masyarakat adat ini tidak bisa dipisahkan dengan alam, karena disitulah mereka bisa membangun hidup dari turun – temurun. Tanah, air dan hutan itu adalah kehidupan masyarakat adat. Munadi berhadap masyarakat adat Pnu Mesem bisa melihat kearifan lokal yang mereka miliki sebagai modal sosial dalam menjaga kampung ini dengan sumberdaya alam yang dimiliki untuk masa depan generasi.

Inventarisasi kearifan lokal masyarakat adat Pnu Mesem menemukan seperti remen (O Hati) alat untuk menangkap ikan, Musyawarah Sem Rom (Pala Hutan) untuk kegiatan panen pala, Kot (Larangan) yang dipergunakan saat musim menanam di kebun, Rom – Woe – Boten (Hutan – air – tanah) sebagai tempat membangun hidup. Masyarakat adat Pnu Mesem juga mengidentifikasi batas wilayah adat mereka berdasarkan sejarah leluhur yang hidup lebih dulu di kampung.

Diakhir proses kegiatan, masyarakat adat Pnu Mesem bersepakat bahwa menjaga alam dengan melestarikan dan mempraktekan kearifan lokal, menjadi keharusan untuk masa depan anak – cucu mereka. Mereka berhadap Wlon (kepala kampung) dan Mahimo (pembantu) harus dimunculkan kembali sebagai tatanam pemerintahan adat yang tugasnya menjaga kearifan lokal di kampung ini, (Ubaidi Abd. Halim)


Jumat, 26 April 2013

RITUAL SOPIK : SOLUSI PENYELESAIAN HUKUM PERDATA MASYARAKAT TAHANE



“Di tengah-tengah rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi oleh proses hukum di negeri ini, maka masyarakat bisa kembali ke kearifan local untuk mencari alternatif. Ritual Sopik mungkin menjadi solusi bagi pencari keadilan hukum, khususnya perkara perdata.”

Dalam skripsinya berjudul “Upacara Sopik: Kearifan local dalam penyelesaian sengketa di kalangan masyarakat Tahane”, Sukran Iksan menulis, pada zaman dahulu ada satu komunitas yang bermukim di sebuah desa bernama Bunga Daiyo atau Daiyo Bunga (sekarang Tahane, Makian Pulau). Desa itu dipimpin seorang Raja bernama Barbara. Raja Barbara memiliki dua orang putra bernama Machimatali dan Simatali.

Setelah Raja Barbara Wafat, kedua putranya saling merebut Tahta, akhirnya kedua sepakat meninggalkan Desa Bunga Daiyo. Machiamatali sang kakak bersama pengikutnya ke Pulau Kayowa dan mendirikan perkampungan Malabbono (Kampung tua red) sementara Simatali dan Sekelompoknya bergeser kedolik Makian Tahane dan mendirikan perkampungan di sana. 

Seiring berjalannya waktu, permusuhan kedua kelompok tetap berlangsung. Masing-masing mengklaim Desa Bungan Daiyo sebagai pemiliknya. Tak jarang terjadi bakuhantam antar kedua kelompok, bahkan sampai jatuh korban jiwa.

Para tetua (Toko Masyarakat) kampong kebingungan menyaksikan pertentangan kedua kelompok kakak beradik ini. Suda banyak solusi ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut, tapi tak ada satu pun yang jitu. Permusuhan tetap berlangsung. Hingga satu ketika, datang seorang ulama penyebar agama islam. Sebelumnya, ulama itu singga dibeberapah desa di pulau Makian tetapi ditolak kehadirannya oleh masyarakat setempat. Sang ulama tersebut akhirnya diterimah  oleh Masyarakat Bunga Daiyo.

Di desa itu ia mulai menyebarkan Agama Islam. Hamper seluruh masyarakat Desa Bunga Daiyo memeluk Agama baru itu. Meski begitu, perebutan Wilayah antara Machiamatali dengan Simata terus berlanjut.

Atas petunjuk sang pencipta, sang ulama menawarkan sebuah solusi untuk menghentikan perseteruan dua kelompok itu. Solusi yang  ditawarkan adalah “SOPIK” dengan cara ini diyakini dapat menentukan siapa  pemilik sah atau berhak menguasai Wilayah yang di sengketakan. Dari sinilah awal mula terjadi Ritual Sopik bagi masyarakat Tahane yang hingga kini masih dilakukan untk mengadili sengketa perdata, terutama sengketa tanah, Batas Kebun, Lokasi Rumah, pemilikan ternak dan lain-lain.

Sopik berasal dari kata “SO” dalam bahasa Tahane Artinya Mandi atau Menyelam di air yang dalam, seperti di laut, di kolam atau sumur dan sungai. Biasanya, proses pelaksanaan Ritual Sopik ini  di lakukan hari jumat suda di umumkan kepada masyarakat agar setelah Shalat Jumat semua warga berkumpul di lokasi  yang ditetapkan yang biasanya di pinggiran pantai untuk menyaksikan pelaksanaan Ritual Sopik Tersebut.
Para pihak yang bersengketa di haruskan memilih masinh-masing perwakilan satu orang guna melaksanakan Ritual Sopik. Siapa saja dipilih untuk mewakili para pihak, asal jangan dari keluarga dekat (keluarga Inti). Ini semua dimaksudkan untuk menghindari unsure subjektifitas demi mencapai keadilan selain untuk menghindari korban jiwa dalam pelaksanaan ritual Sopik.

Mengapa ? karna dalam pelaksanaan Sopik, yang mewakili para pihak menyelan di laut dengan menggunakan batu sebagai pemberat. Siapa yang bertahan lebih lama di dalam air, maka secara otomatis pihak yang di wakilinya memenangkan perkara.
Dan dalam Ritual Sopik tidak mengenal siapa yang lebih panjang nafasnya atau ahli menahan nafas selama mungki di dalam laut. Kerena panjang pendeknya nafas atau lama tidaknya berada dalam air sangat tergantung pada pihak yang diwakilinya.

Proses Ritual Sopik di pimpin seorang Imam (pemuka Agama) didampingi tokoh agama, tokoh adat dan pemerintah setempat. Dua orang wakil pada pihak masing-masing memegang batu yang akan digunakan sebagai pemberat tubuh saat menyelam. Sebelumnya, batu-batu di bacakan Doanya oleh imam dan staf sara lainnya. Setelah diberikan batu, kedua orang wakil parah pihak itu berjalan ke laut hingga air sebatas Leher. Kemudian menuggu aba-aba dari Imam baru menyelam bersama.

Aba-aba dari Imam berupa Syalawat sebanyak tiga Kali. Pada bacaan Syalawat yang ketiga, keduanya langsung menceburkan diri kedalam laut dengan menggunakan pemberat dari batu itu. Saat itu ketegangan menyilimuti semua masyarakat yang menyaksikan. Karena menunggu siapa yang akan memenangkan perkara. Jika sala satu wakil yang menyelam itu muncul duluan ke permukaan laut, tandanya ia kala dan otomatis yang masih bertahan dalam air itu sebagai pemenang. Kalau suda demikian, maka pihak yang bersengketa dengan iklas menerima kekelahan maaupun kemenangan. Kedua pihak bersalaman, Doa pun di bacakan pertanda pengadilan perkara telah usai.

Menurut  pengalaman orang-orang yang perna mewakili para pihak dalam melakukan Ritual Sopik itu, jika pihak yang diwakilinya pada posisi bersala, maka ketika menyelam, nafasnya jadi sesak, semua material pasir dan bebatuan berputar naik menyilimutunya, bahkan ikan-ikan kecil entah dari mana datang mengerumuni dan mematok bagian mukanya, sehingga memaksa bersangkutan melepaskan batu pemberat tubuh dan segerah muncul ke permuakan laut. Jika bertahan mengakibatkan korban jiwa.
Sementara orang yang mewakili pihak yang pada posisi kebenaran, maka selam dalam air terasa pulas  tertidur di kasur yang empuk, sehingga kalau tidak dikagetkan dengan leparan batu dari Imam yang memimpim upacara ritual itu,mungkinsaja seharian di dalam airpun tiak apa-apa.

Menurut H.Asis.H Amuda, Imam Desa Moloku, Gane Barat Utara, bahwa Filosofi Sopik ini adalah “Air”. Mengaku berpengalaman menjadi sala satu wakil dari pihak yang bersengketa untuk melakukan Ritual Sopik di beberapa waktu lalu maupun sekarang sebagai Imam yang sering memimpin Upacara Ritual Sopik, bahwa Air sebagai unsure inti dalam ritual tersebut, dikaji dari segi mengandung makna yang dalam. Sehingga cocok dipakai untuk mencari keadilan dan kebenaran.

Air dalam tingkatan Tasawuf menurut dia, masuk dalam tingkat tarekat. Kecuali Adam (Nabi Adam) semua manusia tercipta dari setetes air. Dari air pula Bumi ini disuburkan, pepohonan tumbuh,tanamanpun hidup. Dan dari air jualah semua makhuk hidup minum dan dipakai sebagai meteri pembersi tubuh. Seorang tukang batu pasti perna menggunakan air untuk mengukur keseimbangan.

Artinya, dengan air kita bisa hidup, kita dapat membersihkan diri, kita dapat menukur keseimbangan dan kebenaran sebuah peristiwa perdata. Maka Ritual Sopik, secarah Adat dapat dijadikan solusi penyelesaian kasus-kasus perdata di masyarakat. (AR. Sangaji).
Sumber: MOMENTUM, edisi 25 April 2013

Kamis, 25 April 2013

LAGI, PT. WBN RAMPAS LAHAN WARGA



WEDA -  Bukan PT Weda Bay Nikel (WBN) namanya jika tidak bermasalah dengan warga. Belum hilang ingatan kita soal kasus pembebasan lahan milik warga desa Gemaf dan Lelilef yang tidak kunjung selesai, kini kasus perampasan lahan kembali terjadi, dan kali ini juga di alami warga Desa Gemaf.

PT. WBN bersama Dinas Kehutanan dan Dinas Pertambangan Halmaherah Tengah, saat ini kembali kerjasama dengan mengizinkan PT. WBN memasang patok cord dan membuat pos pengkaplingan lahan diatas milik masyarakat desa Gemaf, tempatnya sekitar 3 km dari arah pantai. Pengkaplingan ini dilakukan tanpa sepengetahuan warga.
“Mereka merampas mata pencarian masyarakat Gemaf yang hanya mengharapkan tanaman hutan dan kayu damar yang selama dikelola masyarakat setempat”, kata kepala desa Gemaf Konstantein Manikome.

Konstantein juga melaporkan, pengkaplingan ini merupakan lanjutan dari kejadian yang sama di akesahi, desa Gemaf yang terbukti dilakukan tanpa ada konfirmasi dengan pemilik lahan. Bahkan PT. WBN melarang masyarakat melakukan aktivitas di kawasan tersebut.

“Kami hanya mengingatkan kepada Weda Bay, jangan asal - asalan membangun pos, kerena lahan tersebut masih milik masyarakat, disitu masih terdapat tanaman pala dan kayu damar yang selama ini di jaga masyarakat desa Gemaf”, katanya.

Menurutnya, lahan tersebut saat ini menjadi kaplingan PT. WBN, mulai dari kilometer tiga hingga kilometer delapan. Padahal seluruh lahan itu milik masyarakat dan berisi berbagai macam tanaman.
“Kami hanya minta kepada kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmaherah Tengah, Wahab Samad, dan kepala Dinas Pertambangan, jangan perna mengeluarkan izin dan mengkapling seenaknya”, tegasnya lagi.  (mg4).
Sumber: Ternate Post, edisi, 25 April 2013