Senin, 28 April 2014

AMAN: Masyarakat Adat di Ternate Kehilangan Hutannya

KBR68H, Ternate - “Kita melakukan plangisasi di wilayah masyarakat hukum adat di Halmahera Utara dan melakukan sosialisasi. Tetapi Dinas Kehutanan di sana malah mengatakan, UU tersebut tidak berlaku di Halmahera Utara. Ini kan aneh bin ajaib. Harusnya mereka menyambut baik,” begitu kata perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Ternate, Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim.

Menurutnya, masih banyak hutan adat yang belum dikembalikan kepada masyarakat adat. Padahal UU-nya sudah ada dan berlaku. Jika diterapkan dengan baik, menurut Ubaidi, putusan MK soal UU Kehutanan tersebut bahkan bakal mampu menetralisir dan membatasi ruang konflik di masa depan.

Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat. Hal penting dari putusan tersebut adalah hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara. Di masa mendatang, hutan adat dikategorikan sebagai hutan hak, sama seperti hutan milik perseorangan ataupun badan hukum.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, selama ini hampir 50 komunitas adat di Maluku Utara kesulitan mendapatkan haknya mengelola sumberdaya alam. Masyarakat adat di Maluku Utara selalu berhadapan dengan pengelola izin tambang, jasa perhotelan dan wisata yang dikeluarkan pemerintah. Hidup dan kehidupan mereka makin terpinggirkan. 

Setelah putusan MK yang memberi hak kepada masyarakat adat mengelola hutannya, ternyata belum berbuah banyak. Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kata Ubaid, masih belum memihak masyarakat adat. Penyebabnya karena kementerian tak gamblang dan tegas memerintahkan pemda untuk menerapkan aturan pasca putusan MK itu.

“Dalam UU Kehutanan, masyarakat adat dianggap sebagai tamu negara. Kesannya dikriminalisasikan. Padahal masyarakat adat yang mempelopori kemerdekaan. Setelah putusan MK No.35/2012 yang memisahkan hutan masyarakat adat dan hutan negara, tetap saja masyarakat adat tersingkirkan,” ujar Ubaid.

Negara harusnya sadar bahwa masyarakat ada punya hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam di Indonesia. Sayangnya, meskipun UU ada, pemda seakan enggan mensosialisasikan peraturan tersebut.

“Banyak yang harus dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satunya wajib mengidentifikasi diri bahwa masyarakat adat ada. Masyarakat juga perlu melakukan plangisasi dan pemetaan wilayah adat, yang kemudian ditunjukan kepada negara,” kata Ubaid.

Dirjen Kepulauan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Kementterian Kelautan dan Perikanan  (KKP) Sudirman Saad mengklaim kementerian sudah mengakui jelas dan tegas pengelolaan pesisir maupun hutan yang menjadi milik masyarakat adat, dikelola dan dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat adat diberi legitimasi untuk mengelola dan memberikan izin bagi siapapun yang ingin mengambil manfaat dari hutan atau wilayah pesisir laut mereka.

“Dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir sudah terang benderang memberikan pengakuan hak eksistensial kepada masyrakat adat terkait hak wilayah mereka, bukan lagi pengakuan atas pemberian negara. Setelah putusan kami pun berkoordiunasi dengan aman.”

Menurut Sudirman, masyarakat adat maupun aliansi, di masa datang harus terus berkordinasi dan bergandengan tangan dengan pemerintah, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk melakukan pemetaan wilayah adat yang ada di Indonesia.

Editor: Fuad Bakhtiar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar