Rabu, 13 November 2013

Laporan: Terusir Tambang Nikel, Suku Sawai Tak Mendapat Akses Keadilan

Dampak ekspansi tambang masih terus merugikan keberadaan masyarakat adat yang hidup di sekitar wilayah pertambangan. Dalam sebuah laporan yang disusun oleh Shelley Marshall, Samantha Balaton-Chrimes dan Omar Pidani menyoroti kasus penguasaan wilayah adat Suku Sawai dan Tobelo Dalam di Maluku Utara oleh PT Weda Bay Nickel. Laporan ini menyebutkan, bahwa hingga saat ini warga dari kedua suku tersebut belum diberikan hak atas konsultasi atau hak atas persetujuan penggunaan lahan terlebih dahulu secara sungguh-sungguh, tanpa paksaan dan disertai penyediaan informasi yang cukup (free, prior, informed, consent) sebagaimana diwajibkan dalam standar Hak Asasi Manusia internasional dan standar IFC.
Penolakan Tambang Nikel di Maluku Utara

Izin konsesi PT Weda Bay Nickel ini menurut keterangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah merampas tanah 154 Kepala Keluarga Suku Sawai yang berada di dekat wilayah pertambangan. Akibatnya, etnis Sawai kini kehilangan akses pada lahan yang telah dibudidayakan secara turun temurun tersebut. Suku Sawai juga kehilangan akses terhadap lahan, hutan dan kehilangan mata pencaharian mereka.
Proyek yang merupakan bagian dari Bank Dunia ini bernilai sekitar 500 juta dollar Amerika Serikat. Kandungan nikel yang terdapat di perut bumi di wilayah ini diperkirakan mencapai 7 juta ton dan akan bisa dieksplorasi selama 50 tahun. Selain kandungan tersebut, wilayah ini juga masih menyimpan sekitar 500 juta ton.

Setidaknya lima komunitas masyarakat pesisir yang terpaksa kehilangan mata pencaharian mereka akibat hilangnya tanah mereka, tiga diantaranya berada langsung di wilayah konsesi: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf. Masing-masing desa tersebut dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Mereka tinggal tidak jauh dari pantai, dan bertani di hutan di sekitar rumah mereka. Jika pertambangan berjalan, maka desa-desa inilah yang akan terkena dampak lingkungan pertamakalinya akibat limbah pertambangan.

Kendati PT Weda Bay Nickel tidak memaksa mereka pindah, namun komunitas ini terkena dampak langsung operasi tambang di wilayah mereka. Masyarakat terpaksa melepaskan lahan mereka akibat tekanan yang begitu kuat dari pihak perusahaan dan pemerintah setempat. Berdasar prinsip Free, Prior, Informed, Consent sejumlah pelanggaran ditemukan dalam penguasaan lahan masyarakat ini.

Pelanggaran Hak Atas Konsultasi dan Persetujuan Yang Bebas (Free)

Dalam kasus perampasan lahan ini, laporan ini memaparkan bahwa komunitas tidak mendapat hak konsultasi dan hak untuk memberi persetujuan atau tidak setuju  terhadap status perubahan tanah mereka. Hal ini melanggar Standar Perilaku IFC Nomor 7. Sementara Standar Perilaku Nomor 5 mewajibkan perusahaan untuk melakukan perundingan dengan itikad baik dengan siapa pun pemilik tanah tersebut, baik tanah yang membutuhkan persetujuan atau tidak oleh masyarakat. Senada dengan prinsip sebelumnya, hal ini pun tidak dilakukan oleh PT Weda Bay Nickel.

Prinsip lain yang juga dilanggar adalah prinsip Penyediaan Informasi dan Konsultasi Yang Layak Terkait Ganti Rugi. Penelitian ini menemukan bahwa proses yang dilakukan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan pertambangan PT Weda Bay NIckel hanya pada tataran jumlah harga ganti rugi, bukan pada persetujuan masyarakat setempat.  Bahkan jumlah ganti rugi yang diajukan kepada warga setempat telah ditetapkan secara sepihak oleh pihak perusahaan tanpa negosiasi.

Tekanan dan Intimidasi

Selain keputusan yang sepihak, laporan ini juga mengungkap adanya tekanan terhadap masyarakat adat setempat denga menggunakan aparat keamanan. Dalam laporan Komnas HAM ditemukan bahwa satuan-satuan seperti Brimob terlibat dalam tekanan dan intimidasi terhadap anggota komunitas. Hal serupa juga dilakukan oleh pekerja PT Weda Bay Nickel yang mengancam anggota komunitas karena tidak menandatangani perjanjian ganti rugi. 

Penggantian Harga Lahan Tidak Layak

Terkait dengan penggantian harga tanah untuk pertambangan, pihak perusahaan menawarkan harga Rp 8000 per meter persegi (sekitar 70 sen dollar AS) bersama dengan sejumlah ganti rugi untuk tanaman. Hal ini dinilai melanggar prinsip internasional karena ganti rugi  harus bisa melindubgi komunitas dari dampak negatif proyek dan memenuhi persyaratan bahwa ganti rugi harus mampu memulihkan dan meningkatkan sumber mata pencaharian mereka yang hilang.

Padahal, Strand Minerals yang saham mayoritasnya dimiliki oleh ERAMET, yang menjadi operator pertambangan ini menguasai 90% saham pertambangan ini senilai 450 juta dollar AS. Sementara 10% sisanya dikuasai oleh PT Aneka Tambang milik Pemerintah RI. Selain ERAMET, Mitsubishi Corporation juga menguasai 30% saham Strand Minerals.

Korupsi Pembebasan Lahan

“Para petani hanya diganti dalam bentuk uang tunai dalam jumlah yang sangat rendah setiap meter perseginya. Harga yang bahkan tidak cukup untuk membeli sepotong makanan,” ungkap Dr. Balaton-Chrimes dalam pernyataannya. Laporan yang disusun ini juga mengungkap sejumlah kasus korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang terkait pembebasan lahan dan pertambangan.

Terputusnya Akses Terhadap Keadilan

Akibat konflik perebutan lahan ini, sejumlah warga masyarakat telah melaporkan hal ini kepada pihak Komnas HAM, dan lembaga tersebut telah menindaklanjuti temuan mereka dengan laporan kepada pihak terkait di Maluku Utara, namun hal ini pun tak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sementara Badan Penyelesaian Keluhan PT Weda Bay Nickel tidak mampu menangani isu-isu penting yang terkait dengan kasus-kasus pertanahan dan perjanjian ganti rugi.

“Masyarakat yang dirugikan telah memasukkan keluhan hukum kepada lembaga IFC milik Bank Dunia dan MIGA, namun hal ini tidak bisa menyelesaikan masalah karena anggota masyarakat terlalu takut untuk berpartisipasi dalam mediasi yang digelar bersama pihak perusahaan,” tambah Dr. Marshall.

Rekomendasi yang disampaikan oleh para peneliti adalah memastikan bahwa hak-hak ulayat komunitas yang terkena dampak tambang harus dihormati dan dilakukan proses konsultasi dan pengambilan keputusan yang semestinya.

Untuk mengakses laporan selengkapnya silakan klik di Link ini: http://www.buseco.monash.edu.au/blt/research/weda-bay-public-report-oct2013.pdf
   

Konflik Agraria Memicu Pelanggaran HAM Di Maluku Utara



Oleh Ubaidi Abdul Halim
Biro OKK AMAN Malut

Salam adat

Konflik agraria, krisis Iklim, kerusakan lingkungan, alih fungsi kawasan hutan, krisis air bersih, kerawanan pangan dan kriminalisasi sedang mewarna kehidupan bangsa di zaman ini. Hal ini disebabkan amburaduknya kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara.

Contoh sederhana kebijakan penataan ruang di Maluku Utara. Potret pembangunan yang didorong oleh pemerintah kita, masih menempatkan hutan dan tanah sebagai sumber ekonomi yang semata – mata untuk meningkatkan devisa negara terutama PAD. Kebijakan yang mendorong konservasi hutan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat masih jauh dari yang di cita-citakan. Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan sawit menjadi nomor satu. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan (kerusakan ekologi) sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi konsesi – konsesi tambang dan sawit tersebut dominan masuk dalam wilayahnya masyarakat adat yang selama ini menjadikan wilayah mereka sebagai suporting kehidupan.

Masyarakat adat menjadi pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pembangunan yang lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan mereka. Lihat saja, PT NHM yang mengeksploitasi wilayah adat suku Pagu, PT WBN yang menguasai separoh dari wilayah adat suku Sawai, PT Antam, PT Harita dll yang menguasai wilayah suku Tobelo Dalam, PT Oro Kni Global yang menguasai wilayah adat Suku Sahu, PT Sanatova diatas wilayah adat Suku Paceda, kasus Masyarakat Morotai dengan AURI, dll. Praktek penguasaan wilayah – wilayah adat ini akan terus berlanjut seiring dengan masuknya proyek nasional Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan mendorong tambang sebagai leading sektor utama di Halmahera (nilai investasi 81 triliun). Proyek MP3EI sebuah proyek besar yang akan merubah RTRW provinsi untuk menyesuaikan dengan MP3EI. MP3EI adalah mahluk dan monster yang sangat menakutkan karena membagi-bagi tanah dan laut Indonesia untuk di serahkan ke pada para pemangsa dan penghisap harta-harta masyarakat adat atau masyarakat lokal. proyek ini akan memanggil para investor asing untuk menciptakan konflik antar suku,konflik tapal batas dan konflik sosial yang akan mewarnai kehidupan masyarakat adat.

Akibat dari investasi itupula, masyarakat adat semakin kesulitan untuk mengkases sumberdaya hutan dan laut, dimana – mana terjadi pencemaran lingkungan (Kasus PT Tekindo dan PT NHM), kriminalisasi kepada masyarakat adat meningkat. Masyarakat adat semakin tidak berdaya dan harus beralih profesi kerja dari petani dan nelayan menjadi buruh – buruh kasar di perusahan. Yang lebih menyakitkan konstruksi nilai baru yang dibawah seiring masuknya investasi tersebut. Nilai lokalitas sebagai pegangan hidup menjadi tidak berdaya dan masyarakat adat harus membangun hidupnya secara individualistik.

Kedepan konflik agraria akan terus meningkat. Kepastian hak tenurial masih menjadi tanda tanya jika tidak ada pengakuan dan perlindungan hak – hak masyarakat adat di Maluku Utara. Pemerintah mestinya mengetahui bahwa masyarakat adat berserta hak mereka atas tanah, wilayah dan SDA merupakan warisan sejarah yang dibawah sejak turun – temurun. Bagi masyarakat adat tanah, wilayah dan SDA bukan sekedar memiliki nilai ekonomi, tapi juga memiliki nilai sosial dan menjadi identitas. Sehingga jangan heran ada hal yang disakralkan oleh masyarakat adat dalam konteks pemanfaatan ruang hidup yang ada di wilayah mereka.

Dalam hal itulah, kami menyampaikan Kasus Agraria kepada  KOMNAS HAM RI untuk di tidak lanjuti antara lain:


1.    Mendesak kepada KOMNAS HAM RI Untuk Memantau dan menyelidiki Kasus Agraria yang melibatkan PT.NHM dengan suku Pagu, PT. WBN dengan Suku Sawai dan PT. Antam dan Taman Nasiona Aketajawe Lolobata dengan suku Tobelo Dalam, PT Sanatova diatas wilayah adat Paceda, PT. Oro Kni Global diatas wilayah adat Suku Sahu, dan izin – izin lainnya, terutama di Sula, Haltim dan Halteng) karena dinilai tidak mengikuti mekanisme Free Prior Informend Consent (FPIC) dengan masyarakat adat setempat sebagai pemilik sah wilayah yang di eksploitasi.

2.  Mendesak kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera mengembalikan  tanah yang di rampas oleh perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef)

3.   kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa Bupati Halteng dan menyelidiki kasus PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe dan woejerena serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat lukulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.


PT. Tekindo Mengancam Masa Depan Masyarakat Adat Sawai



Beberapa desa yang merupakan suku Sawai di Halmahera Tengah, antara lain Desa Kobe Pante, Desa Kulo, Lelilef, Lukulamo, dan warga transmigrasi di Woejerana SP2 sejak tahun 2010 sampai sekarang berhadapan dengan masalah yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan nikel PT Tekindo Energi, yang beroperasi  dari tahun 2009 di Desa Kobe dan Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah.
limbah masuk dalam tambak ikan



Perusahan tersebut telah mencemari air sungai Saloi dengan limbahnya padahal sungai tersebut dipergunakan oleh warga di Lukulamo dan Woejerana untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan tanaman mereka. Sehingga sampai sekarang masyarakat kesulitan air bersih. Alternatifnya menunggu bantuan air bersih dari perusahan, membeli air gelong atau menunggu air hujan. Bantuan air dari perusahan itu pun diambil Woe Snah yang sudah dieksploitasi oleh PT TAKA sub kontraktor PT WBN. Dalam keadaan terpaksa ketika persediaan air berkurang masyarakat harus mengkonsumsi air sungai yang di duga sudah tercemar. Sekitar 90 orang yang ada di dua desa, Woejerana dan Lukulamo yang menderita penyakit gatal – gatal. 
Limbah perusahan juga mengalir ke sawah, perkebunan kelapa dan tambak – tambak ikan. Produktifitas kelapa menurun, jika di tahun sebelum masuknya PT Tekindo mereka biasa memproduksi kelapa sampai 1 ton, sekarang paling 500 kg. Padi dan ikan ribuan ekor, mati semua karena limbah perusahan tersebut mengalir bersamaan banjir dan masuk ke kebun dan tambak-tambak milik warga. 

Masyarakat adat juga kesulitan untuk mengakses hutan adat mereka. Dinas kehutanan melarang masyarakat untuk membuka lahan baru di areal wilayah adat yang sudah dikuasai PT Tekindo dan PT WBN. Bahkan kebun dan tanah sekitar 2.000 hektar yang sudah dieksploitasi tidak diganti rugi. Hutan adat menjadi rusak karena digunduli, sehingga hewan buruan menjadi berkurang, laut ikut juga termar karena limbah perusahan yang mengalir sampai ke Teluk Weda. Hasil tangkapan nelayan di Kobe dan Lukulamo menurun drastis, bahkan mencari ikan untuk makan pun sudah sangat sulit. Masyarakat adat yang berjuang hak – hak mereka sering mendapat perlakuan yang tidak wajar, mereka dihadang oleh Polisi dan Brimob. Proses intimidasi ini berjalan terus – menerus.

Aktifitas PT.Tekindo Energi di lahan suku sawai
AMAN Maluku Utara melalui Biro Advokasi, Hukum dan Politik, Masri Anwar mengatakan perusahan ini melakukan kejahatan kemanusiaan, dia membunuh masyarakat dengan menghilangkan sumber – sumber penghidupan masyarakat. Ini pelanggaran terhadap UU HAM dan UU Lingkungan Hidup. AMDALnya tidak disosialisasikan secara luas di masyarakat. Menyewa Polisi untuk masuk ke wilayah adat. Tidak ada proses Free Prior Informed Consente (FPIC) yang dia pergunakan, apalagi menghargai hak – hak masyarakat adat Sawai atas tanah, wilayah dan SDA yang dilindungi dalam UU sama sekali tidak ada.
Lanjut dia, pemerintah daerah harusnya bertindak cepat. Perusahan ini jika dibiarkan terus – tenerus beroperasi maka nasib suku Sawai di beberapa kampung itu semakin sulit. Karena itu kami mendesak pemerintah segera mencabut izin perusahan tersebut karena sudah jelas – jelas melanggar UU. Kami telah menyiapkan kasus ini untuk dilaporkan Komnas HAM.

Selasa, 12 November 2013

Tekindo Lagi…..TEKINDO LAGI

Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut

Perusahan ini sekian lama membuat Suku Sawai yang berada di Desa Kobe Kulo dan Lukulamo tidak bisa tidur nyenyak dan terus mengalami kerugian karena aktifitas ekploitasi di kawasan tersebut secara ekstraktif. Ekploitasi sumberdaya alam itu masih berlanjut sampai saat ini. Kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber-sumber penghidupan terjadi namun luput dari perhatian Negara. Bahkan Pemerintah Daerah sering berdalih perusahan tersebut tidak memberikan dampak yang merugikan masyarakat adat.

Berdasarkan dengan Nomor SK 540/KEP/315/2009, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bernama Tekindo Energi ini diberikan izinnya oleh Bupati Halmahera Tengah, Ir Al Yasin Ali untuk melakukan kegiatan penambangan nikel di atas tanah adat seluas 3.890 hektar. Perusahan ini akan melakukan penambangan selama 20 tahun, terhitung dari tahun 2009 s/d 2029 (baca: Dinas Pertambangan Halteng). Namun sayangnya masalah demi masalah perlahan mulai muncul. Komunitas yang hidup di sekitarnya harus menerima dampak, salah satunya kehilangan tanah adat dan sumber air yang menjadi modal hidup masa kini dan akan datang.

Suku Sawai Memiliki Hak Atas Tanah, Wilayah dan SDA Seperti bunyi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” dan pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” (baca: UUD). Dalam konteks perundangan-undangan ini Suku Sawai baik yang hidup di Kobe, Lukulamo, Lelilef, Gemaf, Kya dan lain-lain, diakui keberadaan beserta haknya baik hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Salah satu yang penting adalah hak atas hutan (hutan adat). Pengakuan hak atas hutan ini merujuk pada Keputusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengakui ”Hutan Adat bukan Hutan Negara”. Hutan adat merupakan sumber penghidupan yang tidak dipandang pada nilai ekonomisnya saja, tapi ada nilai sosial dan religi yang menjadi satu kesatuan dengan masyarakat adat, karena itu harusnya dipertahankan kelestariannya untuk masa kini dan akan datang. Keberadaan perusahan tambang seperti Tekindo justru berbeda ceritanya. Kerusakan hutan akibat eksploitasi, belum lagi akses masyarakat adat terhadap sumber-sumber peghidupan lain terputus.

Hak atas tanah, wilayah adan sumberdaya alam merupakan hak asasi yang seharusnya bisa dinikamti oleh masyarakat adat sebagai pemilik hak. Ini merupakan hak bawaan yang diwarisi dari turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat itu sendiri. Tiga komponen ini bukan hak berian negara. Karena itu dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan SDA yang ada di wilayah adat yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahan, diharuskan untuk menghargai dan menghormati masyarakat adat sebagai pemilik sah atas satu kawasan ulayat.

Beberapa kesempatan ketika AMAN melakukan advokasi di komunitas, kehadiran PT Tekindo Energi di atas wilayah adat seluas 3.890 hektar ini tidak melaksanakan mekanisme Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), padahal mekanisme ini sudah menjadi prinsip pembangunan yang harus diterapkan perusahan tambang seperti Tekindo kepada masyarakat adat sebagai penerima dampak utama dari kegiatan mereka (Baca: UNDRIP). Suku Sawai menjadi objek yang dirugikan.

Bencana Karena Tekindo

Sejak melakukan penambangan dimuali pada tahun 2009, perusahan ini selalu memunculkan masalah. Satu demi satu masalah itu dirasakan oleh masyarakat adat baik yang ada di Kobe Kulo, Lukulamo dan masyarakat Transmigrasi Kobe. Dari 2011 masyarakat Lukulamo tidak bisa lagi mengkonsumsi air bersih yang mengalir lewat sungai Kobe. Sungai itu diduga sudah tercemar oleh limbah perusahan tambang, padahal aktifitas sehari – hari masyarakat selalu bersentuhan dengan sungai tersebut. Untuk kebutuhan air bersih masyarakat harus menunggu air yang disuplai oleh perusahan yang diangkut dari tempat lain. Perusahan Tekindo sesungguhnya telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Pelanggaran berat terhadap UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup juga terus terjadi. Pada tahun 2012 sebanyak 79 lahan sawah tidak bisa digarap karena terjadi sedimentasi. Bobolnya penampungan limbah perusahan sampai mengalir ke pemukiman penduduk bersamaan dengan banjir terjadi pada tanggal 7 September 2013 kemarin mengakibatkan ikan nila dan ikan mas ribuan ekor yang ditambak warga harus mati, perkebunan warga yang ditanami dengan tanaman bulanan mengalami gagal panen. Kasus seperti ini sudah sekitar 3 kali terjadi terus – menerus. Belum lagi penggundulan hutan adat oleh tambang yang jaraknya sekitar 3-4 kilo dari pemukiman penduduk. Namun tidak ada pengawasan yang pemerintah daerah, sehingga setiap musim hujan daerah tersebut pasti kena banjir. Derita lain dari banjir ini perumahan penduduk dan bahan sembako rusak total, hewan piaraan ikut hanyut.

Pemodal ini biasanya bekerjasama dengan Kepolisian dan Dinas Kehutanan terutama Polisi Kehutanan (Polhut) untuk mengkriminalisasi warga adat. Pada bulan April lalu warga harus berurusan dengan pihak kepolisian dan Polhut, karena membuka lahan kebun di wilayah konsesi tambang. Ini menunjukan akses masyarakat adat terhadap SDA yang merupakan haknya  terbatasi oleh izin pemerintah. Padahal SDA tersebut (tanah dan hutan) adalah hak masyarakat. Warga harus berjuang dengan melakukan demonstrasi menuntut pemerintah untuk mencabut izin perusahan tersebut.

Bupati Harus Bertindak

Pengelolaan sumberdaya alam harus memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adat/lokal bukan sebaliknya. Semangat itu yang ada di pasal 33 UUD 1945. Kesejahteraan itu bukan diukur dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan oleh perusahan kepada masyarakat adat dan royalty untuk PAD. Cara pandang seperti ini membuat kita menempatkan tanah dan hutan pada nilai ekonomisnya saja, pada akhirnya dimana-mana pemerintah memberikan izin eksploitasi SDA yang dilakukan secara masif, lalu masyarakat harus menjadi miskin. Pembangunan pada sektor ini harus menempatkan aspek kelestarian alam dan jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai instrumen dasar. Ketelibatan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan menjadi penting. Mereka bisa mengelola dan memanfaatkan sumbedaya alam tersebut dengan pendekatan nilai yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom).

Alihfungsi kawasan hutan di Halmahera Tengah untuk kegiatan pertambangan tidak memberikan keuntungan apa-apa kepada masyarakat adat. Bahkan sebaliknya kenyataan pahit harus diterima masyarakat yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan pertambangan tersebut. Sebanyak 38 rencana izin pertambangan (IUP) di Halteng yang nantinya masuk melakukan kegiatan eksploitasi menjadi ancaman baru. Kasus Tekindo harus memberikan pelajaran kepada Bupati agar berhati-hati memberikan izin tanpa melalui mekanisme yang menempatkan masyarakat adat sebagai subjek untuk menentukan YA atau TIDAK kegiatan pertambangan itu dilakukan di wilayah adat mereka.

Bupati Halmahera Tengah harusnya memiliki perhatian serius terhadap masalah yang dialami oleh Suku Sawai Kobe dan Lukulamo. Pelanggaran terhadap UU diatas tidak bisa ditolerir. Sekitar 2.000 jiwa masyarakat yang berada dalam lingkar tambang PT Tekindo terancam kehilangan mata pencaharian karena kegiatan pertambangan ini. Masyarakat kehilangan haknya, mereka tidak bisa beraktifitas kalau kegiatan pertambangan itu menguasai tanah dan hutan mereka. Karena itu izin perusahan tambang PT Tekindo Energi ini di cabut adalah keharusan yang mesti dilakukan segera oleh Bupati. Perlindungan dan Pengakuan Hak menjadi penting disini. Suku Sawai yang memiliki hak atas tanah, wilayah dan SDA yang jauh sebelum itu mereka sudah kuasai secara komunal, harus mendapat perlindungan dari pemerintah. Keputusan MK 35/PUU-X/2012, mendorong kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan inventarisasi hak – hak masyarakat adat diatas, termasuk membuat Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati masyarakat adat. Ini salah satu kunci untuk mensejahterakan masyarakat adat. (*)

sumber MalutPost :http://malutpost.co.id/2013/10/05/tekindo-lagi-tekindo-lagi/

Minggu, 10 November 2013

Konflik Sumber Daya Alam di Maluku Utara

Dari Seminar Identifikasi dan Kajian Konflik Pengelolaan SDA di  Maluku Utara oleh Unkhair dan Bappeda Malut
 

                                                                     Oleh: Munadi Kilkoda
                                                                  Ketua BPH AMAN Malut

Catatan ini dibuat sebagai bahan refleksi terhadap konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Maluku Utara yang diperoleh dari seminar sehari  Universitas Khairun  2 November 2013 di Hotel Surya Pagi Ternate.

Merujuk pada UUD 1945 pasal 33 ayat (3) berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam agar tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Jika demikian, maka dilakukan koreksi bersama kebijakan pembangunan pada sektor sumberdaya alam saat ini. Koreksi untuk melihat apakah cita– cita yang dimandatkan konstitusi ini sudah tercapai atau tidak? Apakah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di bangsa ini memunculkan masalah atau tidak? Apakah rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas sumberdaya alam ini memperoleh keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam itu atau tidak? Mari kita melihat potret yang terjadi di Maluku Utara

Akar Konflik Sumber Daya Alam

Kasus agraria yang banyak merugikan masyarakat Maluku Utara termasuk di dalamnya masyarakat adat adalah masalah klasik yang tidak pernah selesai. Kasus tersebut bukan berkurang justru semakin bertambah seiring dengan regulasi dan kebijakan pembangunan pada sektor sumberadaya alam yang dirumuskan oleh pemerintah selama ini.

Riset Unkhair menemukan izin pertambangan di beberapa tempat yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah menimbulkan masalah di lapangan, baik CSR, lingkungan, tanah, hutan, tenaga kerja dan mengusik keharmonisan masyarakat setempat. Perusahan – perusahan tersebut adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) di Halut berkonflik dengan Suku Pagu, PT Aneka Tambang di Haltim, berkonflik dengan suku Maba dan Buli, PT Karya Cipta Sukses Lestari berkonflik dengan masyarakat Bicoli, PT MMC berkonflik dengan masyarakat Ngele-Ngele dan Pemkab Morotai, PT GMM berkonflik dengan masyarakat Gane Dalam, PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo Energi berkonflik dengan Suku Sawai.

Konflik SDA/Agraria ini jauh sebelum itu sudah didokumentasikan oleh AMAN dan Jaringan Simpul LSM di Maluku Utara. Data AMAN, ada 53 warga adat di tahun 2012 s/d 2013 yang di kriminalisasi karena berjuang mempertahankan tanahnya yang dikuasai oleh izin tambang dan sawit. Konteks kebijakan ini semakin berbahaya karena mengancam kehidupan masyarakat adat/lokal setempat.
Pemerintah justru menutup mata membiarkan masalah tersebut terjadi. Tarulah kasus yang sementara ini dihadapi Suku Sawai dengan PT Tekindo dan PT Weda Bay Nikel. Sekitar 3.000 jiwa warga adat Sawai dan Tobelo Dalam di sekitar tambang yang terancam kehilangan sumber penghidupan mereka, termasuk sumber air bersih. Masalah yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas tanah, wilayah adat dan sumber air bersih tidak pernah tuntas terselesaikan. Kalaupun selesai, itu justru menimbulkan masalah baru di masa depan. Ganti rugi seperti yang di dilakukan PT WBN bukan cara yang bermartabat dalam penyelesaian konflik.

Beberapa bulan lalu ada riset teman – teman peneliti dari perguruan tinggi di Australia terhadap proyek yang didanai Bank Dunia yakni PT Weda Bay Nikel. Dalam laporan yang mereka buat menemukan bahwa PT. WBN dalam menggunakan lahan milik masyarakat Suku Sawai dan Suku Tobelo Dalam tidak berdasarkan hak atas persetujuan penggunaan lahan dengan berdasarkan pada prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan yang mendahulukan informasi atas dampak yang akan dialami masyarakat ketika kehilangan lahan tersebut (free, prior, informed, consente).
Masyarakat tidak diberikan pilihan lain selain melepas tanah yang sudah mereka kelola sejak leluhur mereka hidup di wilayah tersebut. Akibatnya sumber penghidupan menjadi hilang. Masyarakat dikondisikan pada situasi yang tidak diuntungkan, pada akhirnya mereka beralih profesi dari petani dan nelayan menjadi buruh di perusahan tersebut.

Aneh lagi, masyarakat dilarang mengakses hutan adat mereka yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung dan taman nasional. Sementara PT WBN, PT NHM, dan PT ANTAM lewat Perpu Nomor 41. Tahun 2004 diperbolehkan melakukan kegiatan tambang di hutan lindung. Konflik sumber daya alam ini bukan lagu baru untuk kita di Maluku Utara. Berbagai kebijakan dibuat untuk memuluskan langkah kapital menguasai SDA. Salah satu yang tren saat ini adalah Program Masterplan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mendorong Maluku Utara bergerak pada dua sektor, yakni Perikanan di Morotai dan Tambang di Halmahera. Ini paradigma pembangunan yang sangat keliru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak kerugian yang nanti dialami masyarakat secara permanen. Berdasarkan data Kementerian ESDM di 4 kabupaten/kota di Maluku Utara berdomisili 148 Ijin Usaha Pertambangan (IUP),  jika ditambah dengan beberapa Kabupaten yang tidak termasuk di dalam data ini, maka dipastikan jumlah IUP di Maluku Utara lebih dari 200. Sayang sekali pulau kecil seperti Maluku Utara justru kebijakan pembangunannya disamakan dengan pulau besar.

Akar konflik pada sektor sumberdaya alam dimulai dari perumusan kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan aspek lain seperti hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Kebijakan yang dibuat justru membatasi masyarakat untuk memperoleh haknya. Perusahan yang memegang izin konsesi juga merasa berkuasa atas segala yang ada di dalamnya, sehingga seenaknya melakukan pengusiran kepada masyarakat yang lebih dulu ada di dalam wilayah konsesi tersebut. Kesalahan pemahaman pemerintah atas penguasaan SDA seperti ini jika tidak diperbaiki, akan memicu konflik yang lebih besar yang akan merugikan banyak pihak.

Jalan Keluar

Penyelesaian konflik agraria pada sektor sumberdaya ini membutuhkan langkah revolusioner. Seperti revisi regulasi pada sektor SDA yang banyak menimbulkan konflik, termasuk juga peninjauan kembali ijin-ijin pertambangan dan sektor lain yang bermasalah dengan masyarakat. Pemerintah juga harus mengoreksi program MP3EI, karena berpeluang mendatangkan konflik agraria yang berkepanjangan yang akan merugikan masyarakat adat/lokal. Keputusan MK terhadap UU Kehutanan yang telah memisahkan hutan adat dengan hutan negara juga harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan melakukan inventarisasi hutan adat serta membuat perda untuk mengakui keberadaan masyarakat adat beserta haknya. Keputusan MK ini adalah jalan keluar untuk menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini memicu konflik masyarakat adat dengan pemerintah dan pemegang izin di sektor kehutanan.

Selama ini pemerintah senang membuat konflik tapi tidak memiliki cara dalam menyelesaikan konflik tersebut. Kita memang butuh mekanisme penyelesaian konflik yang melibatkan para pihak, namun mekanisme saja tidak cukup untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat kalau paradigma yang eksploitatif itu tidak dirubah oleh pemerintah.

Akhirnya apapun mekanisme yang dibuat, dan sehebat apapun mekanisme itu, jika hulu di mana awal konflik itu bermula tidak diperbaiki, maka sama saja membuang garam di laut. Artinya konflik akan terus–menerus terjadi

Sumber: http://malutpost.co.id/2013/11/06/konflik-sumber-daya-alam-di-maluku-utara/