Selasa, 29 April 2014

REFORMASI HUKUM DAN HAM; AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT



Ternate. Senin 28 April 2014, Kantor Berita Radio KBR68H - Jakarta menyelenggarakan Dialog Publik dengan tajuk “Reformasi Hukum dan Ham” Akses Keadilan Bagi Masyarakan Adat. Bertempat di Hotel Bukit Pelangi. Narasumber dialog publik ini yaitu, Kepala Biro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim, Dirjen Kementerian Perikanan dan Kelautan, Sudirman Saad
  
Penjelasan Perwakilan Kepala Kanwil Hukum dan Ham Malut (Dok AMAN Malut)
Dialog publik ini dipandu oleh Agus Lukman Amsa dari KBR68H. Beliau dalam pengantarnya mengatakan KBR68H adalah kantor berita radio swasta terbesar di Indonesia. Saat ini KBR68H melayani lebih dari 960 radio jaringan di Indonesia, sejumlah negara di asia serta Australia. KBR68H memproduksi program-program berbasis jurnalisme dan beritanya bagus sehinga menjadi referensi masyarakat. Dengan jaringan yang sangat luas dan menjadi media yang efektif untuk menyebarkan pesan sosial “Reformasi Hukum dan HAM” termasuk menyebarkan informasi terkait dengan sejauh mana implemetasi Putusan Mahkamah Konstitusi  35/PUU-X/2012 yang memisahkan hutan adat bukan lagi hutan Negara dan bagaimana implikasi dan rencana implementasi oleh masyarakat adat. 

Ubaidi Abdul Halim, Jika Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) tidak segera disahkan DPR RI tahun ini, maka “Keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat” tak kunjung datang. Masyarakat adat berhak mendapatkan restitusi dan konpensasi yang adil dan layak atas tanah dan sumberdaya alam mereka. RUU PPHMA adalah solusi untuk menjawab konflik sosial dan agraria di lapangan, “tegasnya. Betapa tidak, seluruh wilayah masyarakat adat dan  sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada pengusaha lewat skema perizinan untuk eskploitasi tanpa ada proses negosiasi dengan masyarakat adat. Di Maluku Utara ada 345 Izin Pertambangan (IUP, KK, KP) yang dikeluarkan pemerintah daerah dan lebih gila lagi penetapan status kawasan hutan tanpa ada musyawarah adat atau kesepakatan bersama masyarakat adat dan ini akan memicu konflik sosial.”katanya. 
 
Kepala Biro OKK AMAN Malut, Ubaidi Abdul Halim membeberkan masalah pengabaian hak-hak masyarakat adat di Maluku Utara (Dok AMAN Malut)
Kita mengetahui bahwa sudah satu tahun lamanya Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian perubahan beberapa pasal dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang memisahkan hutan adat dari hutan negara, semestinya pemerintah daerah di seluruh Nusantara menyambut ini dengan membuat peraturan daerah untuk melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat,”ujarnya lagi. 

Sementara itu, Sudirman Saad mengatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap mengakui eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat, di dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di pasal 16 ayat 1 disana disebutkan bahwa setiap pemanfaatan wilayah pesisir wajib memiliki izin tapi masyarakat hukum adat diberi kewenangan dalam pemanfatan sumber daya perairan pada wilayah masyakat hukum adat di serahkan kepada masyarakat adat setempat. Tetapi masyarakat adat wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, dan kepentingan nasional serta tidak bertentangan dengan Undang-undang.“ Jelasnya.****  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar