Sabtu, 26 April 2014

PALA LEBIH MAHAL DARI NIKEL



Oleh : Ubaidi Abdul Halim
Biro OKK AMAN Malut


Buah pala (myristica fragrans) merupakan komoditas asli masyarakat adat Maluku Utara.  Komoditas ini, yang membuat pelayaran bangsa-bangsa Eropa untuk datang ke Maluku Utara. Sumber daya alam Maluku Utara sangat berlimpah ruah sehingga terdokumentasikan dalam lembaran-lembaran sejarah bangsa-bangsa Eropa.  Negeri ini, sering juga disebut Gafilin Mahira.  Negeri yang katanya menyimpan banyak kekayaan alam dan  hampir terlupakan dalam sejarah peradaban manusia yang konon disebut-sebut mengetahui asal-usul sejarah manusia. 

Biji Pala dari Suku Patani, Halmahera Tengah (Dok: AMAN Malut)
 Doktrin politik hegemoni kolonialisme masih terasa di ingatan kita dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Semua orang tahu di masa lalu, bahwa ekspansi ekonomi besar-besaran bangsa Portugis, Spanyol, Inggiris, dan Belanda ingin menguasai ekonomi dan perluasan wilayah serta merebut rempah-rempah berupa pala dan cengkeh di tangan masyarakat adat Pulau Halmahera di Indonesia. Kejayaan Maluku ada di komoditas ini

Hal itu yang mendorong bangsa-bangsa Eropa berlomba- lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah ini. Seiring dengan dogma Gold, Glory and Gospel alias kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama. Berkat kekuatan masyarakat adat dan restu para leluhurlah,  bangsa-bangsa diatas berhasil diusir dari daerah ini.


Pala lebih sejahtera 

Tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa biji pala lebih mahal dibandingkan dengan, “ biji nikel”. Pala saat ini menjadi komoditas berharga di Pulau Halmahera.  Selain memiliki rempah-rempah pala dan cengkeh, Maluku Utara juga kaya akan sumberdaya alam lainnya berupa tambang, emas dan nikel. Bahkan daerah ini, di anugerahi potensi sumberdaya perikanan, jika sektor-sektor ini dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi supporting terhadap kehidupan masyarakat adat dan penduduk Maluku Utara di masa depan.


Bukan tambang tapi pala

Membangun Maluku Utara bukan hanya bertumpu pada sektor pertambangan tapi  ada sektor-sektor lain seperti pala yang harus di pikirkan oleh pemerintah daerah.  Penetapan kawasan hutan sepihak lewat skema perizinan sangat memprihatinkan. Betapa tidak,  hutan dan wilayah masyarakat adat  masuk dalam penguasaan negara padahal sudah diuji (baca Putusan MK 35) konversi lahan produktif menjadi lahan perkebunan sawit terjadi hampir diseluruh wilayah adat di Pulau Halmahera.
Di Patani Timur misalnya, baru-baru ini kita di kejutkan oleh berita Bupati Kabupaten Halmahera Tengah memberikan izin kepada perusahan sawit PT. Manggala Rimba seluas 11.870 Ha. Padahal hutan ini, didalamnya terdapat kebun pala dan cengkih, yang dikelola masyarakat yang mendatang income yang luar bisa secara turun-temurun.


dok. pala suku Patani
Pengambilan kebijakan negeri harus kembali kepada komoditas ini. Namun hari ini, harapan tak sejalan dengan realitas. Sepertinya banyak persoalan pengelolahan dan pemanfaatan sumberdaya alam justru menimbulkan banyak masalah baru. Eksploitasi sektor bertambangan menjadi “juara satu” di dalam nalar dan pikiran pengambilan kebijakan.  Perampasan tanah-tanah di wilayah adat dan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sering mewarnai halaman-halaman pertama media massa. 

Membangun keadilan dan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara hanya mimpi di siang hari bolong karena negara membuka jalan baru dan sering memfasilitasi kepentingan para investor menguras SDA dan mengabaikan kesejatraan umum masyarakat. Lubang masuknya yaitu lewat regulasi perizinan dan Undang-Undang sektoral yang pro terhadap pemodal dan pada akhirnya masyarakat adat akan miskin diatas wilayah yang kaya akan sumberdaya alam itu.

Hari ini, pala harus menjadi komoditas gerakan untuk melawan tambang.  Fakta menunjukan kepada kita bahwa “Suku Patani” di Kabupaten Halmahera Tengah kehidupannya sangat bergantung pada komoditas ini. Biasanya dalam sekali panen, satu pohon pala bisa menghasilkan 2-5 juta rupiah. Artinya pala lebih menjanjikan kesejahteraan ketimbang sektor tambang, sawit dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar