AMAN Malut desak Pemprov patuhi UUPA No 5 Tahun 1960
LENSAINDONESIA.COM: Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara Maluku Utara, Rabu (25/9/2013), mendesak Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Maluku Utara menjalankan amanah Undang-Undang Pokok Agraria no
5 Tahun 1960.
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pelaksana
Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara
(AMAN-Malut), luas daratan Malut berkisar 45.08766 Km2 atau 30,92 persen
yang terdiri dari 397 pulau besar dan kecil menjadi ancaman. Sebab,
sebagian wilayah daratan Malut dikuasai izin pertambangan. Pemprov
mengobral izin pertambangan, sementara sebagian besar lahan tersebut
milik masyarakat petani.
“Petani
Malut belum berdaulat atas sumber-sumber kehidupan mereka, terutama hak
mereka atas tanah. Tanah mereka dikonversikan untuk kegiatan lain.
Sehingga, banyak petani yg harus beralih profesi, kehilangan mata
pencaharian,” ungkap Ketua BPH AMAN Malut, Munadi Kilkoda kepada LICOM.
Aritnya Pemprov diimbau jangan asal obral izin pertambangan.
“Selain
itu, berkisar tiga juta hektar tanah adat Malut terancam alih fungsi
menjadi kawasan izin pertambangan. Karena itu, pemerintah
harus melaksanakan reforma agraria melalui amanah UUPA no 5 tahun 1960 untuk melindungi hak-hak petani,” tambahnya.
harus melaksanakan reforma agraria melalui amanah UUPA no 5 tahun 1960 untuk melindungi hak-hak petani,” tambahnya.
Munadi
menambahkan, kasus angraria tidak hanya terjadi di Malut. Bahkan,
hampir di seluruh daerah yang ada di Indonesia, akibat pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal asing untuk menggaruk sumber daya alam Indonesia.
Direktur
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Malut, Ismet Suleman
mengatakan, semestinya Pemerintah Malut melakukan moratorium izin
tambang, perkebunan sawit, dan menyelesaikan semua konflik agraria di
Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan
Kepulauan Sula.
“Hampir semua konflik agraria yang terjadi di
empat wilayah tersebut senantiasa berujung pada kriminalisasi warga,”
tandas Ismet.
Itu seperti kasus masyarakat Gemaf di lingkar
tambang PT Weda Bay Nikel, Masyarakat Kao-Malifut di lingkar tambang PT
Nusa Halmahera Mineral, Kasus Paceda di lingkar tambang PT Shanatova.
Kemudian, Pulau Gebe di Halteng, Pulau Obi di Halsel, kasus Sawit di
Gane-Halsel, kasus Sengketa tanah di Pulau Sanana dan Taliabu,” ungkap
Ismet.
Selain itu, menurut Ismet, hari tani bagi Malut mestinya
menjadi momen refleksi dan perbaikan tata pengurusan agraria di Malut
karena,
wilayah daratnya hanya 23 persen dari total wilayah keseluruhan. “Daerah ini merupakan wilayah kepulauan kecil, tanah menjadi sesuatu yang berharga bagi rakyat yang hidup di dalamnya,” kata Ismet.
wilayah daratnya hanya 23 persen dari total wilayah keseluruhan. “Daerah ini merupakan wilayah kepulauan kecil, tanah menjadi sesuatu yang berharga bagi rakyat yang hidup di dalamnya,” kata Ismet.
Ketua
BPH AMAN Malut menambahkan, pada Selasa (24/9/2013), AMAN Pusat dan
beberapa lembaga bergabung membuat pernyataan sikap memperingati Hari
Tani Nasional ke 53. Dalam tuntutan yang dibuat bersama yakni,
sesuai mandat UUPA No.5/1960.pertama; agar pemerintah segera bentuk
Komisi Khusus Penyelesaian Konflik Agraria yang berpihak kepada korban,
kedua; hentikan Kriminalisasi petani dan bebaskan pejuang dan tapol
agraria, dan yang ketiga; batalkan pertemuan APEC Oktober dan WTO di
Bali Desember 2103, serta WTO keluar dari pertanian dan pangan.
Lembaga
yang tergabung dalam Sekber PHRI, adalah gabungan dari aliansi
Organisasi Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda dan Mahasiswa, serta NGO; Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad
Yakub, Eknas WALHI Abetnego Tarigan, Koalisi Pembaruan Agraria (KPA)
Iwan Nurdin, PB AMAN Abdon Nababan, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria
(AGRA) Rahmat. @faris_bobero
http://www.lensaindonesia.com/2013/09/26/pemprov-maluku-utara-jangan-obral-izin-tambang-lindungi-petani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar