Minggu, 13 Juli 2014

Putusan MK ”Hutan Adat” Mandek, Konflik Terus Terjadi



Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut

”Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” ini merupakan bunyi pasal 1 ayat 6 UU 41 tahun 1999 sebelum keluar putusan MK No 35/PUU-X/2012 yang berubah menjadi ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” 

Defenisi HUTAN ADAT dalam UU Kehutanan telah berubah sejak tanggal 16 Mei 2013 kemarin disaat Mahkamah Konstitusi menerima  gugatan Judicial Review AMAN berserta 2 komunitas masyarakat adat, namun ada beberapa pasal juga yang ditolak. Defenisi ini berubah sebab pasal sebelumnya dinyatakan inkonstitusional (Baca: Pasal 18B dan 28I, UUD 1945). 


Terhitung sudah satu tahun lebih sejak putusan MK ini keluar. Masyarakat adat yang saat itu memiliki eforia karena hak – haknya sudah dikembalikan oleh Makhamah Konstitusi menjemput dengan sukacita. Di berbagai daerah mereka berbondong – bondong masuk ke wilayah adatnya lalu menancap plang bertulis ”Ini Hutan Adat Kami, Berdasarkan Putusan MK No 35/2012,” Yang lain terus bersosialisasi, meminta dukungan publik, mendesak pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda). Upaya tersebut dilakukan tanpa henti, tanpa rasa capek dan takut sama sekali. Semua dilandasi pada semangat setelah sekian puluh tahun HUTAN ADAT dikuasai oleh Negara lewat UU Kehutanan.

Namun hari demi hari yang ditunggu supaya Pemerintah segera mengeluarkan INPRES, PP dan Perda sebagaimana perintah putusan MK tersebut tak perna muncul. Pemerintah malam membuat UU baru yang berlawanan dengan putusan MK. Di akhir tahun 2013, DPR RI mengesahkan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberasan Perusak Hutan (P3H). UU ini oleh kalangan CSO dianggap berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat/local yang memanfaatkan hasil hutan. Bahkan bertolak belakang dengan Putusan MK tentang Hutan Adat. Kekhawatiran CSO itu terbukti, banyak masyarakat adat di berbagai daerah yang ditangkap karena memanfaatkan hutan adat mereka.

Diberbagai daerah, tidak ada gerak langkah setiap kepala daerah untuk merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat, walaupun masyarakat adat beserta hak – haknya itu masih ada berdasarkan dengan identifikasi diri (self determination) oleh masyarakat adat sendiri. Sangat miris, perintah MK itu diabaikan begitu saja oleh mereka.

UU Berubah, Konflik Tidak Berubah

Jika dimaknai, Putusan MK tentang Hutan Adat sebenarnya merupakan solusi penyelesaian konflik tenurial selama ini. Konflik tenurial terjadi disebabkan saling klaim oleh masing – masing pihak yang merasa lebih berhak atas satu kawasan hutan, ibarat 1 lahan kebun, ada 3 orang pemiliknya, (Masyarakat Adat, Pemerintah dan Perusahan). Kelompok masyarakat adat menjadi pihak yang paling dirugikan. Hak – hak mereka dikuasai oleh negera lalu dikonversikan untuk kegiatan atau usaha yang menyebabkan masyarakat adat sendiri tidak bisa mengakses kembali haknya itu.
Paradigma UU Kehutanan yang sudah berubah, namun para elit di kehutanan masih tetap dengan paradigma lama yang menganggap hutan adat adalah hutan negara. MK 35 tidak dilakasanakn justru mengeluarkan Permenhut 62/2013 yang bertentangan dengan MK 35 dan MK 45. Pihak Kehutanan ini justru memelihara konflik bukan menyelesaikan konflik. Ini menjadi ancaman bagi masa depan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di hutan.
Implikasinya bisa dilihat dari data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),  tahun 2013, konflik agrarian mencapai 369 kasus. Konflik ini terjadi pada sector perkebunan, infrastruktur, pertambangan, kehutanan, pesisir/kelautan, dll. Sementara data AMAN di tahun 2013, terjadi 143 konflik di masyarakat adat yang berada di berbagai daerah di Nusantara. Konflik ini akan terus terjadi seiring disahkan UU P3H dan mandeknya Putusan MK 35.

Lalu di Maluku Utara seperti apa..??

Hutan adat yang memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat dan eksistem yang hidup di dalamnya, belum mendapat perhatian pemerintah daerah, walaupun berada dalam ancaman kritis. Lihat saja ada 335 IUP ditandatagani izinya  oleh Pemda (Baca: Izin Tambang ESDM), dengan total wilayah yang dikonversikan seluas 1.248.671 hektar. Jumlah ini kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah adat. Pemberian IUP ini tidak perna mengkuti prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat adat, akhrnya mereka kehilangan akses atas tanah, wilayah dan SDA. Negara mengkoptasi hak – hak mereka yang kemudian dikonversi untuk kegiatan lain. Akhirnya kebijakan ini menjadi sumber konflik yang sangat tinggi di masa depan. 

MK 35 yang kehadirannya untuk memberikan kepastian hukum atas hak masyarakat adat di Maluku Utara justru tidak dihiraukan. Pemerintah menunjukan ketidakrespekan mereka untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, itu terlihat dari keperpihakan mereka lebih besar kepada pemodal dibandingkan kepada masyarakat adat. Walaupun sebenarnya sengketa itu terjadi di wilayah adat.

Daerah harusnya merespon putusan MK ini tanpa harus menunggu Inpres, PP atau Kepres yang turun dari pusat. Respon ini akan menunjukan bahwa mereka serius menyelesaikan konflik tenurial yang saat ini sedang kita hadapi di Maluku Utara. Segera buat Perda untuk melindungi hutan adat supaya bisa dimanfaatkan dengan leluasa oleh masyarakat adat sendiri. Sekaligus juga menjaga kelestariannya, menghindarkan dari kegiatan industri ekstraktif yang merusak.
Hutan adat kita adalah benteng pertahanan terakhir disaat kawasan hutan lain sudah habis dijarah oleh para pemodal. Kita tentu tidak ingin memelihara konflik di sector kehutanan yang merugikan masyarakat adat dan tentu pihak – pihak lain juga. Konflik ini harus segera disudahi dengan melaksakan putusan MK 35 (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar