Oleh : Ubaidi
Abdul Halim
Biro OKK AMAN
Malut
Buah pala (myristica
fragrans) merupakan
komoditas asli masyarakat adat Maluku Utara.
Komoditas ini, yang membuat pelayaran bangsa-bangsa Eropa untuk datang
ke Maluku Utara. Sumber daya alam Maluku Utara sangat berlimpah ruah sehingga
terdokumentasikan dalam lembaran-lembaran sejarah bangsa-bangsa Eropa. Negeri ini, sering juga disebut Gafilin
Mahira. Negeri yang katanya menyimpan banyak
kekayaan alam dan hampir terlupakan
dalam sejarah peradaban manusia yang konon disebut-sebut mengetahui asal-usul
sejarah manusia.
Biji Pala dari Suku Patani, Halmahera Tengah (Dok: AMAN Malut) |
Doktrin politik hegemoni kolonialisme
masih terasa di ingatan kita dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Semua orang
tahu di masa lalu, bahwa ekspansi ekonomi besar-besaran bangsa Portugis, Spanyol,
Inggiris, dan Belanda ingin menguasai ekonomi dan perluasan wilayah serta merebut
rempah-rempah berupa pala dan cengkeh di tangan masyarakat adat Pulau Halmahera
di Indonesia. Kejayaan Maluku ada di komoditas ini
Hal itu
yang mendorong bangsa-bangsa Eropa berlomba- lomba mencari daerah penghasil
rempah-rempah ini. Seiring dengan dogma Gold, Glory and Gospel alias kekayaan,
kejayaan, dan penyebaran agama. Berkat kekuatan masyarakat adat dan restu para leluhurlah, bangsa-bangsa diatas berhasil diusir dari
daerah ini.
Pala lebih sejahtera
Tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa
biji pala lebih mahal dibandingkan dengan, “ biji nikel”. Pala saat ini menjadi
komoditas berharga di Pulau Halmahera. Selain
memiliki rempah-rempah pala dan cengkeh, Maluku Utara juga kaya akan sumberdaya
alam lainnya berupa tambang, emas dan nikel. Bahkan daerah ini, di anugerahi
potensi sumberdaya perikanan, jika sektor-sektor ini dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik, maka akan menjadi supporting terhadap kehidupan masyarakat adat
dan penduduk Maluku Utara di masa depan.
Bukan tambang tapi pala
Membangun Maluku Utara bukan hanya bertumpu
pada sektor pertambangan tapi ada
sektor-sektor lain seperti pala yang harus di pikirkan oleh pemerintah daerah. Penetapan kawasan hutan sepihak lewat skema
perizinan sangat memprihatinkan. Betapa tidak, hutan dan wilayah masyarakat adat
masuk dalam penguasaan negara padahal sudah diuji (baca Putusan MK 35) konversi
lahan produktif menjadi lahan perkebunan sawit terjadi hampir diseluruh wilayah
adat di Pulau Halmahera.
Di Patani Timur misalnya, baru-baru ini
kita di kejutkan oleh berita Bupati Kabupaten Halmahera Tengah memberikan izin
kepada perusahan sawit PT. Manggala Rimba seluas 11.870 Ha. Padahal hutan ini, didalamnya
terdapat kebun pala dan cengkih, yang dikelola masyarakat yang mendatang income
yang luar bisa secara turun-temurun.
dok. pala suku Patani |
Pengambilan kebijakan negeri harus
kembali kepada komoditas ini. Namun hari ini, harapan tak sejalan dengan
realitas. Sepertinya banyak persoalan pengelolahan dan pemanfaatan sumberdaya
alam justru menimbulkan banyak masalah baru. Eksploitasi sektor bertambangan
menjadi “juara satu” di dalam nalar dan pikiran pengambilan kebijakan. Perampasan tanah-tanah di wilayah adat dan
tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sering mewarnai halaman-halaman
pertama media massa.
Membangun keadilan dan kesejahteraan
masyarakat Maluku Utara hanya mimpi di siang hari bolong karena negara membuka
jalan baru dan sering memfasilitasi kepentingan para investor menguras SDA dan
mengabaikan kesejatraan umum masyarakat. Lubang masuknya yaitu lewat regulasi
perizinan dan Undang-Undang sektoral yang pro terhadap pemodal dan pada
akhirnya masyarakat adat akan miskin diatas wilayah yang kaya akan sumberdaya
alam itu.
Hari ini, pala harus menjadi komoditas gerakan untuk melawan
tambang. Fakta menunjukan kepada kita
bahwa “Suku Patani” di Kabupaten Halmahera Tengah kehidupannya sangat
bergantung pada komoditas ini. Biasanya dalam sekali panen, satu pohon pala
bisa menghasilkan 2-5 juta rupiah. Artinya pala lebih menjanjikan kesejahteraan
ketimbang sektor tambang, sawit dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar