Kamis, 27 Februari 2014

EKSPEDISI SUKU TOBELO DALAM DODAGA

“ PEMETAAN WILAYAH ADAT DAN MEMAHAMI LEBIH DEKAT HUBUNGAN SUKU TOBELO DALAM DODAGA DENGAN HUTAN SERTA BERBAGAI PERMASALAHAN MEREKA ”


Tim Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga
Matahari mulai menunjukan dirinya ketika team ekspedisi suku Tobelo Dalam Dodaga tiba di dusun Tukur-tukur Desa Dodaga, sekitar jam 09 pagi, Senin 24 Januari. Tukur-tukur merupakan anak dusun dari desa Dodaga yang mayoritas penduduknya merupakan suku Tobelo Dalam Dodaga atau dalam bahasa setempat Ohongana Manyawa. Kurang lebih 20-an kepala keluarga mendiami dusun ini lebih dari 14 tahun lalu ketika adanya program resetlment dari Dinas Sosial waktu itu. Suku Tobelo Dalam Dodaga sudah mendiami wilayah dataran wasilei sampai kearah perbatasan Buli sejak ratusan tahun lalu.
Ekspedisi Tobelo Dalam, begitulah kami menamakannya. Sebenarnya ekspedisi ini merupakan kelanjutan proses pemetaan partisipatif wilayah adat Dodaga. Inisiatif untuk dilakukannya pemetaan datang sendiri dari masyarakat Dodaga, menyadari adanya ancaman dari luar terhadap hutan dan wilayah adat mereka.
Setelah seluruh anggota tim, Abah Kasiang, Abah Lihang, Abah Uhe, Abah Madiki, Bung Jems, si bule Cai dan saya menyiapkan berbagai peralatan sederhana dan breffing singkat, kami pun berangkat.               DAN EKSPEDISI PUN DIMULAI

Menyusuri kebun warga dan aliran sungai-sungai kecil hampir dua jam,  kami pun tiba di pintu masuk ke wilayah hutan tobelo dalam. Kicauan burung Rangkok dan Kakatua, seakan mau mengucapkan selamat datang kepada kami dengan barisan pohon  besar berbaris lurus menjadi pagar dalam perjalanan kami hari ini. Tujuan kami hari ini adalah Magelenga, yang merupakan batas wilayah adat Dodaga dengan Lolobata. Jalan yang licin, berbukit dengan sisi kiri kanannya adalah jurang, membuat kami harus tetap ekstra hati-hati. Tiba di Magelenga, kami pun mengambil titik koordinat dengan GPS sambil tetap menyalakan track jalur kami hari ini. Setelah itu, kami harus berhenti sebentar untuk makan siang guna menambah stamina kembali.
Sagu, Ikan Ngafi (teri Halus) dan kopi panas menjadi sajian pengobat rasa lapar.  Setelah makan siang kami kemudian melanjutkan perjalanan hingga terdengar suara serangga yang merupakan penanda bahwa sore hampir selesai dan malam akan datang. Dengan berbekal terpal, tenda pun didirikan seadanya menggunakan bahan-bahan dari hutan yang tersedia. Makan malam pun segera disiapkan. Setelah acara bangun membangun selesai dan makan memakan berakhir, pentas seni tradisional menjadi acara penutup hari ini. Abah Kasiang pun menjadi actor di pentas seni ini. Basalumbe dan Bakabata menjadi nyanyian malam dengan iringan musik suara binatang malam yang ikut berdendang bersama kami. Pentas seni tanpa lampu dengan suasana gelap ditemani cahaya bulan yang menembus celah-celah pohon besar dan sisa api di tungku yang hampir padam. Menurut Abah kasiang, nyanyian ini sudah tak lagi dinyanyikan ketika mulai adanya teknologi tape dan VCD. Anak muda pun tak lagi menguasai nyanyian ini.  

Track sungai dan kebun warga
Hari berikut, tujuan kami adalah Luriiha, yang adalah batas antara Dodaga dan Akelamo. Perjalanan hari ini menyusuri sungai Lolaiha. Batu-batu besar yang licin merupakan track kami di hari yang kedua ini. Sekitar jam 2 siang kami pun tiba di Luriiha. Pemandangan menarik sepanjang perjalanan kami adalah  terpampangnya papan nama bertuliskan Taman Nasional atau Taman Nasional Lolobata. Ini pertanda bahwa kami berada didalam kawasan taman Nasional.

Saat makan siang, kami coba berdiskusi kecil tentang taman nasional Lolobata. Menurut Abah Madiki, yang adalah kepala suku Dodaga, Taman Nasional Lolobata masuk diwilayah ini tanpa Basiloloa (meminta izin/permisi) di masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga. Pemerintah seenaknya saja menetapkan hutan kami menjadi taman nasional padahal disitu ada kebun, tempat berburu, tempat sejarah dan hutan adat. Kami pun dibatasi untuk masuk ke hutan dan mulai dilarang untuk berburu serta memasang jerat.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, sampai terdengar lagi suara serangga malam, menandakan tenda harus cepat-cepat didirikan. Makan malam menanti kembali. Setelah itu kami mulai berdiskusi  tentang kegelisahan mereka akan wilayah dan hutan. Masalah yang sementara mereka hadapi adalah gempuran transmigrasi dan  himpitan taman nasional Lolobata. Ini merupakan ancaman bagi wilayah adat mereka. Bagi mereka hutan memiliki hubungan emosional tersendiri dengan suku Tobelo Dalam. Hutan menjadi tempat berburu, tempat tumbuh tanaman obat, mencari hasil hutan dan juga sebagai tempat lahir serta rumah mereka. Hutan juga merupakan tempat berdiamnya para leluhur masyarakat Tobelo dalam.

Masyarakat Tobelo dalam memiliki cara tersendiri memperlakukan alam mereka khususnya hutan. Ketika hasil buruan mereka melimpah, mereka melakukan upacara Gumatere sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan leluhur yang telah menyediakan makanan bagi mereka. Di tempat-tempat tertentu dalam hutan, masyarakat dilarang masuk karena merupakan daerah keramat yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Gunung menjadi penanda batas wilayah antar sesama kelompok orang Tobelo Dalam. Bila mereka berburu dan binatang buruan mereka masuk dalam wilayah kelompok lain, maka mereka tak mengejarnya lagi karena itu telah menjadi bagian kelompok lain. Hal itu masih dipatuhi sampai sekarang. Disepanjang aliran sungai tumbuh berbagai jenis tanaman obat yang biasa dipergunakan oleh masyarakat.

Sebelumnya tak pernah terdengar raungan mesin chainsaw didalam hutan sampai masuknya transmigrasi yang juga berperan dalam penghancuran hutan adat kami, tutur Abah Uhe. Di Gunung, di dalam hutan dan sungai ada sejarah asal muasal orang Tobelo Dalam Dodaga, cerita tentang para tetua kami dan juga ada makanan dan obat-obatan. Bila gunung dan hutan hancur maka sejarah kami pun hilang, cerita para tetua pun tak terdengar lagi dan kami akan kelaparan karena hewan buruan tidak dapat kami jumpai juga leluhur pasti akan marah, ujar Abah Lihang. Memang miris sekali mendengarkan hal ini. Para tetua inipun berkomitmen untuk tetap menjaga wilayah adat mereka. karena yang kami lakukan bukan untuk saat ini saja tapi untuk generasi kami turun temurun, untuk anak cucu kami penerus suku Tobelo Dalam Dodaga, ungkap Abah Kasiang.

Memang benar yang diungkapkan para tetua ini. Masuknya transmigrasi berpengaruh terhdap perubahan pranata budaya dan juga dalam pengrusakan hutan adat masyarakat Tobelo Dalam Dodaga. Sama halnya juga dengan penetapan kawasan taman nasional yang membatasi akses masyarakat dalam mengelola hutan.
Perjalanan hari ke 3 dan ke 4, dengan menyusuri sungai sambil sesekali keluar celoteh kejengkelan para tetua tentang adanya taman nasional.

Di sore terakhir kami dalam hutan, para tetua ini dengan kompak memperagakan tarian Cakalele yang merupakan tarian perang dan tarian Tide-tide dengan iringan music dari handphone sambil bercanda gurau dan pastinya masih tetap semangat.

Perjalanan 4 hari ke dalam hutan adat Dodaga, menyisakan berbagai cerita tentang bagaimana masyarakat Tobelo Dalam Dodaga memperlakukan hutan serta hubungan emosional mereka dengan gunung, hutan dan sungai.
Karena disana ada cerita dan disana ada sejarah…………….

(juniorabe.blogspot.com//Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga)
Abe Ngingi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar