Rabu, 09 Juli 2014

Surat Untuk Kepala Dinas Kehutanan Halmahera Tengah


Oleh : Munadi Kilkoda 
Ketua AMAN Malut

Surat ini dibuat semata – mata untuk merespon pemberitaan di Malut Post Edisi Rabu - Kamis, 02 - 03 Juli 2014. Pokok dari berita tersebut adalah ”Sengketa hak ulayat vs hak negara.” Sengketa ini terjadi karena Wahab Samad, selaku Kepala Dinas Kehutanan Halmahera dicurigai sudah menjual tanah kepada perusahan PT Weda Bay Nikel, padahal menurut salah satu anggota masyarakat Arnold Rimba sebagaimana dikutip media tersebut bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat mereka yang dikelola untuk keberlanjutan hidup demi anak cucu mereka di kemudian hari. Tentu alasan kemarahan anggota masyarakat adat Sawai ini sangat dibenarkan. Besoknya dalam pemberitaan di media yang sama, Kadishut mengklarifikasi bahwa tanah dengan luas 1.400 hektar tersebut adalah tanah negara yang masuk dalam areal perusahan tambang PT Weda Bay Nikel sehingga akan digunakan untuk kegiatan pertambangan. Melihat maksud beliau saya berkesimpulan, lagi – lagi UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dipergunakan untuk menjadi basis hukum membela kepentingan pemerintah dan perusahan lalu mengabaikan hak masyarakat adat.

Saya memahami persoalan ini yang terjadi pada masyarakat adat Sawai (Lelilef dan Gemaf) yang harus bertempur terus mempertahankan hak mereka atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang selama ini dikebiri oleh negera lewat UU Minerba dan UU Kehutanan lalu dikonversikan untuk kegiatan pertambangan demi cukong asing dari Prancis yang namanya PT Wed Bay Nikel. Warga kehilangan akses kepada tanah dan hutan, bahkan melaut pun sudah dibatasi berdasarkan dengan zonasi. Selain itu tingkat kriminalisasi warga terus meningkat, kriminalisasi dilakukan aparat negara kepada masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya kepada perusahan. Semua itu terjadi karena anggapan bahwa yang kuasa segala hal-ikhwal diatas tanah Suku Sawai adalah NEGARA dan PEMODAL. Logika pasal 33 kah yang dipakai? Sebaiknya para pengambil kebijakan seperti Kehutanan ini menafsirkan baik – baik pasal tersebut biar tidak bias sampai menimbulkan konflik SDA dimana – mana, dan masyarakat yang dirugikan.

Kembali kepada persoalan yang terjadi antara Masyarakat Adat Sawai vs Kadishut Kehutanan. Seperti yang saya sampaikan diatas, dalil hukum ”Tanah Negara” itu pasti memakai UU Kehutanan. Menurut saya, ini kecelakaan kebijakan yang harus diperbaiki segera. UU ini sudah beberapa kali mengalami perkembangan, pertama Putusan MK 45/PUU-IX/2012 yang digugat oleh 5 orang Bupati dari Kalimantan Tengah terhadap pasal 1 ayat (3) tentang ”Kawasan Hutan” dan Putusan MK 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat. Dua putusan MK ini sudah merubah paradigma lama UU Kehutanan yang menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan Sumberdaya Kehutanan adalah milik negara. Menurut MK itu sangat inkonstitusional. 

Kalau membaca Putusan MK 35/PUU-X/2012 , yang memisahkan Hutan Adat dan Hutan Negara, dalam pasal 1 ayat (6) berbunyi ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat,” berbeda bunyi pasal ini sebelum keluar Putusan MK. Artinya Suku Sawai dalam pandangan hukum memiliki hak atas hutan dan tanah yang harus dihormati oleh siapapun. Kewajiban negara (Dinas Kehutanan) adalah menginventarisasi batas wilayah (hutan) adat Suku Sawai dan memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak tersebut, bukan malam sebaliknya mendiamkan putusan ini.

Hal berikut kalau memakai Putusan MK 45/PUU-IX/2012, yang dimaksud kawasan hutan itu jika melalui proses, Penunjukan, Pemetaan, Penatabatasan, Penetapan (Pasal 15). Penunjukan adalah tahap awal dari proses pengukuhan kawasan hutan. Proses yang berhubungan dengan inipun harus melibatkan stake holder (termasuk masyarakat). Jika berdasar pada SK No 302/Menhut – II/2013, kawasan hutan di Maluku Utara ini baru tahap penunjukan, belum secara prosedural. Pertanyaan saya kepada yang bersangkutan, apakah status hutan yang ditetapkan oleh pemerintah diatas tanah adat Suku Sawai itu melalui proses seperti perintah Putusan MK ini dan apakah masyarakat adat dilibatkan? Sepanjang yang saya tahu, tidak perna masyarakat adat dilibatkan dalam proses – proses seperti ini. Disinilah konflik terjadi.

Secara historis keberadaan Suku Sawai sudah ada jauh sebelum Negara dan PT Weda Bay Nikel berada. Mereka sudah memanfaatkan dan mengelola tanah tersebut untuk keberlanjutan hidup sampai saat ini. Jadi klaim seperti itu klaim yang berdasarkan dengan pendekatan hirstoris juga, bukan asal – asalan. Berikut ini yang lebih aneh, bapak lebih mengendepankan kepentingan perusahan dibandingkan kepentingan masyarakat. Perusahan diberikan keleluasaan sampai hutan lindungpun di eksploitasi sementara masyarakat adat dibatasi haknya. Padahal tanah dan hutan ada sumber hidup dan menjadi identitas mereka, yang harus dilindungi. Mereka juga berhak untuk hidup, memperoleh pekerjaan dari tanah dan hutan tersebut. 

Kerancuan kebijakan seperti inilah penyebab konflik saat ini. Menurut saya kesalahan ada pada kebijakan yang dibuat instansi bapak. Masa batas kawasan itu berada dipemukiman penduduk Lelilef..!! Lalu masyarakat mau akses tanahnya gimana kalau semua akses mereka dibatasi. Siapa yang menjamin keberlanjutan hidup, bapak atau perusahan? Semua tidak bisa menjamin. Perusahan hanya akan menggaruk habis dan meninggalkan beban ekologi yang permanen.

Lewat surat ini AMAN memintah kepada Bupati Halteng Ir. Al Yasin Ali untuk memberikan tindakan tegas kepada bawahannya yang menggunakan kekuasaannya untuk menyengsarakan masyarakat adat. Kepada Bupati dan Pemerintah Kab. Halteng kami mendesak untuk mengakui dan melindungi hak – hak Suku Sawai dengan menjalankan putusan MK 35. Mendahulukan kepentinhan masyarakat adat, bukan perusahan. Kami AMAN mendukung sepenuhnya perjuangan Suku Sawai untuk memperoleh kembali haknya. Kasus ini kami akan masukkan menjadi salah satu dari point penting dalam Inkuiri National sehingga menjadi perhatian pemerintah pusat juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar