Catatan
Perjalan ke Kobe:
Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua
BPH AMAN Maluku Utara (Malut)
Desa Kobe tidak
diakui sebagai wilayah adat sehingga suku Sawai sulit mengakses hutan.
![]() |
Pertemuan antara AMAN dengan warga Kobe (Foto : AMAN Malut) |
Sore menjelang
malam, saat itu tanggal 9 Februari 2014, saya melanjutkan perjalanan ke Desa
Kobe salah satu desa yang ditempati oleh Suku Sawai, setelah beberapa hari
berada di komunitas Pnu Messem. Perjalanan kali adalah dalam rangka
melaksanakan tugas pelayanan organisasi pada anggota AMAN, sekaligus
mensosialisasi Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35 tentang
hutan adat.
Kobe adalah salah
satu desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Aketajawe.
Jarak tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari Ibukota Kabupaten Halmahera
Tengah yang berkedudukan di Weda. Topografi wilayahnya didominasi pegunungan
dan dikelilingi hutan yang masih prima. Desa ini berada di ketinggian 200 meter
di atas permukaan air laut. Letaknya berkisar 4 kilometer
dari bibir pantai. Perkampungan mereka belum dijangkau oleh PLN, sehingga
setiap rumah hanya mengandalkan lampu loga – loga untuk kebutuhan
penerangan pada malam hari.
Hampir 99 persen
masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang bergantung pada hutan. Mereka
membuka lahan untuk menanam kelapa, pala, sagu. Ada hutan sagu (sagu aha)
yang merupakan milik komunal. Sagu tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan
sehari – hari. Memang makanan pokok mereka adalah sagu dan
ubi.
Dalam pertemuan
yang difasilitasi oleh Dewan Adat itu, terungkap satu demi satu masalah yang
selama ini dihadapi oleh mereka, salah satunya adalah penetapan Taman Nasional
yang tumpang tindih dengan hutan adat mereka. Berdasarkan SK Nomor : 397/Menhut
– II/2004, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan Taman Nasional Aketajawe dengan
luas ± 77.100. Kawasan yang dikuasai Taman Nasional itu merupakan wilayah
adat mereka bersama beberapa suku di sekitarnya.
Menurut keterangan
warga, penetapan batas taman nasional
ini tidak melalui musyawarah dengan mereka lebih dulu. Mereka hanya mendapat
sosialisasi ketika batasnya sudah selesai ditetapkan oleh pemerintah. Yang
membuat warga tidak terima, karena batas Taman Nasional tersebut berada dalam
areal perkebunan, bahkan sekitar 3 kilometer dari pemukiman penduduk.
Mereka mengeluh
karena sekian lama wilayah adatnya tidak diakui oleh pemerintah. Hutan adat
yang sudah dikelola secara turun – temurun sejak dari leluhur
mereka itu justru dianggap sebagai hutan negara. “Hutan
ini bukan berian negara tapi kenapa dicaplok oleh taman nasional.
Pemerintah harus tahu bahwa kami ini sudah hidup ratusan tahun tahun lalu
bukan baru sekarang,”ungkap Hery Bane dengan nada kesal.
![]() |
Antusiasme warga Kobe dalam pertemuan dengan AMAN (Foto : AMAN Malut) |
Salah satu masalah
yang terjadi juga dengan keberadaan Yayasan Sawai Ecotourism Foundation milik
Mr. Rob, warga berdarah Belanda namun sudah berkebangsaan Indonesia. Yayasan
tersebut menguasai tanah seluas ± 200 hektar di
dalam wilayah adat. Tanah tersebut diperoleh dari masyarakat melalui transaksi
jual beli. Namun memberikan dampak, karena masyarakat kemudian tidak bisa
berbuat apa-apa di dalam kawasan yang sudah mereka jual. Sebatang pohon saja di
tebang, pasti dipenjarakan oleh pemiliknya.
Hutan adat Kobe memiliki memiliki
keanekaragaman hayati yang langkah (endemic) seperti burung bidadari
Halmahera. Ekosistem seperti terumbu karang juga masih sangat bagus, namun
sudah dikomersilkan dan hasilnya tidak bisa dinikmati oleh masyarakat
adat. Kontribusinya hanya kepada pemerintah bukan kepada masyarakat.
Kepala Desa Kobe dalam pertemuan
tersebut berharap bisa dilakukan pemetaan wilayah adat agar hak mereka bisa
terlindungi. Beliau berharap pemerintah kabupaten Halmahera Tengah segera
melaksakan keputusan MK-35 yang mengakui hutan adat mereka.
Putusan MK – 35 tentang hutan adat
menjadi urgen untuk diimplementasikan segera oleh pemerintah, jika tidak sama
saja pemerintah ikut berkontribusi besar memiskinkan masyarakat adat Kobe
dengan membatasi akses mereka terhadap hak dalam kawasan hutan. Masyarakat juga
sewaktu – waktu bisa dikriminalisasikan kalau memanfaatkan hasil hutan
dalam wilayah adatnya yang sudah berubah status. Apa yang diungkapkan oleh
masyarakat adat Kobe adalah potret nyata penguasaan hutan oleh pihak lain yang
justru memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan hidup mereka
setiap saat. Karena itu tidak boleh dibiarkan
model penguasaan hutan seperti ini terus berlanjut. Segera akui dan lindungi
hak mereka agar Indonesia menjadi lebih baik .****Munadi Kilkoda
Penulis
: Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar