Minggu, 10 November 2013

Konflik Sumber Daya Alam di Maluku Utara

Dari Seminar Identifikasi dan Kajian Konflik Pengelolaan SDA di  Maluku Utara oleh Unkhair dan Bappeda Malut
 

                                                                     Oleh: Munadi Kilkoda
                                                                  Ketua BPH AMAN Malut

Catatan ini dibuat sebagai bahan refleksi terhadap konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Maluku Utara yang diperoleh dari seminar sehari  Universitas Khairun  2 November 2013 di Hotel Surya Pagi Ternate.

Merujuk pada UUD 1945 pasal 33 ayat (3) berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam agar tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Jika demikian, maka dilakukan koreksi bersama kebijakan pembangunan pada sektor sumberdaya alam saat ini. Koreksi untuk melihat apakah cita– cita yang dimandatkan konstitusi ini sudah tercapai atau tidak? Apakah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di bangsa ini memunculkan masalah atau tidak? Apakah rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas sumberdaya alam ini memperoleh keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam itu atau tidak? Mari kita melihat potret yang terjadi di Maluku Utara

Akar Konflik Sumber Daya Alam

Kasus agraria yang banyak merugikan masyarakat Maluku Utara termasuk di dalamnya masyarakat adat adalah masalah klasik yang tidak pernah selesai. Kasus tersebut bukan berkurang justru semakin bertambah seiring dengan regulasi dan kebijakan pembangunan pada sektor sumberadaya alam yang dirumuskan oleh pemerintah selama ini.

Riset Unkhair menemukan izin pertambangan di beberapa tempat yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah menimbulkan masalah di lapangan, baik CSR, lingkungan, tanah, hutan, tenaga kerja dan mengusik keharmonisan masyarakat setempat. Perusahan – perusahan tersebut adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) di Halut berkonflik dengan Suku Pagu, PT Aneka Tambang di Haltim, berkonflik dengan suku Maba dan Buli, PT Karya Cipta Sukses Lestari berkonflik dengan masyarakat Bicoli, PT MMC berkonflik dengan masyarakat Ngele-Ngele dan Pemkab Morotai, PT GMM berkonflik dengan masyarakat Gane Dalam, PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo Energi berkonflik dengan Suku Sawai.

Konflik SDA/Agraria ini jauh sebelum itu sudah didokumentasikan oleh AMAN dan Jaringan Simpul LSM di Maluku Utara. Data AMAN, ada 53 warga adat di tahun 2012 s/d 2013 yang di kriminalisasi karena berjuang mempertahankan tanahnya yang dikuasai oleh izin tambang dan sawit. Konteks kebijakan ini semakin berbahaya karena mengancam kehidupan masyarakat adat/lokal setempat.
Pemerintah justru menutup mata membiarkan masalah tersebut terjadi. Tarulah kasus yang sementara ini dihadapi Suku Sawai dengan PT Tekindo dan PT Weda Bay Nikel. Sekitar 3.000 jiwa warga adat Sawai dan Tobelo Dalam di sekitar tambang yang terancam kehilangan sumber penghidupan mereka, termasuk sumber air bersih. Masalah yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak atas tanah, wilayah adat dan sumber air bersih tidak pernah tuntas terselesaikan. Kalaupun selesai, itu justru menimbulkan masalah baru di masa depan. Ganti rugi seperti yang di dilakukan PT WBN bukan cara yang bermartabat dalam penyelesaian konflik.

Beberapa bulan lalu ada riset teman – teman peneliti dari perguruan tinggi di Australia terhadap proyek yang didanai Bank Dunia yakni PT Weda Bay Nikel. Dalam laporan yang mereka buat menemukan bahwa PT. WBN dalam menggunakan lahan milik masyarakat Suku Sawai dan Suku Tobelo Dalam tidak berdasarkan hak atas persetujuan penggunaan lahan dengan berdasarkan pada prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan yang mendahulukan informasi atas dampak yang akan dialami masyarakat ketika kehilangan lahan tersebut (free, prior, informed, consente).
Masyarakat tidak diberikan pilihan lain selain melepas tanah yang sudah mereka kelola sejak leluhur mereka hidup di wilayah tersebut. Akibatnya sumber penghidupan menjadi hilang. Masyarakat dikondisikan pada situasi yang tidak diuntungkan, pada akhirnya mereka beralih profesi dari petani dan nelayan menjadi buruh di perusahan tersebut.

Aneh lagi, masyarakat dilarang mengakses hutan adat mereka yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung dan taman nasional. Sementara PT WBN, PT NHM, dan PT ANTAM lewat Perpu Nomor 41. Tahun 2004 diperbolehkan melakukan kegiatan tambang di hutan lindung. Konflik sumber daya alam ini bukan lagu baru untuk kita di Maluku Utara. Berbagai kebijakan dibuat untuk memuluskan langkah kapital menguasai SDA. Salah satu yang tren saat ini adalah Program Masterplan Percepatan Pertumbuhan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mendorong Maluku Utara bergerak pada dua sektor, yakni Perikanan di Morotai dan Tambang di Halmahera. Ini paradigma pembangunan yang sangat keliru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak kerugian yang nanti dialami masyarakat secara permanen. Berdasarkan data Kementerian ESDM di 4 kabupaten/kota di Maluku Utara berdomisili 148 Ijin Usaha Pertambangan (IUP),  jika ditambah dengan beberapa Kabupaten yang tidak termasuk di dalam data ini, maka dipastikan jumlah IUP di Maluku Utara lebih dari 200. Sayang sekali pulau kecil seperti Maluku Utara justru kebijakan pembangunannya disamakan dengan pulau besar.

Akar konflik pada sektor sumberdaya alam dimulai dari perumusan kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan aspek lain seperti hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Kebijakan yang dibuat justru membatasi masyarakat untuk memperoleh haknya. Perusahan yang memegang izin konsesi juga merasa berkuasa atas segala yang ada di dalamnya, sehingga seenaknya melakukan pengusiran kepada masyarakat yang lebih dulu ada di dalam wilayah konsesi tersebut. Kesalahan pemahaman pemerintah atas penguasaan SDA seperti ini jika tidak diperbaiki, akan memicu konflik yang lebih besar yang akan merugikan banyak pihak.

Jalan Keluar

Penyelesaian konflik agraria pada sektor sumberdaya ini membutuhkan langkah revolusioner. Seperti revisi regulasi pada sektor SDA yang banyak menimbulkan konflik, termasuk juga peninjauan kembali ijin-ijin pertambangan dan sektor lain yang bermasalah dengan masyarakat. Pemerintah juga harus mengoreksi program MP3EI, karena berpeluang mendatangkan konflik agraria yang berkepanjangan yang akan merugikan masyarakat adat/lokal. Keputusan MK terhadap UU Kehutanan yang telah memisahkan hutan adat dengan hutan negara juga harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan melakukan inventarisasi hutan adat serta membuat perda untuk mengakui keberadaan masyarakat adat beserta haknya. Keputusan MK ini adalah jalan keluar untuk menyelesaikan konflik tenurial yang selama ini memicu konflik masyarakat adat dengan pemerintah dan pemegang izin di sektor kehutanan.

Selama ini pemerintah senang membuat konflik tapi tidak memiliki cara dalam menyelesaikan konflik tersebut. Kita memang butuh mekanisme penyelesaian konflik yang melibatkan para pihak, namun mekanisme saja tidak cukup untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat kalau paradigma yang eksploitatif itu tidak dirubah oleh pemerintah.

Akhirnya apapun mekanisme yang dibuat, dan sehebat apapun mekanisme itu, jika hulu di mana awal konflik itu bermula tidak diperbaiki, maka sama saja membuang garam di laut. Artinya konflik akan terus–menerus terjadi

Sumber: http://malutpost.co.id/2013/11/06/konflik-sumber-daya-alam-di-maluku-utara/

Kamis, 10 Oktober 2013

Komnas HAM Kembali Sambangi Halteng


WEDA – Komisi Hak Azasi Manusia (Komnas Ham) kembali menyambangi Kabupaten Halmahera Tengah. Kedatangan mereka terkait aduan masyarakat menyangkut dengan problem agraria di sektor pertambangan yang belum kunjung selesai.     Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga usai bertemu dengan Wakil Bupati Halteng Soksi H. Ahmad menjelaskan bahwa agenda kunjungan mereka ke Halteng dalam rangka meneliti konflik agraria di sektor kehutanan dan pertambangan. Dijelaskannya, bahwa Malut menjadi fokus mereka untuk mempelajari karakterstik dari konflik agraria di sektor kehutanan yang terkait pertambangan. ”Konflik dalam bahasa kami bukan hanya konflik fisik tapi konflik klaim hak atas tanah, hak asasi manusia dan lainnya,” jelasnya.

Dalam rangka itu, kedatangan mereka untuk bertemu dengan Pemkab Halteng, masyarakat dan PT. WBN sebagai perusahan pertambangan yang paling lama berada di Halteng, termasuk dengan Plh Gubernur Malut Madjid Husen. “Untuk di Halteng sendiri ada problem ganti rugi lahan antara masyarakat Desa Gemaf dan PT. WBN. Komnas pernah pemenerima aduan dari masyarakat tentang itu sehingga kami ke sini melihat lebih dalam apakah persoalan itu sudah selesai atau belum. Dan ternyata belum juga selesai,”  ujar Sandra.

Mengenai ganti rugi lahan itu sendiri,  Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi kepada pihak PT. WBN. Namun dari hasil diskusi yang dilakukan dengan Pemkab, ada informasi bahwa problem itu adalah arena perdata antara masyarakat dan perusahan, karena masyarakat lain sudah terima ganti rugi. “Pemkab mencoba mencari titik tengah, perundingan antara WBN dan amsyarakat. Sebab masing-masing masih bersikukuh dengan  nilai ganti rugi yang ada,” jelasnya.

Sandra mengaku usai melakukan pertemuan dengan pihak masyarakat, perusahan (WBN) dan lainnya, barulah Komnas HAM menentukan langkah apa yang akan dilakukan. Berkaitan dengan hal lain, dia mengaku melakukan share untuk menggali apa saja kebijakan Pemkab Halteng dalam menghadapi masalah konflik kehutanan itu. “Konflik agraria ini penting diteliti dan dicari solusinya bersama guna diselesaikan ganti rugi lahan itu,” paparnya.

Dirinya mengaku, dari hasil sharing yang dilakukan itu, diketahui kawasan hutan Halteng memang cukup luas akan tetapi Pemkab tidak tahu jelas berapa angkanya. Tidak itu saja, terdapat banyak IUP yang tumpang tindih karena dikeluarkan oleh gubernur dan  bupati. “Untuk itu kami akan pelajari sejauh mana tumpang tindih yang terjadi,” katanya lagi. (day/kox)

sumber:http://malutpost.co.id/?p=55959

Selasa, 08 Oktober 2013

Wahli Minta Kontrak Karya WBN Direvisi

TERNATE – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta  pemeritah Indonesia merevisi kontrak karya tambang PT. Weda Bay Nickel. Dalam siaran persnya, Wahli menilai kontrak karya yang dikeluarkan Presiden Soeharto pada 19 Junuari 1998 dibuat tak melibatkan warga terdampak. Sehingga desa masyarakat adat, diantaranya Desa Gemaf, Lelilef Sawai, Lelilef Sawai dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan.  “Warga desa ini hidup langsung dari kemurahan alam, seperti mengambil sagu, pala hutan, dan lain-lain. Juga menangkap ikan dari laut. Semua ini akan terancam akibat penambangan nikel yang akan mengupas kawasan hutan, menghasilkan debu masif skalanya hampir menyerupai daerah pinggiran terdampak letusan gunung berapi, dan serta erosi parah,” ujar Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.   

Disamping warga desa ini, terdapat etnis Tobelo dalam hidup nomaden di dalam hutan yang hendak di tambang. Mereka sangat tergantung kepada kebersihan sungai karena melahirkan bayi langsung di tepi sungai. Dan erosi pertambangan akan mengancam hak reproduksi mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan beberapa peneliti kampus Australia, yakni Universitas Melbourne dan Universitas Monash  menyebutkan bahwa warga sekitar tambang ini diperangkap (fait accompli) agar melepaskan lahannya dengan nilai sejumlah uang yang rendah.

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara menyatakan, perusahaan seharusnya tidak memaksa secara halus maupun paksaan agar warga menjualnya tanahnya. Karena hasil dari penjualan tanah tersebut tidak akan mencukupi untuk beberapa generasi ke depan. Dan masyarakat adat telah memiliki budaya mengelola hutan, laut, dan alam di sekitar Teluk Weda, secara lestari dari generasi ke generasi sebelumnya,” ujarnya.
Ismet Sulaiman, Direktur WALHI Maluku Utara menyatakan, hutan Maluku Utara saat ini sedang berada dalam keadaan krisis akibat penambangan kontrak karya berlangsung di kawasan hutan lindung. Padahal hutan Halmahera adalah habitat bagi beberapa spesies langka dan endemis, seperti burung bidadari.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, pemerintah perlu melakukan revisi  wilayah kontrak karya Weda Bay Nickel sesuai dengan isi Undang-undang no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Agar ruang hidup masrayakat Sawai dan Tobelo Dalam yang telah dimasukkan ke dalam peta konsesi agar dikeluarkan, sehingga hak mereka atas lingkungan hidup yang sehat sesuai UUD 1945 pasal 28H, terpenuhi dan terlindungi. (kox)  

sumber :http://malutpost.co.id/?p=53831

Kamis, 03 Oktober 2013

Pemprov Maluku Utara jangan obral izin tambang, lindungi petani!

AMAN Malut desak Pemprov patuhi UUPA No 5 Tahun 1960

LENSAINDONESIA.COM: Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara, Rabu (25/9/2013), mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara menjalankan amanah Undang-Undang Pokok Agraria no 5 Tahun 1960.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (AMAN-Malut), luas daratan Malut berkisar 45.08766 Km2 atau 30,92 persen yang terdiri dari 397 pulau besar dan kecil menjadi ancaman. Sebab, sebagian wilayah daratan Malut  dikuasai izin pertambangan. Pemprov mengobral izin pertambangan, sementara sebagian besar lahan tersebut milik masyarakat petani.

“Petani Malut belum berdaulat atas sumber-sumber kehidupan mereka, terutama hak mereka atas tanah. Tanah mereka dikonversikan untuk kegiatan lain. Sehingga, banyak petani yg harus beralih profesi, kehilangan mata pencaharian,” ungkap Ketua BPH AMAN Malut, Munadi Kilkoda kepada LICOM. Aritnya Pemprov diimbau jangan asal obral izin pertambangan.

“Selain itu, berkisar tiga juta hektar tanah adat Malut terancam alih fungsi menjadi kawasan izin pertambangan. Karena itu, pemerintah
harus melaksanakan reforma agraria melalui amanah UUPA no 5 tahun 1960 untuk melindungi hak-hak petani,” tambahnya.

Munadi menambahkan, kasus angraria tidak hanya terjadi di Malut. Bahkan, hampir di seluruh daerah yang ada di Indonesia, akibat pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal asing untuk menggaruk sumber daya alam Indonesia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Malut, Ismet Suleman mengatakan, semestinya Pemerintah Malut melakukan moratorium  izin tambang, perkebunan sawit, dan menyelesaikan semua konflik agraria di Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.

“Hampir semua konflik agraria yang terjadi di empat wilayah tersebut senantiasa berujung pada kriminalisasi warga,” tandas Ismet.
Itu seperti kasus masyarakat Gemaf di lingkar tambang PT Weda Bay Nikel, Masyarakat Kao-Malifut di lingkar tambang PT Nusa Halmahera Mineral, Kasus Paceda di lingkar tambang PT Shanatova. Kemudian, Pulau Gebe di Halteng, Pulau Obi di Halsel, kasus Sawit di Gane-Halsel, kasus Sengketa tanah di Pulau Sanana dan Taliabu,” ungkap Ismet.

Selain itu, menurut Ismet, hari tani bagi Malut mestinya menjadi momen refleksi dan perbaikan tata pengurusan agraria di Malut karena,
wilayah daratnya hanya 23 persen dari total wilayah keseluruhan. “Daerah ini merupakan wilayah kepulauan kecil, tanah menjadi sesuatu yang berharga bagi rakyat yang hidup di dalamnya,” kata Ismet.

Ketua BPH AMAN Malut menambahkan, pada Selasa (24/9/2013), AMAN Pusat dan beberapa lembaga bergabung membuat pernyataan sikap memperingati  Hari Tani Nasional ke 53. Dalam tuntutan yang dibuat bersama yakni, sesuai mandat UUPA No.5/1960.pertama; agar pemerintah segera bentuk Komisi Khusus Penyelesaian Konflik Agraria yang berpihak kepada korban, kedua;  hentikan Kriminalisasi petani dan bebaskan pejuang dan tapol agraria, dan yang ketiga; batalkan pertemuan APEC Oktober dan WTO di Bali Desember 2103, serta WTO keluar dari pertanian dan pangan.
Lembaga yang tergabung dalam Sekber PHRI, adalah gabungan dari aliansi Organisasi Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda dan Mahasiswa, serta NGO; Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub, Eknas WALHI Abetnego Tarigan, Koalisi Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, PB AMAN  Abdon Nababan, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat. @faris_bobero

Sumber 
http://www.lensaindonesia.com/2013/09/26/pemprov-maluku-utara-jangan-obral-izin-tambang-lindungi-petani.html

Penampungan Limbah Tekindo Jebol, Tanaman Gagal Panen, Ikan-ikan di Tambak pun Mati

Pencemaran sungai sudah terjadi sejak lama. Sungai berubah warga hingga warga tak bisa lagi menggunakan untuk keperluan sehari-hari. Airpun bergantung dari pasokan perusahaan. 

Penderitaan masyarakat adat di Kobe Kulo dan Lukulamo di Halmahera Tengah, bertambah berat. Sejak 2009, wilayah adat mereka seluas 3.890 hektar dicaplok perusahaan tambang nikel, PT Tekindo Energy . Kini masalah bertambah, karena penampungan limbah tambang perusahaan jebol. Saking parahnya, tanaman gagal panen dan ikan-ikan di kolam maupun tambak warga pun mati.
Melkyanus Lalatang, warga Desa Kobe Kulo megatakan, pada 6-7 September 2013 ,di Desa Kobe Kulo, terjadi banjir. Bersamaan dengan itu, penampungan limbah perusahaan jebol dan mengalir ke pemukiman penduduk, kebun warga sampai kolam ikan.  “Ikan dan tanaman gagal panen dan mati semua. Kami rugi ratusan juta rupiah. Karena banjir itu ada rumah rusak parah, ayam dan kambing hanyut bersamaan banjir,” katanya.
Munadi Kilkoda,  Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, mendesak Bupati Halmahera Tengah segera mencabut segera izin pertambangan nikel PT Tekindo Energy, di Desa Kobe.
“Sejak eksploitasi pada 2009, perusahaan banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat di Kobe Kulo dan Lukulamo,” katanya kepada Mongabay, Selasa (1/9/13).
Dia mengatakan, wilayah adat mereka seluas 3.890 hektar menjadi konsesi perusahaan. Bahkan, hutan adat dan gunung yang tak jauh dari pemukiman penduduk sudah digunduli.
Bukan itu saja. Masyarakat adat Sawai di Dusun Lukulamo, sejak dua tahun belakangan tak bisa lagi mengkonsumsi air bersih dari Sungai Kobe. Sebab, sungai ini diduga terkontaminasi limbah tambang dan berubah warna. Padahal, sebelum ada perusahaan air sungai ini menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Saat ini, katanya, warga hanya bergantung pada air yang dipasok perusahaan yang diangkut dari tempat lain. Warga harus menyediakan gelong di depan rumah untuk menampung air. ”Ini masalah sangat luar biasa, bertahun-tahun perusahaan dibiarkan, padahal nyata-nyata mengganggu kehidupan masyarakat, bahkan menghilangkan sumber–sumber kehidupan warga,” ujar dia.
Munadi mendesak, Bupati Halmahera Tengah, Hi Al Yasin Ali, segera mencabut izin Tekindo Energy. “Jika tidak, perusahaan ini akan membunuh perlahan-lahan masyarakat adat di wilayah itu. Padahal mereka adalah pemilik sah lahan adat yang saat ini dikuasai perusahaan.”
AMAN memperkirakan,  sekitar 2.000 jiwa lebih akan kehilangan mata pencaharian. “Bupati harus segera berikan perlindungan hak-hak masyarakat adat.”  Dia menilai, telah terjadi pengabaian hak-hak warga di wilayah itu dan dalam waktu dekat AMAN akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM.

Berita terkait :        
http://www.mongabay.co.id/2013/10/02/penampungan-limbah-tekindo-jebol-tanaman-gagal-panen-ikan-ikan-di-tambak-pun-mati/

berita

Masyarakat Adat Tobelo Dalam Harus Dilindungi

 Bagi kami, Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, kasus pembunuhan sepasang suami-istri pada tanggal 18 Septembe 2013 di Desa Waci, Maba Selatan, Halmahera Timur harus diungkap ke permukaan dan pelakunya harus di hukum seberat-beratnya. Kasus seperti ini tidak boleh dibenarkan. Penegakan hukum harus berjalan tanpa pilih kasih, suku, agama maupun golongan.

Namun dalam hal pemberitaan pada beberapa Media Lokal beberapa waktu lalu, terkesan opini yang muncul menyudutkan salah satu komunitas masyarakat adat yang belum tentu warganya terlibat sebagai pelaku utama. Komunitas tersebut adalah Tobelo Dalam. Menurut kami ini sangat berbahaya karena sebelum kasus ini diungkapkan berdasarkan fakta hukum oleh pihak kepolisian, opini yang muncul lewat media telah memvonis komunitas tersebut sebagai pelaku pembunuhan sehingga dilakukan pengejaran terhadap mereka baik oleh warga lokal maupun pihak kepolisian.

Opini seperti ini sangat merugikan Suku Tobelo Dalam, mereka dihakimi lebih dulu padahal belum tentu pelaku utamanya adalah warga dari Suku Tobelo Dalam sehingga penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian menjadi penting untuk membuktikan pelaku utama dari kasus ini siapa. Kekhawatiran terbesar kami, terbentuknya opini bahwa komunitas Tobelo Dalam ini adalah kelompok yang jahat sehingga perlu di hakimi. 

Suku Tobelo Dalam sudah hidup ratusan di hutan Halmahera dan menjadikan hutan sebagai tempat tinggal mereka setiap saat dari generasi ke generasi. Mereka memelihara hutan karena disitulah rumah mereka bahkan hutan yang dijaga itu saat ini kita bisa nikmati bersama. Hutan yang mereka jaga itu sesungguhnya menjadi penyangga hidup bersama baik Suku Tobelo Dalam maupun masyarakat adat lainnya yang ada di pesisir.

Pemberitaan Malut Post edisi kamis 03 Oktober 2012 bahwa Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur akan merumahkan mereka, itu sangat bertentangan dengan hak mereka sebagai komunitas masyarakat adat. Pendapat Bupati Halmahera Timur kekeliruan besar dengan rencana merumahakan Suku Tobelo Dalam. Pendapat ini tidak beda jauh dengan pendapat lain yang menjastifikasi bahwa Tobelo Dalam itu belum beradat, manusia liar, suku primitif, kelompok komunitas yang jahat/pembunuh, dll. Ini Stereotip yang sangat keliru. Karena itu atas nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (AMAN Malut) dan Burung Indonesia menyatakan sikap

1.      Mendorong kepada Media untuk tidak membuat opini yang menyudutkan komunitas Tobelo Dalam sebagai pelaku pembunuhan sebelum polisi mengungkapkan siapa pelaku utama di balik kasus ini
2.      Mendorong kepada media untuk memberitakan kasus ini dengan memperhatikan efek yang nanti ditimbulkan, salah satunya potensi konflik yang kami ikhtiar akan terjadi di kemudian hari antara Suku Tobelo Dalam dengan warga pesisir lainnya
3.      Mendesak kepada pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan hukum kepada Komunitas Tobelo Dalam selama penyelidikan berlangsung

4.      Mendesak kepada pihak kepolisian agar secepatnya mengungkapkan siapa pelaku utama kasus pembunuhan ini

5.      Kepada Bupati Halmahera Timur agar tidak melakukan program resetlement yang kebanyakan tidak menghargai hak – hak Suku Tobelo Dalam, dan mendorong program yang lebih menghargai  dan tidak menghilangkan hak dan identitas Suku Tobelo Dalam

6.      Kami mencurigai program perumahan yang rencana didorong oleh Pemkab Haltim itu ada motif SDA yang akan di eksploitasi oleh perusahan-perusahan terkait, yang izinnya ada di wilayah Suku Tobelo Dalam
7.      Kepada Bupati Halmahera Timur, agar tidak ikut melakukan pembenaran atas informasi yang muncul dan diharuskan memberikan perlidungan hukum kepada Suku Tobelo Dalam.

8.      Komunitas Tobelo Dalam bukan orang jahat seperti yang disangkakan selama ini. Mereka manusia yang selama ini sangat berkontribusi menjaga alam di Maluku Utara terutama di Halmahera terus lestari untuk masa depan kita bersama.
9.      Kami ikut berbelasungkawa dan mengutuk keras atas tindakan pembunuhan tersebut

Ternate 2 Oktober 2013
Munadi            : AMAN
Darmin            : Pegiat Tobelo Dalam

Selasa, 03 September 2013

MASYARAKAT ADAT PAGU DAN GURA SEGERA KE FILIPINA BELAJAR STARTEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM



Perubahan iklim yang terjadi saat ini berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat adat. Mereka yang hidup di pulau – pulau kecil harus menerima dampak akibat dari naiknya permukaan air lain yang mengikis perlahan – lahan pulau tersebut. Bahkan juga kalender musim terus berubah sehingga mengharuskan penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat adat.
Aiting  Utusan AIPP bertemu dengan Masyarakat Adat Pagu

Setidaknya itu yang diungkap oleh masyarakat adat Hoana Pagu dan Hoana Gura ketika berdiskusi tim dari Asia Indigenous Peopels Pact (AIPP) yang kantornya berkedudukan di Chiang May, Thailand dan AMAN Maluku Utara yang bertempat di Gol – Gol dan Pulau Kumo dari tanggal 30 s/d 31 agustus.

Tim AIPP di wakili oleh Athing dan didamping oleh Annas Radin Syarif salah satu staf di PB AMAN. Sedangkan dari AMAN Malut sendiri hadir Ketua BPH, Munadi Kilkoda dan beberapa orang staf.

Athing sendiri ketika berdiskusi dengan masyarakat adat,menjelaskan perubahan iklim memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat adat. Masyarakat adat menjadi korban dari hasil perbuatan orang lain. Mereka kehilangan mata pencaharian yang menjadi sumber hidupnya, karena wilayahnya dikonversikan untuk kegiatan lain seperti perkebunan dan pertambangan.
Masyarakat Pagu dan Gura Mendengar Penjelasan Situasi Krisis Iklim Global yang di paparkan oleh perwakilan dari AIPP
”Masyarakat adat memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan iklim karena mereka memiliki kearifan lokal, misalnya kita punya pangan, punya rumah adat dan kemampuan lain yang bisa kita pergunakan ketika berhadapan dengan perubahan iklim tersebut” Ungkap beliau.
Sedangkan menurut Annas, program Adaptasi perubahan iklim yang dilakukan di dua komunitas ini nantinya akan didorong oleh AMAN ke Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menjadikannya sebagai strategi nasional adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat adat.

Kunjungan AIPP tersebut untuk melihat secara langsung strategi adaptasi perubahan iklim yang telah dibuat oleh masyarakat adat Pagu dan Gura. Selain itu juga menyusun rencana bersama yang berhubungan dengan kesiapan masyarakat adat untuk menerima kunjungan belajar masyarakat adat dari Filipina, Malaysia, Laos dan Thailand. 
Di depan ___dari Kiri Aiting (AIPP) Annas Raden Syarif (Staff PB AMAN) dan Ibu Afrida Ngato (Sangaji Pagu)

Kunjungan belajar adaptasi perubahan iklim yang pertama akan dilakukan di Filipina pada bulan Oktober 2013. Utusan komunitas masyarakat adat Pagu dan Gura akan datang ke Filipina dan belajar strategi adaptasi perubahan iklim yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat disana (Abe Ngingi)