Rabu, 30 Juli 2014

Komunitas Tobelo Dalam Waleino; Pendidikan, Kesehatan dan Pemetaan Wilayah Adat Menjadi Kebutuhan Penting Saat Ini



Perumahan di Dusun Waleino, Maba Utara

Jalan tanah dengan sesekali melewati kubangan yang penuh dengan air atau sungai kecil yang membelah jalan merupakan perjalanan kami hari ini (22 Juli 2014) dari Wasileo menuju salah satu komunitas Suku Tobelo Dalam di Kecamatan Maba Utara, Waleino. Dusun kecil yang terletak dekat dengan sungai Akelamo, sungai dengan DAS terpanjang di pulau Halmahera. Untuk menuju Waleino, bisa menggunakan sepeda motor ataupun viar, kendaraan bermotor yang menggunakan bak di belakangnya dari desa terdekat yakni Wasileo atau Pumlanga. Sekitar 1 jam perjalanan dengan ditemani hamparan pemandangan hutan dan kebun masyarakat di sisi kiri kanan jalan. Kondisi jalan yang belum beraspal mengharuskan kami ekstra hati-hati. Ironisnya  sudah 67 tahun Indonesia merdeka namun pembangunan infrastruktur jalan di wilayah ini masih jauh tertinggal dari daerah-daerah lain di Maluku Utara. Jalan ini pun bekas perusahan kayu yang pernah beroperasi di wilayah tersebut. 
Suasana Dusun Waleino di Sore Hari
Sungai Akelamo, Diapit Oleh Bukit yang Merupakan Batas Wilayah Adat Waleino
Waleino merupakan anak desa/dusun dari Desa Pumlanga Kecamatan Maba Utara Kabupaten Halmahera Timur. Dalam bahasa setempat, Waleino berasal dari kata ‘Wale’ (Mangga) dan ‘Ino’ (Datang) yang berarti “ Datang dari mangga”. Kata mangga digunakan karena pada kampung tua mereka terdapat 3 buah pohon mangga besar.  Berbeda dengan desa induknya yang penduduknya datang dari berbagai suku, sebagian besar penduduk Waleino adalah Suku Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) ditambah beberapa pendatang yang menikah dengan warga Waleino. 

Sungai Akelamo Saat Meluap
Setelah menempuh perjalanan darat, kami pun tiba di dusun Waleino disambut dengan ramah oleh beberapa warga yang kemudian mengantar kami ke rumah kepala dusun. Suaib Kaibi, kepala dusun Waleino menyambut kami masuk ke rumahnya. Rumah masyarakat Waleino merupakan rumah bantuan dari pemerintah lewat dinas sosial waktu itu ketika mereka mengalami bencana banjir di tahun 2007. Belum setahun mereka menempati rumah-rumah ini. Ketika kami tiba, suasana dusun ini agak lengang, yang terlihat hanya beberapa perempuan yang lalu lalang membawa jirigen berisi air. Menurut kepala dusun, sebagian besar laki-laki sementara ke hutan untuk mengambil makanan. Setelah menyantap makanan yang disedikan kepala dusun, perlengkapan kami pun dirapikan, sambil mulai merebahkan badan mengatasi capek perjalanan. 

Malam haripun datang. Kondisi dusun mulai gelap tanpa penerangan listrik. Masyarakat biasanya menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar untuk menerangi dusun ini. Itupun hanya untuk beberapa rumah sampai sekitar jam 11 malam. Penggunaan energi fosil yang kotor serta mahal digunakan masyarakat disini karena memang tak ada pilihan lain. Untuk mendapat layanan listrik dusun, tiap KK harus membayar seratus ribu tiap bulannya. Itu juga tak menjamin lampu akan menyala satu bulan penuh. Setelah lampu padam, masyarakat menggunakan lampu minyak atau loga-loga untuk menerangi rumah masing-masing. Layanan listrik oleh PLN masih menjadi angan-angan besar masyarakat Waleino. Entah kapan itu terjadi. Hidup dengan keterbatasan layanan pemerintah sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagain masyarakat yang tinggal di derah pelosok. Kalau seperti ini, kenapa kita harus bernegara ?

Kondisi Pendidikan dan Kesehatan
Bangunan Sekolah yang Tak Digunakan Lagi
Selain rumah bantuan, di dusun ini juga terdapat gedung sekolah dasar. Ada 2 unit gedung sekolah, satu yang lama dan satunya yang baru. Kondisi gedung lama sudah tidak lagi terurus karena terletak di bekas kampung yang terkena banjir walaupun kondisi fisik gedungnya masih baik. Aktivitas belajar mengajar menggunakan gedung baru yang hanya tersedia 3 ruang kelas untuk menampung kurang lebih 50 anak usia sekolah tanpa perpustakaan dan fasilitas pendukung lainnya. 

Jauh dari kota dengan fasilitas yang terbatas membuat banyak guru tak mampu bertahan di dusun ini. Menurut tuturan warga, saat ini ada 3 orang guru yang mengajar di sekolah. Namun biasanya mereka datang mengajar sekali seminggu. Lebih parahnya lagi, ada yang datang 1 minggu dan kemudian pergi 1 bulan. Pendidikan baca-tulis-hitung menjadi kebutuhan dasar yang masih sulit di dapatkan anak sekolah disini.
Kami kemudian berdiskusi dengan beberapa warga membahas hal ini. Anak-anak disini sebenarnya memiliki semangat untuk sekolah, tapi kalau kondisi guru seperti ini anak-anak ini tak mungkin menjadi pandai. Lebih baik ikut orang tua ke hutan untuk mengambil makanan dan berburu, ungkap Jitro Kaibi, salah satu warga Waleino yang kemudian dibenarkan oleh beberapa warga yang turut hadir. Anak-anak yang dibawa orang tua mereka ke hutan pun berminggu-minggu lamanya. Kondisi pendidikan yang sangat minim membuat orang tua tak mampu berbuat banyak untuk menghadirkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka selain terus berharap akan datangnya guru untuk mengajar, 6 hari dalam seminggu. Beberapa orang dewasa di dusun ini sudah bisa membaca dan menulis. Mereka merupakan hasil program literasi yang dibawa misionaris ke dusun ini, 14 tahun lalu.  Hati serasa teriris melihat kondisi pendidikan yang sangat menyedihkan di tempat ini ketika ditempat lain fasilitas pendidikan yang dirasakan sangat layak.
Hamu, Salah Satu Anak yang Ikut Orang Tuanya Ke Hutan Karena Tak Ada Aktivitas Sekolah di Dusun
Selain pendidikan, kebutuhan penting lainnya adalah sarana kesehatan. Tak terdapat puskesmas atau polindes di dusun ini. Bila ada masyarakat yang sakit mereka biasanya menggunakan obat-obatan tradisional namun untuk penyakit yang lebih besar mereka harus berobat ke puskesmas di Dorosago, kota kecamatan yang berjarak kurang lebih 25 KM. Untuk transportasi pergi pulang saja bisa menghabiskan 500 – 700 ribu rupiah. Itupun belum terhitung biaya makan dan obat. Karena keterbatasan biaya, hanya sedikit orang yang bisa memeriksakan kesehatan mereka. Menurut kepala dusun, hal ini juga yang membuat beberapa ibu meninggal saat akan melahirkan karena tak ada bidan yang membantu. Miris mendengar kondisi sosial disini.

Wilayah Adat dan Ancaman DAM serta Taman Nasional
Masyarakat Waleino hidup sangat lekat dengan hutan mereka. Ini terbukti pada waktu kami tiba dan tak berjumpa dengan beberapa orang tua yang sementara di hutan untuk mengambil makanan. Walaupun sudah dimukimkan melalui program pemerintah, namun hubungan mereka dengan alam dan hutan tetap dipertahankan sampai kini. 

Daniel Kaibi, Menatap Sedih Sungai Mereka yang Akan Dibendung
Kami kemudian membuat pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat Waleino untuk mempersiapkan proses pemetaan wilayah adat mereka. Suaib Kaibi, kepala dusun yang juga merupakan anak dari ketua adat Waleino menjelaskan bahwa wilayah adat mereka mengikuti aliran sungai Akelamo dengan sisi kanan dan kirinya dibatasi dengan puncak bukit serta sungai kecil yang adalah batas wilayah adat. Dibagian atasnya berbatasan dengan kelompok Tobelo Dalam Hate Gou yang tinggal dibagian hulu sungai Akelamo. Dia juga menjelaskan nama-nama bukit serta sungai-sungai kecil tersebut berdasarkan sejarah yang mereka tahu kemudian menuangkannya dalam bentuk gambar sketsa wilayah adat. 

Beberapa warga kemudian menceritakan tentang kegelisahan mereka tentang pembangunan DAM untuk kebutuhan air bagi sawah milik transmigrasi. Rencananya DAM ini akan membendung dua sungai besar, Akelamo dan Watita yang ada dalam wilayah adat Waleino (baca : Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat di Hutan Halmahera / http://amanmalut.blogspot.com/2014/02/kapitalisme-merongrong-masyarakat-adat_11.html). Proses sosialisasi sudah dilakukan pihak terkait. Tapi apakah mereka menjelaskan dampak bagi masyarakat Waleino dengan pembangunan DAM tersebut ?
Lubang Galian di Lokasi Pembangunan DAM
Ketakutan masyarakat Waleino adalah air sungai Akelamo yang biasa mereka konsumsi akan semakin kecil debitnya apalagi kalau musim panas. Kemudian bila musim hujan, biasanya air sungai Akelamo akan meluap kencang, ditakutkan DAM tak mampu menahan luapan air sehingga akan jebol dan berdampak terhadap kebun serta pemukiman mereka saat ini. Ini merupakan ketimpangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah lebih memperhatikan pembangunan bagi transmigrasi dibandingkan masyarakat pemilik wilayah tersebut. 

Selain DAM, masalah lainnya adalah penempatan kawasan taman nasional blok lolobata didalam wilayah adat mereka. Puncak bukit di wilayah utara sungai Akelamo dan sebagian wilayah mengikuti aliran sungai Watita masuk dalam wilayah taman nasional. Di wilayah-wilayah ini masyarakat dilarang untuk memasang jerat hewan dan beraktifitas di dalam kawasan tersebut. Seperti di wilayah lainnya, penempatan taman nasional di wilayah adat Waleino tanpa proses kesepakatan bersama dengan warga pemilik wilayah adat. 

Pemetaan yang dirancang dilaksanakan esok harinya namun hanya untuk sebagian wilayah saja yang bisa ditempuh. Penghalang bagi team pemetaan adalah kondisi cuaca di bagian hulu yang hujan sehingga sungai Akelamo banjir. Ini menyebabkan kami tak bisa mencapai bagian atas yang berbatasan dengan kelompok Hate Gou. Hambikiye menjadi perhentian kami beberapa malam. Sambil menunggu hujan reda dan banjir surut, team pun terpaksa untuk kembali ke dusun guna mengatur rencana lanjutan pemetaan wilayah adat Waleino. 
Menggambar Sketsa Wilayah Adat Oleh Beberapa Warga Waleino
Suaib Kaibi, Sementara Menjelaskan Sketsa Wilayah Adat Waleino
Team Pemetaan Menyebrangi Sungai Akelamo Saat Banjir
Bagi masyarakat Waleino, pemetaan menjadi hal penting saat ini untuk melindungi wilayah mereka dari ancaman pihak luar dan menegaskan hak-hak mereka atas wilayah adat dan segala sumber daya yang ada didalamnya.  "'(Abe Ngingi)



Minggu, 13 Juli 2014

Putusan MK ”Hutan Adat” Mandek, Konflik Terus Terjadi



Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut

”Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” ini merupakan bunyi pasal 1 ayat 6 UU 41 tahun 1999 sebelum keluar putusan MK No 35/PUU-X/2012 yang berubah menjadi ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” 

Defenisi HUTAN ADAT dalam UU Kehutanan telah berubah sejak tanggal 16 Mei 2013 kemarin disaat Mahkamah Konstitusi menerima  gugatan Judicial Review AMAN berserta 2 komunitas masyarakat adat, namun ada beberapa pasal juga yang ditolak. Defenisi ini berubah sebab pasal sebelumnya dinyatakan inkonstitusional (Baca: Pasal 18B dan 28I, UUD 1945). 


Terhitung sudah satu tahun lebih sejak putusan MK ini keluar. Masyarakat adat yang saat itu memiliki eforia karena hak – haknya sudah dikembalikan oleh Makhamah Konstitusi menjemput dengan sukacita. Di berbagai daerah mereka berbondong – bondong masuk ke wilayah adatnya lalu menancap plang bertulis ”Ini Hutan Adat Kami, Berdasarkan Putusan MK No 35/2012,” Yang lain terus bersosialisasi, meminta dukungan publik, mendesak pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda). Upaya tersebut dilakukan tanpa henti, tanpa rasa capek dan takut sama sekali. Semua dilandasi pada semangat setelah sekian puluh tahun HUTAN ADAT dikuasai oleh Negara lewat UU Kehutanan.

Namun hari demi hari yang ditunggu supaya Pemerintah segera mengeluarkan INPRES, PP dan Perda sebagaimana perintah putusan MK tersebut tak perna muncul. Pemerintah malam membuat UU baru yang berlawanan dengan putusan MK. Di akhir tahun 2013, DPR RI mengesahkan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberasan Perusak Hutan (P3H). UU ini oleh kalangan CSO dianggap berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat/local yang memanfaatkan hasil hutan. Bahkan bertolak belakang dengan Putusan MK tentang Hutan Adat. Kekhawatiran CSO itu terbukti, banyak masyarakat adat di berbagai daerah yang ditangkap karena memanfaatkan hutan adat mereka.

Diberbagai daerah, tidak ada gerak langkah setiap kepala daerah untuk merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat, walaupun masyarakat adat beserta hak – haknya itu masih ada berdasarkan dengan identifikasi diri (self determination) oleh masyarakat adat sendiri. Sangat miris, perintah MK itu diabaikan begitu saja oleh mereka.

UU Berubah, Konflik Tidak Berubah

Jika dimaknai, Putusan MK tentang Hutan Adat sebenarnya merupakan solusi penyelesaian konflik tenurial selama ini. Konflik tenurial terjadi disebabkan saling klaim oleh masing – masing pihak yang merasa lebih berhak atas satu kawasan hutan, ibarat 1 lahan kebun, ada 3 orang pemiliknya, (Masyarakat Adat, Pemerintah dan Perusahan). Kelompok masyarakat adat menjadi pihak yang paling dirugikan. Hak – hak mereka dikuasai oleh negera lalu dikonversikan untuk kegiatan atau usaha yang menyebabkan masyarakat adat sendiri tidak bisa mengakses kembali haknya itu.
Paradigma UU Kehutanan yang sudah berubah, namun para elit di kehutanan masih tetap dengan paradigma lama yang menganggap hutan adat adalah hutan negara. MK 35 tidak dilakasanakn justru mengeluarkan Permenhut 62/2013 yang bertentangan dengan MK 35 dan MK 45. Pihak Kehutanan ini justru memelihara konflik bukan menyelesaikan konflik. Ini menjadi ancaman bagi masa depan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di hutan.
Implikasinya bisa dilihat dari data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),  tahun 2013, konflik agrarian mencapai 369 kasus. Konflik ini terjadi pada sector perkebunan, infrastruktur, pertambangan, kehutanan, pesisir/kelautan, dll. Sementara data AMAN di tahun 2013, terjadi 143 konflik di masyarakat adat yang berada di berbagai daerah di Nusantara. Konflik ini akan terus terjadi seiring disahkan UU P3H dan mandeknya Putusan MK 35.

Lalu di Maluku Utara seperti apa..??

Hutan adat yang memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat dan eksistem yang hidup di dalamnya, belum mendapat perhatian pemerintah daerah, walaupun berada dalam ancaman kritis. Lihat saja ada 335 IUP ditandatagani izinya  oleh Pemda (Baca: Izin Tambang ESDM), dengan total wilayah yang dikonversikan seluas 1.248.671 hektar. Jumlah ini kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah adat. Pemberian IUP ini tidak perna mengkuti prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat adat, akhrnya mereka kehilangan akses atas tanah, wilayah dan SDA. Negara mengkoptasi hak – hak mereka yang kemudian dikonversi untuk kegiatan lain. Akhirnya kebijakan ini menjadi sumber konflik yang sangat tinggi di masa depan. 

MK 35 yang kehadirannya untuk memberikan kepastian hukum atas hak masyarakat adat di Maluku Utara justru tidak dihiraukan. Pemerintah menunjukan ketidakrespekan mereka untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, itu terlihat dari keperpihakan mereka lebih besar kepada pemodal dibandingkan kepada masyarakat adat. Walaupun sebenarnya sengketa itu terjadi di wilayah adat.

Daerah harusnya merespon putusan MK ini tanpa harus menunggu Inpres, PP atau Kepres yang turun dari pusat. Respon ini akan menunjukan bahwa mereka serius menyelesaikan konflik tenurial yang saat ini sedang kita hadapi di Maluku Utara. Segera buat Perda untuk melindungi hutan adat supaya bisa dimanfaatkan dengan leluasa oleh masyarakat adat sendiri. Sekaligus juga menjaga kelestariannya, menghindarkan dari kegiatan industri ekstraktif yang merusak.
Hutan adat kita adalah benteng pertahanan terakhir disaat kawasan hutan lain sudah habis dijarah oleh para pemodal. Kita tentu tidak ingin memelihara konflik di sector kehutanan yang merugikan masyarakat adat dan tentu pihak – pihak lain juga. Konflik ini harus segera disudahi dengan melaksakan putusan MK 35 (*)

Rabu, 09 Juli 2014

Surat Untuk Kepala Dinas Kehutanan Halmahera Tengah


Oleh : Munadi Kilkoda 
Ketua AMAN Malut

Surat ini dibuat semata – mata untuk merespon pemberitaan di Malut Post Edisi Rabu - Kamis, 02 - 03 Juli 2014. Pokok dari berita tersebut adalah ”Sengketa hak ulayat vs hak negara.” Sengketa ini terjadi karena Wahab Samad, selaku Kepala Dinas Kehutanan Halmahera dicurigai sudah menjual tanah kepada perusahan PT Weda Bay Nikel, padahal menurut salah satu anggota masyarakat Arnold Rimba sebagaimana dikutip media tersebut bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat mereka yang dikelola untuk keberlanjutan hidup demi anak cucu mereka di kemudian hari. Tentu alasan kemarahan anggota masyarakat adat Sawai ini sangat dibenarkan. Besoknya dalam pemberitaan di media yang sama, Kadishut mengklarifikasi bahwa tanah dengan luas 1.400 hektar tersebut adalah tanah negara yang masuk dalam areal perusahan tambang PT Weda Bay Nikel sehingga akan digunakan untuk kegiatan pertambangan. Melihat maksud beliau saya berkesimpulan, lagi – lagi UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dipergunakan untuk menjadi basis hukum membela kepentingan pemerintah dan perusahan lalu mengabaikan hak masyarakat adat.

Saya memahami persoalan ini yang terjadi pada masyarakat adat Sawai (Lelilef dan Gemaf) yang harus bertempur terus mempertahankan hak mereka atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang selama ini dikebiri oleh negera lewat UU Minerba dan UU Kehutanan lalu dikonversikan untuk kegiatan pertambangan demi cukong asing dari Prancis yang namanya PT Wed Bay Nikel. Warga kehilangan akses kepada tanah dan hutan, bahkan melaut pun sudah dibatasi berdasarkan dengan zonasi. Selain itu tingkat kriminalisasi warga terus meningkat, kriminalisasi dilakukan aparat negara kepada masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya kepada perusahan. Semua itu terjadi karena anggapan bahwa yang kuasa segala hal-ikhwal diatas tanah Suku Sawai adalah NEGARA dan PEMODAL. Logika pasal 33 kah yang dipakai? Sebaiknya para pengambil kebijakan seperti Kehutanan ini menafsirkan baik – baik pasal tersebut biar tidak bias sampai menimbulkan konflik SDA dimana – mana, dan masyarakat yang dirugikan.

Kembali kepada persoalan yang terjadi antara Masyarakat Adat Sawai vs Kadishut Kehutanan. Seperti yang saya sampaikan diatas, dalil hukum ”Tanah Negara” itu pasti memakai UU Kehutanan. Menurut saya, ini kecelakaan kebijakan yang harus diperbaiki segera. UU ini sudah beberapa kali mengalami perkembangan, pertama Putusan MK 45/PUU-IX/2012 yang digugat oleh 5 orang Bupati dari Kalimantan Tengah terhadap pasal 1 ayat (3) tentang ”Kawasan Hutan” dan Putusan MK 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat. Dua putusan MK ini sudah merubah paradigma lama UU Kehutanan yang menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan Sumberdaya Kehutanan adalah milik negara. Menurut MK itu sangat inkonstitusional. 

Kalau membaca Putusan MK 35/PUU-X/2012 , yang memisahkan Hutan Adat dan Hutan Negara, dalam pasal 1 ayat (6) berbunyi ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat,” berbeda bunyi pasal ini sebelum keluar Putusan MK. Artinya Suku Sawai dalam pandangan hukum memiliki hak atas hutan dan tanah yang harus dihormati oleh siapapun. Kewajiban negara (Dinas Kehutanan) adalah menginventarisasi batas wilayah (hutan) adat Suku Sawai dan memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak tersebut, bukan malam sebaliknya mendiamkan putusan ini.

Hal berikut kalau memakai Putusan MK 45/PUU-IX/2012, yang dimaksud kawasan hutan itu jika melalui proses, Penunjukan, Pemetaan, Penatabatasan, Penetapan (Pasal 15). Penunjukan adalah tahap awal dari proses pengukuhan kawasan hutan. Proses yang berhubungan dengan inipun harus melibatkan stake holder (termasuk masyarakat). Jika berdasar pada SK No 302/Menhut – II/2013, kawasan hutan di Maluku Utara ini baru tahap penunjukan, belum secara prosedural. Pertanyaan saya kepada yang bersangkutan, apakah status hutan yang ditetapkan oleh pemerintah diatas tanah adat Suku Sawai itu melalui proses seperti perintah Putusan MK ini dan apakah masyarakat adat dilibatkan? Sepanjang yang saya tahu, tidak perna masyarakat adat dilibatkan dalam proses – proses seperti ini. Disinilah konflik terjadi.

Secara historis keberadaan Suku Sawai sudah ada jauh sebelum Negara dan PT Weda Bay Nikel berada. Mereka sudah memanfaatkan dan mengelola tanah tersebut untuk keberlanjutan hidup sampai saat ini. Jadi klaim seperti itu klaim yang berdasarkan dengan pendekatan hirstoris juga, bukan asal – asalan. Berikut ini yang lebih aneh, bapak lebih mengendepankan kepentingan perusahan dibandingkan kepentingan masyarakat. Perusahan diberikan keleluasaan sampai hutan lindungpun di eksploitasi sementara masyarakat adat dibatasi haknya. Padahal tanah dan hutan ada sumber hidup dan menjadi identitas mereka, yang harus dilindungi. Mereka juga berhak untuk hidup, memperoleh pekerjaan dari tanah dan hutan tersebut. 

Kerancuan kebijakan seperti inilah penyebab konflik saat ini. Menurut saya kesalahan ada pada kebijakan yang dibuat instansi bapak. Masa batas kawasan itu berada dipemukiman penduduk Lelilef..!! Lalu masyarakat mau akses tanahnya gimana kalau semua akses mereka dibatasi. Siapa yang menjamin keberlanjutan hidup, bapak atau perusahan? Semua tidak bisa menjamin. Perusahan hanya akan menggaruk habis dan meninggalkan beban ekologi yang permanen.

Lewat surat ini AMAN memintah kepada Bupati Halteng Ir. Al Yasin Ali untuk memberikan tindakan tegas kepada bawahannya yang menggunakan kekuasaannya untuk menyengsarakan masyarakat adat. Kepada Bupati dan Pemerintah Kab. Halteng kami mendesak untuk mengakui dan melindungi hak – hak Suku Sawai dengan menjalankan putusan MK 35. Mendahulukan kepentinhan masyarakat adat, bukan perusahan. Kami AMAN mendukung sepenuhnya perjuangan Suku Sawai untuk memperoleh kembali haknya. Kasus ini kami akan masukkan menjadi salah satu dari point penting dalam Inkuiri National sehingga menjadi perhatian pemerintah pusat juga.

Selasa, 08 Juli 2014

AMAN Minta Pemerintah Mengakui Tanah Adat Suku Sawai



Apa yang terjadi antara Masyarakat Adat Sawai dengan Kadishut Halteng Wahab Samad terkait dengan lahan seluas 1.400 hektar yang oleh masyarakat adat Sawai merupakan hak ulayat mereka adalah benar adanya. Klaim ini punya alasan yang kuat, karena secara historis wilayah tersebut sudah dimanfaatkan jauh sebelum Negara dan PT Weda Bay Nikel hadir.

Bagi kami tanah tersebut dalam UU Agraria dan Putusan MK – 35 tentang hutan adat telah diakui oleh Negara sendiri, jadi ada tanah adat ada tanah Negara. Jadi kalau dikatakan Kadishut bahwa itu adalah tanah Negara justru itu sangat keliru karena itu tanah adat. Kadishut harusnya melakukan inventarisasi batas hutan adat Suku Sawai yang saat ini tumpang tindih dengan Kontrak Karya WBN, dan kawasan hutan yang di tunjuk oleh pemerintah. Itu perintah Putusan MK No 35/PUU-X/2012 terhadap UU No 41 tahun 1999.

Kalau klaim tanah Negara karena itu masuk kawasan hutan. Kawasan hutan yang mana? Kalau merujuk SK Menhut No 302/2013, di Maluku Utara ini belum ada kawasan hutan. SK itu baru tahapan penunjukan dan penunjukan itu belum sah demi hukum disebut kawasan hutan, karena kawasan hutan itu harus melalui tahapan sesuai perintah MK No 45/2012. Artinya klaim Kadishut atas tanah negara itu menunjukan ketidakpahaman dia terhadap peraturan yang berlaku di Republik ini.

Menurut kami, konflik seperti ini terjadi karena kebijakan tersebut mendiskriminasi hak – hak masyarakat adat Sawai. Masa pemukiman penduduk masuk kawasan hutan bahkan kepentingan perusahan dikedepankan sementara kepentingan masyarakat adat dikesampingkan. Negara ini sungguh aneh.
AMAN mintah polisi mengusut kasus ini, dan kepada Bupati untuk mencopot yang bersangkutan dari Jabatannya. Kasus ini sudah kami dokumentasikan untuk dijadikan laporan dalam Inkuiri Nasional di bulan September. AMAN sangat mendukung perjuangan Suku Sawai untuk memperoleh hak – haknya kembali.

Salam
Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut