Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut
”Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat” ini merupakan bunyi pasal 1 ayat 6 UU 41
tahun 1999 sebelum keluar putusan MK No 35/PUU-X/2012 yang berubah menjadi ”Hutan
adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Defenisi
HUTAN ADAT dalam UU Kehutanan telah berubah sejak tanggal 16 Mei 2013 kemarin
disaat Mahkamah Konstitusi menerima gugatan Judicial Review AMAN berserta 2
komunitas masyarakat adat, namun ada beberapa pasal juga yang ditolak. Defenisi
ini berubah sebab pasal sebelumnya dinyatakan inkonstitusional (Baca: Pasal 18B
dan 28I, UUD 1945).
Terhitung
sudah satu tahun lebih sejak putusan MK ini keluar. Masyarakat adat yang saat
itu memiliki eforia karena hak – haknya sudah dikembalikan oleh Makhamah
Konstitusi menjemput dengan sukacita. Di berbagai daerah mereka berbondong –
bondong masuk ke wilayah adatnya lalu menancap plang bertulis ”Ini Hutan
Adat Kami, Berdasarkan Putusan MK No 35/2012,” Yang lain terus
bersosialisasi, meminta dukungan publik, mendesak pemerintah segera membuat
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda). Upaya tersebut dilakukan
tanpa henti, tanpa rasa capek dan takut sama sekali. Semua dilandasi pada
semangat setelah sekian puluh tahun HUTAN ADAT dikuasai oleh Negara lewat UU
Kehutanan.
Namun hari
demi hari yang ditunggu supaya Pemerintah segera mengeluarkan INPRES, PP dan
Perda sebagaimana perintah putusan MK tersebut tak perna muncul. Pemerintah
malam membuat UU baru yang berlawanan dengan putusan MK. Di akhir tahun 2013,
DPR RI mengesahkan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberasan
Perusak Hutan (P3H). UU ini oleh kalangan CSO dianggap berpotensi
mengkriminalisasi masyarakat adat/local yang memanfaatkan hasil hutan. Bahkan
bertolak belakang dengan Putusan MK tentang Hutan Adat. Kekhawatiran CSO itu
terbukti, banyak masyarakat adat di berbagai daerah yang ditangkap karena
memanfaatkan hutan adat mereka.
Diberbagai daerah, tidak ada gerak langkah
setiap kepala daerah untuk merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan
Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat, walaupun masyarakat adat beserta hak –
haknya itu masih ada berdasarkan dengan identifikasi diri (self determination)
oleh masyarakat adat sendiri. Sangat miris, perintah MK itu diabaikan begitu
saja oleh mereka.
UU Berubah, Konflik Tidak Berubah
Jika dimaknai, Putusan MK tentang Hutan Adat sebenarnya
merupakan solusi penyelesaian konflik tenurial selama ini. Konflik tenurial
terjadi disebabkan saling klaim oleh masing – masing pihak yang merasa lebih
berhak atas satu kawasan hutan, ibarat 1 lahan kebun, ada 3 orang pemiliknya,
(Masyarakat Adat, Pemerintah dan Perusahan). Kelompok masyarakat adat menjadi
pihak yang paling dirugikan. Hak – hak mereka dikuasai oleh negera lalu
dikonversikan untuk kegiatan atau usaha yang menyebabkan masyarakat adat
sendiri tidak bisa mengakses kembali haknya itu.
Paradigma UU Kehutanan yang sudah berubah,
namun para elit di kehutanan masih tetap dengan paradigma lama yang menganggap
hutan adat adalah hutan negara. MK 35 tidak dilakasanakn
justru mengeluarkan Permenhut 62/2013 yang bertentangan dengan MK 35 dan MK 45.
Pihak Kehutanan ini justru memelihara konflik bukan menyelesaikan konflik. Ini menjadi
ancaman bagi masa depan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di hutan.
Implikasinya
bisa dilihat dari data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), tahun 2013, konflik agrarian mencapai 369
kasus. Konflik ini
terjadi pada sector perkebunan, infrastruktur, pertambangan, kehutanan,
pesisir/kelautan, dll. Sementara data AMAN di tahun 2013, terjadi
143 konflik di masyarakat adat yang berada di berbagai daerah di Nusantara. Konflik
ini akan terus terjadi seiring disahkan UU P3H dan mandeknya Putusan MK 35.
Lalu di Maluku Utara seperti apa..??
Hutan adat
yang memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat dan
eksistem yang hidup di dalamnya, belum mendapat perhatian pemerintah daerah,
walaupun berada dalam ancaman kritis. Lihat saja ada 335 IUP ditandatagani
izinya oleh Pemda (Baca: Izin Tambang
ESDM), dengan total wilayah yang dikonversikan seluas 1.248.671 hektar. Jumlah
ini kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah adat. Pemberian IUP ini tidak
perna mengkuti prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat
adat, akhrnya mereka kehilangan akses atas tanah, wilayah dan SDA. Negara
mengkoptasi hak – hak mereka yang kemudian dikonversi untuk kegiatan lain. Akhirnya
kebijakan ini menjadi sumber konflik yang sangat tinggi di masa depan.
MK 35 yang kehadirannya
untuk memberikan kepastian hukum atas hak masyarakat adat di Maluku Utara justru
tidak dihiraukan. Pemerintah menunjukan ketidakrespekan mereka untuk mengakui
dan melindungi hak masyarakat adat, itu terlihat dari keperpihakan mereka lebih
besar kepada pemodal dibandingkan kepada masyarakat adat. Walaupun sebenarnya
sengketa itu terjadi di wilayah adat.
Daerah
harusnya merespon putusan MK ini tanpa harus menunggu Inpres, PP atau Kepres
yang turun dari pusat. Respon ini akan menunjukan bahwa mereka serius menyelesaikan
konflik tenurial yang saat ini sedang kita hadapi di Maluku Utara. Segera buat
Perda untuk melindungi hutan adat supaya bisa dimanfaatkan dengan leluasa oleh
masyarakat adat sendiri. Sekaligus juga menjaga kelestariannya, menghindarkan
dari kegiatan industri ekstraktif yang merusak.
Hutan adat kita adalah benteng pertahanan
terakhir disaat kawasan hutan lain sudah habis dijarah oleh para pemodal. Kita
tentu tidak ingin memelihara konflik di sector kehutanan yang merugikan
masyarakat adat dan tentu pihak – pihak lain juga. Konflik ini harus segera
disudahi dengan melaksakan putusan MK 35 (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar