Rabu, 30 Juli 2014

Komunitas Tobelo Dalam Waleino; Pendidikan, Kesehatan dan Pemetaan Wilayah Adat Menjadi Kebutuhan Penting Saat Ini



Perumahan di Dusun Waleino, Maba Utara

Jalan tanah dengan sesekali melewati kubangan yang penuh dengan air atau sungai kecil yang membelah jalan merupakan perjalanan kami hari ini (22 Juli 2014) dari Wasileo menuju salah satu komunitas Suku Tobelo Dalam di Kecamatan Maba Utara, Waleino. Dusun kecil yang terletak dekat dengan sungai Akelamo, sungai dengan DAS terpanjang di pulau Halmahera. Untuk menuju Waleino, bisa menggunakan sepeda motor ataupun viar, kendaraan bermotor yang menggunakan bak di belakangnya dari desa terdekat yakni Wasileo atau Pumlanga. Sekitar 1 jam perjalanan dengan ditemani hamparan pemandangan hutan dan kebun masyarakat di sisi kiri kanan jalan. Kondisi jalan yang belum beraspal mengharuskan kami ekstra hati-hati. Ironisnya  sudah 67 tahun Indonesia merdeka namun pembangunan infrastruktur jalan di wilayah ini masih jauh tertinggal dari daerah-daerah lain di Maluku Utara. Jalan ini pun bekas perusahan kayu yang pernah beroperasi di wilayah tersebut. 
Suasana Dusun Waleino di Sore Hari
Sungai Akelamo, Diapit Oleh Bukit yang Merupakan Batas Wilayah Adat Waleino
Waleino merupakan anak desa/dusun dari Desa Pumlanga Kecamatan Maba Utara Kabupaten Halmahera Timur. Dalam bahasa setempat, Waleino berasal dari kata ‘Wale’ (Mangga) dan ‘Ino’ (Datang) yang berarti “ Datang dari mangga”. Kata mangga digunakan karena pada kampung tua mereka terdapat 3 buah pohon mangga besar.  Berbeda dengan desa induknya yang penduduknya datang dari berbagai suku, sebagian besar penduduk Waleino adalah Suku Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) ditambah beberapa pendatang yang menikah dengan warga Waleino. 

Sungai Akelamo Saat Meluap
Setelah menempuh perjalanan darat, kami pun tiba di dusun Waleino disambut dengan ramah oleh beberapa warga yang kemudian mengantar kami ke rumah kepala dusun. Suaib Kaibi, kepala dusun Waleino menyambut kami masuk ke rumahnya. Rumah masyarakat Waleino merupakan rumah bantuan dari pemerintah lewat dinas sosial waktu itu ketika mereka mengalami bencana banjir di tahun 2007. Belum setahun mereka menempati rumah-rumah ini. Ketika kami tiba, suasana dusun ini agak lengang, yang terlihat hanya beberapa perempuan yang lalu lalang membawa jirigen berisi air. Menurut kepala dusun, sebagian besar laki-laki sementara ke hutan untuk mengambil makanan. Setelah menyantap makanan yang disedikan kepala dusun, perlengkapan kami pun dirapikan, sambil mulai merebahkan badan mengatasi capek perjalanan. 

Malam haripun datang. Kondisi dusun mulai gelap tanpa penerangan listrik. Masyarakat biasanya menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar untuk menerangi dusun ini. Itupun hanya untuk beberapa rumah sampai sekitar jam 11 malam. Penggunaan energi fosil yang kotor serta mahal digunakan masyarakat disini karena memang tak ada pilihan lain. Untuk mendapat layanan listrik dusun, tiap KK harus membayar seratus ribu tiap bulannya. Itu juga tak menjamin lampu akan menyala satu bulan penuh. Setelah lampu padam, masyarakat menggunakan lampu minyak atau loga-loga untuk menerangi rumah masing-masing. Layanan listrik oleh PLN masih menjadi angan-angan besar masyarakat Waleino. Entah kapan itu terjadi. Hidup dengan keterbatasan layanan pemerintah sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagain masyarakat yang tinggal di derah pelosok. Kalau seperti ini, kenapa kita harus bernegara ?

Kondisi Pendidikan dan Kesehatan
Bangunan Sekolah yang Tak Digunakan Lagi
Selain rumah bantuan, di dusun ini juga terdapat gedung sekolah dasar. Ada 2 unit gedung sekolah, satu yang lama dan satunya yang baru. Kondisi gedung lama sudah tidak lagi terurus karena terletak di bekas kampung yang terkena banjir walaupun kondisi fisik gedungnya masih baik. Aktivitas belajar mengajar menggunakan gedung baru yang hanya tersedia 3 ruang kelas untuk menampung kurang lebih 50 anak usia sekolah tanpa perpustakaan dan fasilitas pendukung lainnya. 

Jauh dari kota dengan fasilitas yang terbatas membuat banyak guru tak mampu bertahan di dusun ini. Menurut tuturan warga, saat ini ada 3 orang guru yang mengajar di sekolah. Namun biasanya mereka datang mengajar sekali seminggu. Lebih parahnya lagi, ada yang datang 1 minggu dan kemudian pergi 1 bulan. Pendidikan baca-tulis-hitung menjadi kebutuhan dasar yang masih sulit di dapatkan anak sekolah disini.
Kami kemudian berdiskusi dengan beberapa warga membahas hal ini. Anak-anak disini sebenarnya memiliki semangat untuk sekolah, tapi kalau kondisi guru seperti ini anak-anak ini tak mungkin menjadi pandai. Lebih baik ikut orang tua ke hutan untuk mengambil makanan dan berburu, ungkap Jitro Kaibi, salah satu warga Waleino yang kemudian dibenarkan oleh beberapa warga yang turut hadir. Anak-anak yang dibawa orang tua mereka ke hutan pun berminggu-minggu lamanya. Kondisi pendidikan yang sangat minim membuat orang tua tak mampu berbuat banyak untuk menghadirkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka selain terus berharap akan datangnya guru untuk mengajar, 6 hari dalam seminggu. Beberapa orang dewasa di dusun ini sudah bisa membaca dan menulis. Mereka merupakan hasil program literasi yang dibawa misionaris ke dusun ini, 14 tahun lalu.  Hati serasa teriris melihat kondisi pendidikan yang sangat menyedihkan di tempat ini ketika ditempat lain fasilitas pendidikan yang dirasakan sangat layak.
Hamu, Salah Satu Anak yang Ikut Orang Tuanya Ke Hutan Karena Tak Ada Aktivitas Sekolah di Dusun
Selain pendidikan, kebutuhan penting lainnya adalah sarana kesehatan. Tak terdapat puskesmas atau polindes di dusun ini. Bila ada masyarakat yang sakit mereka biasanya menggunakan obat-obatan tradisional namun untuk penyakit yang lebih besar mereka harus berobat ke puskesmas di Dorosago, kota kecamatan yang berjarak kurang lebih 25 KM. Untuk transportasi pergi pulang saja bisa menghabiskan 500 – 700 ribu rupiah. Itupun belum terhitung biaya makan dan obat. Karena keterbatasan biaya, hanya sedikit orang yang bisa memeriksakan kesehatan mereka. Menurut kepala dusun, hal ini juga yang membuat beberapa ibu meninggal saat akan melahirkan karena tak ada bidan yang membantu. Miris mendengar kondisi sosial disini.

Wilayah Adat dan Ancaman DAM serta Taman Nasional
Masyarakat Waleino hidup sangat lekat dengan hutan mereka. Ini terbukti pada waktu kami tiba dan tak berjumpa dengan beberapa orang tua yang sementara di hutan untuk mengambil makanan. Walaupun sudah dimukimkan melalui program pemerintah, namun hubungan mereka dengan alam dan hutan tetap dipertahankan sampai kini. 

Daniel Kaibi, Menatap Sedih Sungai Mereka yang Akan Dibendung
Kami kemudian membuat pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat Waleino untuk mempersiapkan proses pemetaan wilayah adat mereka. Suaib Kaibi, kepala dusun yang juga merupakan anak dari ketua adat Waleino menjelaskan bahwa wilayah adat mereka mengikuti aliran sungai Akelamo dengan sisi kanan dan kirinya dibatasi dengan puncak bukit serta sungai kecil yang adalah batas wilayah adat. Dibagian atasnya berbatasan dengan kelompok Tobelo Dalam Hate Gou yang tinggal dibagian hulu sungai Akelamo. Dia juga menjelaskan nama-nama bukit serta sungai-sungai kecil tersebut berdasarkan sejarah yang mereka tahu kemudian menuangkannya dalam bentuk gambar sketsa wilayah adat. 

Beberapa warga kemudian menceritakan tentang kegelisahan mereka tentang pembangunan DAM untuk kebutuhan air bagi sawah milik transmigrasi. Rencananya DAM ini akan membendung dua sungai besar, Akelamo dan Watita yang ada dalam wilayah adat Waleino (baca : Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat di Hutan Halmahera / http://amanmalut.blogspot.com/2014/02/kapitalisme-merongrong-masyarakat-adat_11.html). Proses sosialisasi sudah dilakukan pihak terkait. Tapi apakah mereka menjelaskan dampak bagi masyarakat Waleino dengan pembangunan DAM tersebut ?
Lubang Galian di Lokasi Pembangunan DAM
Ketakutan masyarakat Waleino adalah air sungai Akelamo yang biasa mereka konsumsi akan semakin kecil debitnya apalagi kalau musim panas. Kemudian bila musim hujan, biasanya air sungai Akelamo akan meluap kencang, ditakutkan DAM tak mampu menahan luapan air sehingga akan jebol dan berdampak terhadap kebun serta pemukiman mereka saat ini. Ini merupakan ketimpangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah lebih memperhatikan pembangunan bagi transmigrasi dibandingkan masyarakat pemilik wilayah tersebut. 

Selain DAM, masalah lainnya adalah penempatan kawasan taman nasional blok lolobata didalam wilayah adat mereka. Puncak bukit di wilayah utara sungai Akelamo dan sebagian wilayah mengikuti aliran sungai Watita masuk dalam wilayah taman nasional. Di wilayah-wilayah ini masyarakat dilarang untuk memasang jerat hewan dan beraktifitas di dalam kawasan tersebut. Seperti di wilayah lainnya, penempatan taman nasional di wilayah adat Waleino tanpa proses kesepakatan bersama dengan warga pemilik wilayah adat. 

Pemetaan yang dirancang dilaksanakan esok harinya namun hanya untuk sebagian wilayah saja yang bisa ditempuh. Penghalang bagi team pemetaan adalah kondisi cuaca di bagian hulu yang hujan sehingga sungai Akelamo banjir. Ini menyebabkan kami tak bisa mencapai bagian atas yang berbatasan dengan kelompok Hate Gou. Hambikiye menjadi perhentian kami beberapa malam. Sambil menunggu hujan reda dan banjir surut, team pun terpaksa untuk kembali ke dusun guna mengatur rencana lanjutan pemetaan wilayah adat Waleino. 
Menggambar Sketsa Wilayah Adat Oleh Beberapa Warga Waleino
Suaib Kaibi, Sementara Menjelaskan Sketsa Wilayah Adat Waleino
Team Pemetaan Menyebrangi Sungai Akelamo Saat Banjir
Bagi masyarakat Waleino, pemetaan menjadi hal penting saat ini untuk melindungi wilayah mereka dari ancaman pihak luar dan menegaskan hak-hak mereka atas wilayah adat dan segala sumber daya yang ada didalamnya.  "'(Abe Ngingi)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar