Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut
Surat ini
dibuat semata – mata untuk merespon pemberitaan di Malut Post Edisi Rabu -
Kamis, 02 - 03 Juli 2014. Pokok dari berita tersebut adalah ”Sengketa hak ulayat vs hak negara.”
Sengketa ini terjadi karena Wahab Samad, selaku Kepala Dinas Kehutanan
Halmahera dicurigai sudah menjual tanah kepada perusahan PT Weda Bay Nikel,
padahal menurut salah satu anggota masyarakat Arnold Rimba sebagaimana dikutip media
tersebut bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat mereka yang dikelola untuk
keberlanjutan hidup demi anak cucu mereka di kemudian hari. Tentu alasan kemarahan anggota masyarakat adat Sawai ini sangat dibenarkan.
Besoknya dalam pemberitaan di media yang sama, Kadishut mengklarifikasi bahwa
tanah dengan luas 1.400 hektar tersebut adalah tanah negara yang masuk dalam
areal perusahan tambang PT Weda Bay Nikel sehingga akan digunakan untuk
kegiatan pertambangan. Melihat maksud beliau saya berkesimpulan, lagi – lagi UU
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dipergunakan untuk menjadi basis hukum
membela kepentingan pemerintah dan perusahan lalu mengabaikan hak masyarakat
adat.
Saya
memahami persoalan ini yang terjadi pada masyarakat adat Sawai (Lelilef dan
Gemaf) yang harus bertempur terus mempertahankan hak mereka atas tanah, wilayah
dan sumberdaya alam yang selama ini dikebiri oleh negera lewat UU Minerba dan
UU Kehutanan lalu dikonversikan untuk kegiatan pertambangan demi cukong asing
dari Prancis yang namanya PT Wed Bay Nikel. Warga kehilangan akses kepada tanah
dan hutan, bahkan melaut pun sudah dibatasi berdasarkan dengan zonasi. Selain
itu tingkat kriminalisasi warga terus meningkat, kriminalisasi dilakukan aparat
negara kepada masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya kepada perusahan.
Semua itu terjadi karena anggapan bahwa yang kuasa segala hal-ikhwal diatas
tanah Suku Sawai adalah NEGARA dan PEMODAL. Logika pasal 33 kah yang dipakai?
Sebaiknya para pengambil kebijakan seperti Kehutanan ini menafsirkan baik –
baik pasal tersebut biar tidak bias sampai menimbulkan konflik SDA dimana –
mana, dan masyarakat yang dirugikan.
Kembali
kepada persoalan yang terjadi antara Masyarakat Adat Sawai vs Kadishut
Kehutanan. Seperti yang saya sampaikan diatas, dalil hukum ”Tanah Negara” itu pasti
memakai UU Kehutanan. Menurut saya, ini kecelakaan kebijakan yang harus
diperbaiki segera. UU ini sudah beberapa kali mengalami perkembangan, pertama
Putusan MK 45/PUU-IX/2012 yang digugat oleh 5 orang Bupati dari Kalimantan
Tengah terhadap pasal 1 ayat (3) tentang ”Kawasan Hutan” dan Putusan MK
35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat. Dua putusan MK ini sudah merubah paradigma
lama UU Kehutanan yang menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan
Sumberdaya Kehutanan adalah milik negara. Menurut MK itu sangat
inkonstitusional.
Kalau
membaca Putusan MK 35/PUU-X/2012 , yang memisahkan Hutan Adat dan Hutan Negara,
dalam pasal 1 ayat (6) berbunyi ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat,” berbeda bunyi pasal ini sebelum keluar Putusan MK.
Artinya Suku Sawai dalam pandangan hukum memiliki hak atas hutan dan tanah yang
harus dihormati oleh siapapun. Kewajiban negara (Dinas Kehutanan) adalah
menginventarisasi batas wilayah (hutan) adat Suku Sawai dan memberikan pengakuan
dan perlindungan atas hak tersebut, bukan malam sebaliknya mendiamkan putusan
ini.
Hal berikut
kalau memakai Putusan MK 45/PUU-IX/2012, yang dimaksud kawasan hutan itu jika
melalui proses, Penunjukan, Pemetaan, Penatabatasan, Penetapan (Pasal 15). Penunjukan
adalah tahap awal dari proses pengukuhan kawasan hutan. Proses yang berhubungan
dengan inipun harus melibatkan stake holder (termasuk masyarakat). Jika
berdasar pada SK No 302/Menhut – II/2013, kawasan hutan di Maluku Utara ini
baru tahap penunjukan, belum secara prosedural. Pertanyaan saya kepada yang
bersangkutan, apakah status hutan yang ditetapkan oleh pemerintah diatas tanah
adat Suku Sawai itu melalui proses seperti perintah Putusan MK ini dan apakah
masyarakat adat dilibatkan? Sepanjang yang saya tahu, tidak perna masyarakat
adat dilibatkan dalam proses – proses seperti ini. Disinilah konflik terjadi.
Secara
historis keberadaan Suku Sawai sudah ada jauh sebelum Negara dan PT Weda Bay
Nikel berada. Mereka sudah memanfaatkan dan mengelola tanah tersebut untuk
keberlanjutan hidup sampai saat ini. Jadi klaim seperti itu klaim yang
berdasarkan dengan pendekatan hirstoris juga, bukan asal – asalan. Berikut ini
yang lebih aneh, bapak lebih mengendepankan kepentingan perusahan dibandingkan
kepentingan masyarakat. Perusahan diberikan keleluasaan sampai hutan lindungpun
di eksploitasi sementara masyarakat adat dibatasi haknya. Padahal tanah dan
hutan ada sumber hidup dan menjadi identitas mereka, yang harus dilindungi.
Mereka juga berhak untuk hidup, memperoleh pekerjaan dari tanah dan hutan tersebut.
Kerancuan
kebijakan seperti inilah penyebab konflik saat ini. Menurut saya kesalahan ada
pada kebijakan yang dibuat instansi bapak. Masa batas kawasan itu berada
dipemukiman penduduk Lelilef..!! Lalu masyarakat mau akses tanahnya gimana
kalau semua akses mereka dibatasi. Siapa yang menjamin keberlanjutan hidup,
bapak atau perusahan? Semua tidak bisa menjamin. Perusahan hanya akan menggaruk
habis dan meninggalkan beban ekologi yang permanen.
Lewat surat
ini AMAN memintah kepada Bupati Halteng Ir. Al Yasin Ali untuk memberikan
tindakan tegas kepada bawahannya yang menggunakan kekuasaannya untuk
menyengsarakan masyarakat adat. Kepada Bupati dan Pemerintah Kab. Halteng kami
mendesak untuk mengakui dan melindungi hak – hak Suku Sawai dengan menjalankan
putusan MK 35. Mendahulukan kepentinhan masyarakat adat, bukan perusahan. Kami
AMAN mendukung sepenuhnya perjuangan Suku Sawai untuk memperoleh kembali
haknya. Kasus ini kami akan masukkan menjadi salah satu dari point penting
dalam Inkuiri National sehingga menjadi perhatian pemerintah pusat juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar