Kamis, 03 Oktober 2013

Pemprov Maluku Utara jangan obral izin tambang, lindungi petani!

AMAN Malut desak Pemprov patuhi UUPA No 5 Tahun 1960

LENSAINDONESIA.COM: Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara, Rabu (25/9/2013), mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara menjalankan amanah Undang-Undang Pokok Agraria no 5 Tahun 1960.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (AMAN-Malut), luas daratan Malut berkisar 45.08766 Km2 atau 30,92 persen yang terdiri dari 397 pulau besar dan kecil menjadi ancaman. Sebab, sebagian wilayah daratan Malut  dikuasai izin pertambangan. Pemprov mengobral izin pertambangan, sementara sebagian besar lahan tersebut milik masyarakat petani.

“Petani Malut belum berdaulat atas sumber-sumber kehidupan mereka, terutama hak mereka atas tanah. Tanah mereka dikonversikan untuk kegiatan lain. Sehingga, banyak petani yg harus beralih profesi, kehilangan mata pencaharian,” ungkap Ketua BPH AMAN Malut, Munadi Kilkoda kepada LICOM. Aritnya Pemprov diimbau jangan asal obral izin pertambangan.

“Selain itu, berkisar tiga juta hektar tanah adat Malut terancam alih fungsi menjadi kawasan izin pertambangan. Karena itu, pemerintah
harus melaksanakan reforma agraria melalui amanah UUPA no 5 tahun 1960 untuk melindungi hak-hak petani,” tambahnya.

Munadi menambahkan, kasus angraria tidak hanya terjadi di Malut. Bahkan, hampir di seluruh daerah yang ada di Indonesia, akibat pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal asing untuk menggaruk sumber daya alam Indonesia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Malut, Ismet Suleman mengatakan, semestinya Pemerintah Malut melakukan moratorium  izin tambang, perkebunan sawit, dan menyelesaikan semua konflik agraria di Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.

“Hampir semua konflik agraria yang terjadi di empat wilayah tersebut senantiasa berujung pada kriminalisasi warga,” tandas Ismet.
Itu seperti kasus masyarakat Gemaf di lingkar tambang PT Weda Bay Nikel, Masyarakat Kao-Malifut di lingkar tambang PT Nusa Halmahera Mineral, Kasus Paceda di lingkar tambang PT Shanatova. Kemudian, Pulau Gebe di Halteng, Pulau Obi di Halsel, kasus Sawit di Gane-Halsel, kasus Sengketa tanah di Pulau Sanana dan Taliabu,” ungkap Ismet.

Selain itu, menurut Ismet, hari tani bagi Malut mestinya menjadi momen refleksi dan perbaikan tata pengurusan agraria di Malut karena,
wilayah daratnya hanya 23 persen dari total wilayah keseluruhan. “Daerah ini merupakan wilayah kepulauan kecil, tanah menjadi sesuatu yang berharga bagi rakyat yang hidup di dalamnya,” kata Ismet.

Ketua BPH AMAN Malut menambahkan, pada Selasa (24/9/2013), AMAN Pusat dan beberapa lembaga bergabung membuat pernyataan sikap memperingati  Hari Tani Nasional ke 53. Dalam tuntutan yang dibuat bersama yakni, sesuai mandat UUPA No.5/1960.pertama; agar pemerintah segera bentuk Komisi Khusus Penyelesaian Konflik Agraria yang berpihak kepada korban, kedua;  hentikan Kriminalisasi petani dan bebaskan pejuang dan tapol agraria, dan yang ketiga; batalkan pertemuan APEC Oktober dan WTO di Bali Desember 2103, serta WTO keluar dari pertanian dan pangan.
Lembaga yang tergabung dalam Sekber PHRI, adalah gabungan dari aliansi Organisasi Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda dan Mahasiswa, serta NGO; Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub, Eknas WALHI Abetnego Tarigan, Koalisi Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, PB AMAN  Abdon Nababan, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat. @faris_bobero

Sumber 
http://www.lensaindonesia.com/2013/09/26/pemprov-maluku-utara-jangan-obral-izin-tambang-lindungi-petani.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar