Minggu, 23 Maret 2014

Aktivitas Penjualan Ikan di Kota Ternate

Aktivitas Bongkar Muat Ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (Foto : AMAN Malut)

Pelelangan Ikan di Pasar PPN ( Foto : AMAN Malut)
Suasana Pasar Pelabuhan Perikanan Nusantara (Foto : AMAN Malut)


Ternate – Pagi itu (21/3) sekitar pukul 06.00 Wit, saya bersama – sama dengan beberapa teman memantau aktivitas warga di pelabuhan perikanan Dufa - Dufa dan pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Bastiong. Pelabuhan perikanan Dufa - Dufa terletak di Kelurahan Dufa – Dufa, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate. Sekitar 100 meter dari pelabuhan terdapat benteng Toluko peninggalan Portugis. Butuh waktu sekitar 25 menit dari kantor AMAN untuk sampai ke pelabuhan tersebut.


Selain berfungsi sebagai pelabuhan perikanan, juga menjadi pintu masuk penyebrangan Ternate – Jailolo, Halmahera Barat. Terdapat juga pasar tradisional di sekitarnya yang menjual kebutuhan sembako dan kue khas Ternate baik Nasi Jaha, Lalampa dan sebagainya. Warga juga menjual ikan fufu (ikan asap) dan sayur – mayur. 


Aktifitas di pelabuhan tersebut masih sangat sepi pengunjung. Tampak juga beberapa penjual baru menyusun ikan mereka yang dikeluarkan dari cool box (tempat pendingin). "Memang pasar masih sepi jam bagini, ditambah hujang tadi lagi. Pembeli juga biasanya datang ke pasar bukan jam – jam begini. Distribusi ikan disini diambil dari nelayan - nelayan Ternate deng Tidore,” ungkap Iwan salah satu penjual ikan di pasar tersebut.


Kondisi tersebut berbeda dengan yang kami lihat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) 
Bastiong pagi itu setelah selesai dari Pelabuhan Dufa - Dufa. Banyak pembeli yang mulai berdatangan untuk membeli berbagai jenis ikan.


Dua orang perempuan yang saya temui saat itu, Ibu Am (58) dan Ibu Jamila (50) dari pagi itu sudah menunggu nelayan (Pajeko) dari Pulau Bacan. Mereka merupakan langganan setiap hari ketika nelayan membawa ikan dari Bacan ke Ternate lewat pelabuhan PPN


"Saya tinggal di Tabona tapi pagi sekali saya sudah di sini untuk mengambil ikan dan menjualnya,” ujar Ibu Am. Sedangkan harga ikan seringkali dipengaruhi faktor cuaca dan musim. "Kami biasanya mengambil ikan dari nelayan Bacan dan mendapat keuntungan sampai Rp 200.000, kalau tidak beruntung biasanya paling sedikit Rp 100.000 ribu," tambah Ibu Jamila.


Keduanya biasa membeli dari Nelayan Bacan (Pajeko) dengan harga Rp 250.000 per ember, kemudian menjualnya kembali dengan harga Rp 10.000 per 6 ekor. Jenis ikan yang dibeli itu Cakalang, Kombong dan Sorihi


PPN Bastiong merupakan Tempat Pemasaran Ikan (TPI) untuk mendistribusikan berbagai jenis ikan ke beberapa Pasar di Kota Ternate kecuali Pasar Dufa – Dufa. PPN sendiri berada dibawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan, sehingga tersedia pelayanan Satu Atap yaitu Syahbandar Perikanan (SIB), Karantina Kesehatan (klinik dan surat kesehatan), Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) dan pos Penyuluhan Perikanan. Selain itu juga pusat distribusi ikan dari berbagai nelayan yang ada di Maluku Utara untuk kebutuhan konsumsi local dan di ekspor sampai ke Jepang. Juga terdapat laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan dan bersebalahan dengan pabrik pengolahan ikan Tuna satu - satunya di Maluku Utara.


Dua pelabuhan ini menjadi sentral perekonomian sektor perikanan di Kota Ternate yang telah menghidupi sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan. Pemerintah berencana menjadikan Pelabuhan Dufa – Dufa sebagai Minapolitan. Tentu akan memberikan dampak positif dan negatif dengan kebijakan tersebut ****Adlun Fiqri

Senin, 17 Maret 2014

Siaran Pers HKMAN dan HUT AMAN Ke - 15


Hari Kebangkitan Masyarakat Adat dan HUT AMAN Ke-15:

Masyarakat Adat dan Mahasiswa Mendesak Implementasi MK-35 dan Pengesahan RUU PPHMA


Ternate – Masyarakat Adat Maluku Utara dan AMAN hari ini merayakan hari kebangkitan gerakan yang dibangun 15 tahun yang lalu tepat pada 17 Maret 1999. Kebangkitan ini sebagai bentuk perlawanan masyarakat adat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara dan para pemodal karena banyak melanggar hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, sumberdaya alam, pembangunan, kelembagaan adat dan kearifan lokal.

Ratusan ribu jiwa yang terdapat di 48 komunitas yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara saat ini kesulitan mengakses haknya. 345 izin pertambangan, izin sawit dan HPH oleh negara dikeluarkan kebijakan tersebut dan rata – rata berada di dalam wilayah adat. Akibatnya konflik agraria dan pencemaran lingkungan muncul menjadi tontonan setiap hari, lalu masyarakat adat tidak bisa berbuat apa karena mereka berhadapan dengan kekuatan yang tidak seimbang. Izin – izin tersebut masuk dan menguasai wilayah adat tanpa bermusyawarah lebih dulu dengan masyarakat adat. Perlawanan mereka mengakibatkan sebagian darinya harus dipenjarahkan, sebagian terusir dari wilayah adat mereka sendiri. Negara selama ini mengabaikan dan membiarkan peristiwa itu terjadi. Demi pemodal, negara sendiri mengabaikan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang memerintahkan SDA dikelola untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidup masyarakat, bukan pihak asing. 

Ironi pembangunan di Maluku Utara seperti ini, dijawab dengan munculnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang telah mengakui HUTAN ADAT adalah MILIK MASYARAKAT ADAT, bukan MILIK NEGARA. Sayangnya sejak diputuskan MK pada tanggal 16 Mei 2013, sampai saat ini mandat tersebut tidak kunjung di implementasikan oleh pemerintah, termasuk Pemda Maluku Utara. AMAN juga sejak tahun 2010 telah mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat (PPHMA), sampai tahun 2014 RUU tersebut tidak perna disahkan oleh DPR RI, sementara RUU lainnya yang masuk belakangan sangat cepat di bahas dan disahkan oleh mereka. Lagi – lagi negara memberikan pertunjukan yang tidak adil dan mengabaikan hak suatu komunitas sebagai aspek terpenting dalam keberlanjutan hidup masyarakat adat. 

Di Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ini, AMAN dan Elemen Mahasiswa Maluku Utara mendesak kepada, (1) Pemerintah segera mengesahkan RUU PPHMA, (2) Pemerintah segera mengimplementasikan Putusan MK-35, (3) Pemerintah segera mencabut izin – izin pertambangan dan perkebunan besar yang mengancam keselamatan masyarakat Maluku Utara, (4) Mendesak KPK mengaudit seluruh izin tambang di Maluku Utara yang syarat dengan praktek KKN.

By: Aliansi Penyelamat HUTAN ADAT di Maluku Utara
(AMAN, GAMHAS, SAMURAI, LMND, GEMPAR......   





Peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) ke 15 di Maluku Utara - Segera Implementasikan MK 35 dan Sahkan RUU PPHMA

Ternate - Peringatan HKMAN ke 15 di Maluku Utara yang juga merupakan hari lahirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dilakukan dengan demonstrasi ke beberapa titik penting di kota Ternate yakni ke Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, RRI Ternate dan pasar Gamalama.

Mengambil start dari Rumah AMAN Maluku Utara, massa demonstran yang berjumlah sekitar 100 orang ini melakukan long march ke arah Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara yang berada di kelurahan Maliaro, Kota Ternate.  dengan dikawal puluhan aparat kepolisian, demonstran kemudian berorasi menuntut bubarkan Kementrian Kehutanan yang tak becus mengurus hutan di Indonesia dan juga sebagai biang dari berbagai konflik agrararia yang terjadi di Indonesia khususnya Maluku Utara.

 
Long March menuju ke kantor Dinas Kehutanan Prov. Malut (Foto : AMAN Malut)

Demontrasi di depan Kantor Kehutanan Prov. Malut (Foto : AMAN Malut)
 
Poster berisi kecaman kepada Dinas Kehutanan (Foto : AMAN Malut)
 Segera Implementasikan putusan MK 35, Sahkan RUU PPHMA dan Perda tentang Masyarakat adat, dan Bubarkan Kementrian Kehutanan, demikian agenda tuntutan dari Koalisi Pendukung Hutan Adat di Maluku Utara. Koalisi ini sendiri digagas oleh AMAN Maluku Utara bersama-sama dengan organisasi sayap AMAN (perempuan AMAN dan BPAN) serta elemen pemuda dan mahasiswa di Maluku Utara (Gamhas, BEM FATEK, LMND, HPMK, HIPMA SAGEA, FKPPM, BARET, BEM PERIKANAN, BEM SASTRA).

Hampir seluruh hutan yang ada di Maluku Utara di jadikan kawasan Hutan Negara, lalu dimana wilayah hutan adat milik masyarakat adat? Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi No 35 tahun 2012 terhadap UU No 41 tentang Kehutanan telah mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat dengan mengeluarkannya dari kawasan hutan negara. Harusnya ini bisa segera diimplementasikan oleh Kementrian terkait dalam hal ini kementrian Kehutanan. Tapi yang terjadi Kementrian dan dinas Kehutanan sendiri sengaja acuh tak acuh terhadap putusan MK ini. Kementrian Kehutanan sepertinya tak ikhlas memberikan hak penguasaan hutan kepada masyarakat adat. Kawasan hutan lebih gampang diberikan kepada investor tambang, HPH, HTI dan sawit dibandingkan diberikan kepada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hutan itu sendiri.

Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan pun bak seorang pesulap yang hanya menunjuk dipeta untuk menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan hutan. Padahal, mungkin saja dalam wilayah tersebut ada wilayah dan hutan milik masyarakat adat. Berbagai konflik terjadi dimana-mana. Kriminalisasi masyarakat yang menuntut haknya atas hutan, penangkapan masyarakat oleh polisi ketika membuka kebun di dalam kawasan hutan serta penyerobotan lahan masyarakat oleh investor tambang dan sawit telah menjadi rahasia umum di Maluku Utara. kasus PT. NHM, PT. WBN, penangkapan warga Kobe serta kasus kelapa sawit di Gane Timur telah menambah panjang daftar hitam dosa Kementrian dan Dinas Kehutanan terhadap masyarakat adat di Maluku Utara. 

Hampir satu tahun sudah, terhitung sejak bulan Mei 2013 pasca keluarnya putusan MK 35 tersebut, Kementrian dan Dinas Kehutanan tak berbuat apa-apa. Seakan tak ikhlas untuk melaksanakan putusan ini.  demikian orasi yang disampaikan demonstran di depan Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. 

 
Bubarkan Kementrian Kehutanan diteriakan seorang orator (Foto : AMAN Malut)
Perwakilan Dinas Kehutanan menemui demonstran ( Foto : AMAN Malut)
Demonstran pun ditemui oleh Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Maluku. Dalam hearing terbuka beliau berjanji akan mengkomunikasikan hal ini dengan Dinas-dinas terkait seperti BPN dan juga pemerintah Provinsi dan Kabupaten.

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut mengemukakan, sampai saat ini Dinas Kehutanan provinsi Maluku Utara terus berjanji akan melakukan ini dan itu guna mengimplementasikan putusan MK 35 ini yang sampai hari ini janji tersebut tidak terbukti. Sampai kapan janji tersebut dibuktikan ? untuk itu AMAN Maluku Utara dan AMAN di seluruh Nusantara menuntut untuk segera dibubarkan saja Kementrian Kehutanan yang tak becus mengurus hutan dan tak ikhlas mengimplementasikan putusan MK 35 ini. 

Aksi dilanjutkan kembali di depan Radio Republik Indonesia dengan menuntut RRI menjadi radio yang independent, menjadi corong dalam memberitakan hutan adat di Maluku Utara. perwakilan massa kemudian memberikan tuntutannya kepada pihak RRI untuk nantinya diberitakan. 

Aksi di depan RRI Ternate ( Foto : AMAN Malut)
Aksi di pasar Gamalama (Foto : AMAN Malut)

Setelah RRI, massa demonstran melakukan long march kembali menuju Pasar Gamalama yang merupakan salah satu pusat aktivitas warga di Kota Ternate. Massa kemudian berorasi dan membagi-bagikan selebaran yang berisi tuntutan guna pengakuan hutan dan hak-hak masyarakat adat.

Masri Anwar, Biro Advokasi AMAN Malut yang juga bertindak selaku Koordinator Lapangan aksi mengatakan, aksi ini merupakan akumulasi dari berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat adat. Selain itu juga guna menuntut segera di implementasikan JR MK 35, segera sahkan RUU PPHMA, Bubarkan Kementrian Kehutanan, Harus adanya Perda Masyarakat Adat, pencabutan izin dan moratorium izin pertambangan dan perkebunan skala besar serta mendesak penegak hukum mengusut tuntas praktek KKN di sektor pertambangan yang terjadi di Maluku Utara. 

Hidup Masyarakat Adat...