Kamis, 21 Februari 2013

79 LAHAN WARGA SP1 TRANS KOBE TAK BISA DIGARAP AKIBAT SEDIMENTASI DARI KEGIATAN PERTAMBANGAN PT. TEKINDO



Editor: Oka La Owi
Peliput: Amirudin Hi. Ibrahim

       WEDA – Lahan pertanian warga trasmigrasi Kobe, Kecamatan Weda Tengah mengalami problem serius. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Halteng tercatat 79 lahan petani tidak bisa digarap. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Halteng, Kamil Jumat menjelaskan,  79 lahan yang dinyatakan tidak bisa digarap lagi itu diakibatkan terjadinya sedimentasi akibat proses penambangan yang dilakukan oleh PT. Tekindo Energy Site Lelilef. “Lahan itu tidak bisa dimanfaatkan karena tertimbun sedimentasi akibat aktifitas tambang nikel PT. Tekindo setebal 17 centimeter,” katanya.

Dalam hitung-hitungan matematika, bila dihitung kerugian material dari 79 lahan yang tidak digarap ini, dengan estimasi 1 kali penanaman dalam satu tahun, maka 79 lahan itu bisa terjadi kerugian sebesar 158 ton beras dalam satu tahun. Bila dihitung dalam bentuk uang, maka kerugian yang diderita oleh petani adalah sebesar Rp632 juta per satu tahun. “Ini bukan persoalan sepeleh, sebab sudah menyangkut masa depan warga trans, bayangkan saja kerugian material dan kerugian rupiah yang ditimbulkan sangat besar, ini persoalan serius, jadi harus ditangani dengan serius pula,” jelasnya.
Sedimentasi yang menimbun areal lahan warga sebanyak 79 lahan itu adalah tanggung
jawab Dinas Pertambangan dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  “Dan hal ini telah disampaikan ke DPRD beberapa waktu lalu,” lanjut Kamil. Jumlah kerugian materil dan kerugian rupiah yang dihasilkan itu, tambah, Kamil tidak bisa dihitung dalam sumber pendapatan daerah tapi masuk dalam penghasilan warga atau PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). “Soal kerugian ini murni kerugian petani jadi tidak dihitung dalam kerugian PAD,” ujarnya. Kamil menyangkan, kerusakan lingkungan akibat terjadinya pencemaran lingkugan hidup itu. “17 centimeter itu sangat tebal. Dan tidak bisa dimanfaatkan untuk bertani, sebab proses dinetrifikasi pada akar itu tidak jadi karena pencahayaan tidak menembus hingga kedalam tanah,” timpalnya.

Lebih lanjut, Kamil mengaku, aktifitas petani utamanya di SP 1 Trans Kobe saat ini terpaksa menggarap lahan orang lain atau menjadi buruh tani dan mencari pekerjaan lain yang bisa mendatangkan uang. “Untunglah lahan warga yang ditinggalkan warga trans SP 1 lainnya itu masih bisa dimanfaatkan oleh warga lainnya,” tuturnya. Untuk mengatasi hal tersebut, langkah yang harus diselesaikan adalah Dinas Pertambangan Halteng dan BPLH Halteng segera mendesak PT. Tekindo Energi untuk memperbaiki sistem penambangan. “Karena semua sistem penambangan PT. Tekindo itu 90 persen bias dari dokumen Amdal,” tegasnya. Selain itu Kamil mengaku Dinas Pertambangan sendiri telah mendesak PT. Tekindo untuk melakukan ganti rugi. “Kemarin sudah ada kesepakatan per lahan sebesar Rp 3 juta, tapi sampai saat ini pihak perusahan belum menindaklanjuti hal itu, padahal jumlah ganti rugi itu masih sangat kecil nilainnya,” akunya.

Tidak itu saja, Kami sendiri mempertanyakan keberadaan para anggota DPRD Halteng utamanya dari Daerah Pemilihan (Dapil) Satu dan Komisi yang menangani persoalan masalah petani dan pertambangan itu sendiri. “Jika sewaktu-waktu reses keberadaan anggota DPRD ini harus melihat situasi dan kondisi dilapangan. Sehingga bisa mengetahui arah pembangunan pertanian, termasuk kondisi yang terjadi saat ini di SP 1 trans Kobe, jangan hanya asal ngomong,” tandasnya. (Sumber : Malut Pos.co.id/
http://malutpost.co.id/?p=14130 *)

Senin, 18 Februari 2013

MALAPETAKA DARI PEMERINTAH - PT. WEDA BAY NICKEL DIUSULKAN MEMPEROLEH TAX HOLIDAY

Satu lagi malapetaka yang rencananya akan diberikan pemerintah Indonesia kepada masyarakat khususnya masyarakat adat di bumi Halmahera. Tax holiday akan diberikan kepada PT. Weda bay Nickel.



JAKARTA – PT. Weda Bay Nickel diusulkan memperoleh tax holiday.  Perusahan yang dimiliki Eramet Prancis itu berencana melakukan investasi US$ 4 miliar untuk mendirikan smelter nikel di Halmahera Utara dan diharapakan mulai membangun pertengahan tahun ini.

lokasi Penmbangan PT. Weda Bay Nickel
Wakil Mentri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan kementrian itu telah mengajukan usulan kepada Kementrian Keuangan untuk memberikan tax holday kepada Weda Bay.  Dengan begitu diharapkan perusahan itu dapat mempercepat proses pembangunan smelternya di Indonesia bagian timur. 

“ Kami akan tetap rekomendasikan (pemberian tax holiday) itu, karena kalau tidak direkomendasikan bisa-bisa mereka batal membangun smelter di Indonesia timur,” katanya di Jakarta Jumat (15/2).

(P4) Susilo mengungkapkan rencana pembangunan smelter nikel yang menggunakan teknologi hidrometalurgi itu merupakan salah satu investasi yang memberikan keuntungan tambahan bagi perekonomian dalam negeri.  Karenanya, pemerintah akan mendukung dengan memberikan kemudahan kepada perusahan nikel untuk merealisasikan komitmennya tersebut. 

(P6) proyek ini juga diklaim sejalan dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) karena dibangun di wilayah Indonesia timur. 

aktifitas pertambangan yang dominan merusak lingkungan
(P10) Weda Bay sendiri merupakan salah satu perusahan pemegang kontrak karya (KK) yang masih direnegosiasikan oleh pemerintah.  Hingga kini, pemerintah dan WBN belum menyepakati besaran penerimaan Negara dan divestasi yang harus dilakukan perusahan. 

(P13) Dengan rencana pembangunan smelter itu, pemerintah menyetujui untuk memberikan izin wilayah kerja lebih dari 25.000 hektar. Hal itu dilakukan karena perusahan telah memiliki rencana jangka panjang yang dianggap dapat berkontribusi kepada perekonomian nasional.   (Koran Bisnis Indonesia, Edisi Senin 18 Februari 2013, hal.7)

Minggu, 17 Februari 2013

PERTARUNGAN HIDUP DI OPEN PIT



PERTARUNGAN HIDUP DI OPEN PIT
Oleh : Munadi Kilkoda
Aktivis AMAN Malut

Penambang rakyat dari Soa Pagu di lokasi Open Pit Donga
Berikut lirik lagu Indonesia Raya “Indonesia Tanah Air ku” diganti oleh masyarakat Soa Pagu menjadi “Indonesia Air – Air ku”. Mereka menggambarkan eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara massif di wilayah adat Soa Pagu, Halmahera Utara. Eksploitasi ini dilakukan sejak tahun 1997 oleh pemodal asing dari Australia yakni PT Nusa Halmahera Mineral dengan luasan konsesi sebesar 29.622 Ha.
Eksploitasi dengan menggaruk tanah ini juga pernah dilakukan oleh PT ANTAM di Pulau Gebe, Halmahera Tengah sampai tanah tersebut sudah membentuk satu pulau di Jepang. Bahkan lebih memprihatinkan kejahatan PT. ANTAM bersekutu dengan beberapa IUP mengeksploitasi hutan di Buli dan Pulau Gee, Halmahera Timur.
Hidup semakin sulit, lapangan pekerja yang tidak seimbang dengan angkatan kerja, hilangnya sumber – sumber kehidupan lain, sedangkan kebutuhan pokok terus meningkat dari hari  ke hari. Itu yang dirasakan oleh masyarakat adat Soa Pagu. Kondisi ini memaksakan sebagian warga menjadikan malam sebagai siang untuk menggais rejeki di lokasi open pit perusahan NHM. Mereka adalah penambang tanpa izin (illegal) yang berasal dari desa – desa di Soa Pagu maupun suku pendatang.
Malam sekitar pukul 12.00 penambang ini menyusuri hutan yang gelap gulita hanya dengan bermodal senter. Berjalan sekitar 4 jam untuk sampai ke open pit. Bahkan juga melintasi sungai dan gunung yang menjulang tinggi. Mereka terdiri dari laki – laki dan perempuan, bekerja berkelompok. Dalam satu kelompok bisa 4 – 6 orang, bahkan juga sampai 100 orang dalam semalam yang melakukan penambangan di lokasi open pit. Mereka harus bertempur dengan dingin di tengah malam bahkan hujan pun tak menyurutkan semangat mereka. Dengan peralatanan seadanya, penambang ini berharap bisa memperoleh hasil yang memuaskan.
Sepanjang jalan, mereka harus berhati – hati. Pandangan mereka tak putus dari sinar cahaya mobil sebagai penanda ada patroli security perusahan. Jika patroli datang, serentak ada komando untuk menghindar dan bersembunyi di semak – semak pohon. Karena kalau kedapatan, mereka ditangkap dan dihukum oleh pihak keamanan perusahan.  
Bagi mereka, saat ini tidak ada lagi pekerjaan yang mereka lakukan selain menambang. Menambang merupakan pekerjan yang satu - satunya, hasilnya juga sangat memuaskan untuk kecukupan hidup keluarga. Proses pengolahan dari batu menjadi emas, biasanya dilakukan di tromol milik warga local atau penguasa lain. Setelah diolah, lalu transaksi dilakukan. Dalam semalam mereka bisa memperoleh hasil 5 – 15 gram emas, jika di rupiahkan, uang yang di dapat bisa sampai 5 jutaan, namun kemudian harus dibagi dengan anggota kelompok dan pihak aparat. Aktifitas menambang di lokasi open pit itu tidak selamanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus di hadapi, baik resiko kecelakaan karena rawan longsor, maupun tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Brimob dan Security perusahan yang menjaga lokasi tersebut.
Lokasi menambang dilakukan di open pit (lubang) yang terletak di gunung Dunga. Lebar open pit sekitar 1 kilo, sedangkan kedalaman sekitar 50 meter. Tebingnya menjulang tinggi, batu – batuan yang tidak terlalu kuat melekat di tanah berpotensi menimbulkan longsor setiap saat. Sedangkan aktifitas penambang dilakukan di dasar tanah yang jika terjadi longsor maka akan pasti menimbun mereka. Bahkan juga ada aktifitas eksavator dan truk milik perusahan yang bekerja mengangkut tanah diatas open pit. Beberapa waktu lalu salah satu penambang meninggalkan dunia karena tertindis batu yang jatuh karena longsor.
Tidak saja rawan kecelakaan, bahkan juga rawan terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Brimob dan security perusahan. Tiga orang warga Soa Pagu pernah di pukul sampai babak belur oleh Brimob saat menambang. Malam berikutnya hampir 100 orang terdiri dari laki – laki dan perempuan yang rata – rata adalah masyarakat sekitar tambang di tangkap dan hasil tambangnya diambil oleh Brimob. Karena itu penambang harus membangun kongsi dengan Brimob jika tak mau dipukul atau diambil hasilnya. Kongsi itu dengan membagi dua hasil tambang yang telah dijual. Itulah hokum rimba di lokasi tambang
Penambangan rakyat di dalam open pit ini sudah dilakukan sejak dua bulan lalu. Dan dilakukan hampir setiap malam. Mereka berjalan ke lokasi pada malam hari dan pulang pada siang hari. Sebagian memilih membuat tenda dan bermalam di hutan karena jarak dari lokasi tambang dan perkampungan sangat jauh. Tidak setiap malam mereka bisa memperoleh hasil yang memuaskan. Bahkan sering harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil tambangnya diambil oleh Brimob dan security.
Penambang ini tak pernah khawatir dengan ancaman yang ada walaupun kematian atau di pukul ada di depan mata, yang penting mereka bisa memperoleh hasil untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Susahnya menjadi pekerjaan lain membuat mereka nekat menempuh jalan pintas untuk membangun hidup.
Kilauan emas diatas tanah adat Soa Pagu ini telah banyak mendatangkan masalah. Sejak tahun 1997, ikan teri mulai hilang di teluk Kao. Ikan teri adalah primadona dan menjadi lumbung ekonomi masyarakat adat Pagu. Lalu dugaan terjadi pencemaran di beberapa sungai, salah satunya sungai kobok sebagai sumber kehidupan masyarakat Tomabaru. Muncul juga penyakit benjol - benjol yang terindikasi karena konsumsi air yang tercemar oleh limbah perusahan. Berkurangnya hasil buruan, bahkan juga pembukaan lahan baru oleh perusahan dalam wilayah adat Pagu yang tidak pernah dikomunikasikan kepada masyarakat adat.
Penguasaan wilayah adat secara sepihak oleh perusahan ini membuat akses masyarakat adat Soa Pagu terhadap asset sumberdaya alam menjadi hilang. Kemiskinan menjadi tontonan diatas kilauan emas, karena kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di negeri ini. Kedaulatan masyarakat adat Soa Pagu tercerabut oleh karena UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan pemberian izin eksploitasi PT Nusa Halmahera Mineral (PT NHM) oleh Negara tanpa mengindahkan hak – hak masyarakat adat Soa Pagu yang juga dilindungi dalam UUD 1945.
Identitas budaya dan hak tradisional masyrakat adat merupakan hak konstitusional, termasuk di dalamnya adalah hak Soa Pagu atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang saat ini dikuasai oleh PT. NHM. Penegasan dalam UUD 1945 ini semestinya mengharuskan pemerintah Indonesia, pemerintah provinsi Maluku Utara dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara untuk memaksakan PT. NHM kembali bernegosiasi dengan masyarakat adat Soa Pagu sebagai pemilik wilayah adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip baku dalam negosiasi tersebut, agar masyarakat adat Soa Pagu bisa berdaulat, mandiri dan bermartabat dalam membangun hidupnya.





Senin, 04 Februari 2013

“CABUT IZIN TAMBANG DAN KEMBALIKAN HAK – HAK MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH, WILAYAH DAN SDA DI MALUKU UTARA” / AKSI DAMAI BPAN MALUT

Salam adat,,,,,

Aksi damai BPAN MALUT, AMAN MALUT dan BEM STAIN, Mendesak pencabutan izin tambang dan pengembalian hak-hak Masyarakat Adat di bumi Moluku Kie Raha
Konflik agraria, krisis Iklim, kerusakan lingkungan, alih fungsi kawasan hutan, krisis air bersih, kerawanan pangan dan kriminalisasi sedang mewarnai kehidupan bangsa di zaman ini. Hal ini disebabkan amburadulnya kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara.

Contoh sederhana kebijakan penataan ruang di Maluku Utara. Potret pembangunan yang didorong oleh pemerintah kita, masih menempatkan hutan dan tanah sebagai sumber ekonomi yang semata – mata untuk meningkatkan devisa negara terutama PAD. Kebijakan yang mendorong konservasi hutan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat masih jauh dari yang di cita-citakan. Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan sawit menjadi nomor satu. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan (kerusakan ekologi) sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi konsesi – konsesi tambang dan sawit tersebut dominan masuk dalam wilayahnya masyarakat adat yang selama ini menjadikan wilayah mereka sebagai suporting kehidupan.

Masyarakat adat menjadi pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pembangunan yang lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan mereka. Lihat saja, PT NHM yang mengeksploitasi wilayah adat suku Pagu, PT WBN yang menguasai separoh dari wilayah adat suku Sawai, PT Antam, PT Harita dll yang menguasai wilayah suku Tobelo Dalam, PT Oro Kni Global yang menguasai wilayah adat Suku Sahu, PT Sanatova diatas wilayah adat Suku Paceda, kasus Masyarakat Morotai dengan AURI, dll. Praktek penguasaan wilayah – wilayah adat ini akan terus berlanjut seiring dengan masuknya proyek nasional Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan mendorong tambang sebagai leading sektor utama di Halmahera (dengan nilai investasi 81 triliun rupiah).

Akibat dari investasi itupula, masyarakat adat semakin kesulitan untuk mengakses sumberdaya hutan dan laut, dimana – mana terjadi pencemaran lingkungan (Kasus PT Tekindo dan PT NHM), kriminalisasi kepada masyarakat adat meningkat. Masyarakat adat semakin tidak berdaya dan harus beralih profesi kerja dari petani dan nelayan menjadi buruh – buruh kasar di perusahan. Yang lebih menyakitkan konstruksi nilai baru yang dibawa seiring masuknya investasi tersebut. Nilai lokalitas sebagai pegangan hidup menjadi tidak berdaya dan masyarakat adat harus membangun hidupnya secara individualistik.

Kedepan, konflik agraria akan meningkat. Kepastian hak tenurial masih menjadi tanda tanya jika tidak ada pengakuan dan perlindungan hak – hak masyarakat adat di Maluku Utara. Pemerintah mestinya mengetahui bahwa masyarakat adat beserta hak mereka atas tanah, wilayah dan SDA merupakan warisan sejarah yang dibawah sejak turun – temurun. Bagi masyarakat adat tanah, wilayah dan SDA bukan sekedar memiliki nilai ekonomi, tapi juga memiliki nilai sosial dan menjadi identitas. Sehingga jangan heran ada hal yang disakralkan oleh masyarakat adat dalam konteks pemanfaatan ruang hidup yang ada di wilayah mereka.

Bersamaan dengan hal itulah, seruan agar pemerintah Maluku Utara menghentikan praktek pembangunan yang telah menyengsarakan masyarakat adat terus disuarakan oleh AMAN, BPAN maupun kelompok CSO lainnya. Dalam hal ini, kami menyampaikan sikap kepada institusi – institusi negara yang selama ini menjadi sumber masalah bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat adat, antara lain:

1. Mendesak kepada pemerintah daerah untuk segera menginisiatif Ranperda tentang perlindungan dan pengakuan Hak – Hak Masyarakat Adat di Maluku Utara.

2. Mendesak kepada pemerintah agar mencabut izin – izin pertambangan di wilayah masyarakat adat (PT. NHM diatas wilayah suku Pagu, PT. WBN diatas wilayah Suku Sawai dan Tobelo Dalam, PT. Antam diatas wilayah adat Tobelo Dalam, PT Sanatova diatas wilayah adat Paceda, PT. Oro Kni Global diatas wilayah adat Suku Sahu, dan izin – izin lainnya, terutama di Sula, Haltim dan Halteng) karena dinilai tidak mengikuti mekanisme Free Prior Informend Consent (FPIC) dengan masyarakat adat setempat sebagai pemilik sah wilayah yang di eksploitasi.

3. Mendesak kepada Pemerintah dan PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera menyelesaikan kasus perampasan tanah yang dilakukan perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef) dengan harus berdasar pada keinginan masyarakat adat setempat.

4. Mendesak kepada Bupati Halteng agar segera mencabut izin PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat Dokulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.

5. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Kep. Morotai dan TNI AURI untuk memastikan terlaksananya Reforma Agraria berdasarkan pada UU Agraria No. 5 tahun 1960. Dengan demikian institusi pemerintahan dapat memastikan bahwa yang lebih berhak atas tanah adalah rakyat.

6. Mendesak kepada Pemerintah untuk segera meninjau ulang MP3EI sebagai model kebijakan pembangunan yang tidak berdasar pada karakteristik Maluku Utara sebagai pulau – pulau kecil.

7. Mendesak kepada Pemkab Morotai agar segera mencabut izin PT MMC yang berada di Pulau Ngele – Ngele. Serta kepada Pemkab Halut untuk menyelesaikan kasus yang dihadapai oleh Masyarakat Adat di Galela dengan PT Global yang berhubungan dengan tanah eks. Perusahan pisang.

8. Mendesak kepada Kapolda Malut untuk menindak dengan tegas oknum anggota Brimob yang bertugas di Pos Brimob PT. NHM atas nama Bripka Burhan Papuling yang mengancam Sangaji Pagu (Tgl. 17 Januari 2012. Kasus ini sudah dilaporkan ke polda namun tidak di proses) dan juga kepada Anggota Brimob Sabrim Buamona yang mengancam salah satu masyarakat adat Pagu atas nama Yahya Dendeng pada tanggal 13 Januari 2013 dengan mengklaim tanah yang digarap oleh Bapak Yahya adalah milik beliau.

9. Mendesak Polda Malut untuk menindak dengan tegas oknum Brimob yang bertugas di Pos PT NHM yang telah melakukan tindakan pemukulan kepada 3 orang masyarakat adat Pagu atas nama Yunus Moi, Yunce Ngato dan Rani Rikhat Momou yang menambang emas. Kasus ini terjadi kemarin malam (03/01/2013).

10. Mendesak kepada pemerintah Maluku Utara untuk segera memfasilitasi masyarakat adat untuk melakukan pemetaan wilayah – wilayah adat.

11. Mendesak kepada pemerintah republik Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat serta mencabut pasal – pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menjadi sumber konflik masyarakat adat dengan negara.

AMAN MALUT, BPAN MALUT TOGAMOLOKA

( MUNADI KILKODA, MACHYUDIN RUMATA, HABIB PULELE)

BEM STAIN (HIMPA SAGEA,
MUJAIN R. MUSA NASRUN HAMSA)