Selasa, 11 Februari 2014

Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat di Hutan Halmahera

Catatan Lapangan ke Walaino, Suku Tobelo Dalam)

OLEH: UBAIDI ABDUL HALIM
Kepala Biro OKK AMAN Malut

 Salah satu persoalan yang menjadi perhatian publik, ada pada pengelolaan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan aspek penting seperti hak masyarakat dan lingkungan, menjadi penyebab utama persoalan. Semangat Pasal 33 UUD 1945 belum terwujudkan secara nyata. Hak – hak masyarakat adat di rampas begitu saja, kerusakan lingkungan dimana – mana, krisis identitas membuat masyarakat menjadi manusia yang individualistik, kemiskinan melanda karena sektor produktif lainnya tidak bisa lagi di kelola masyarakat. Bahkan kriminalisasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan yang kita harapkan bisa memberikan harapan hidup bagi masyarakat adat, justru terbalik menjadi malapetaka. Itulah gambaran Maluku Utara dalam satu kesempatan diskusi sebelum saya melanjutkan perjalanan ke pemukiman masyarakat adat yang saat ini diperadapkan dengan arus kapitalisme global.

Malam itu 12 Desember 2013, sekitar pukul 22.00 Wit, saya menempuh perjalanan dengan kapal laut KM. Nur Abadi. Perjalanan dengan rute Tobelo – Patlean ditempuh sekitar 6 jam. Sedikit bergelombang menyambut kami yang berlayar di laut Halmahera, ditemani juga musik dangdut “Kereta Malam”. Suasana di dalam kapal sangat ramai dengan penumpang. Kapal dengan tujuan beberapa kampung di Halmahera Timur itu mengangkut penumpang dengan berbagai tujuan. Saya memilih istirahat lebih cepat, agar bisa menyiapkan energi sebelum masuk ke perkampungan suku Tobelo Dalam di Walaino. Menjelang pagi kami tiba di Desa Patlean, pelabuhan dimana saya harus turun dan berpisah dengan penumpang yang akan melanjutkan perjalanan berikut.


Perkampungan itu adalah Walaino, dusun kecil dari Desa Pumlanga. Jarak dari Patlean ke dusun ini sekitar 20 kilometer lebih. Alat transportasi yang tersedia hanya motor laut dan jasa angkutan motor  dan ojek. Sekali perjalanan biaya  sekitar Rp. 200.000. Jalannya belum beraspal,  dengan kerikil tajam yang membahayakan setiap pengendara motor. Warga di sini sudah sangat akrab dengan kondisi jalan tersebut. Dalam pandangan saya belum terlihat niat baik pemerintah memperbaiki jalan tersebut. Mereka hanya berkepentingan menggaruk sumber daya alam di sekitar wilayah ini, baik tambang dan kayu.

Dusun Walaino tempat tinggal Suku Tobelo Dalam berada di tengah hutan Halmahera. Dusun ini adalah salah satu dari 19 titik penyebaran Suku Tobelo Dalam (O hongana manyawa) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan (Data Survey Burung Indonesia). Dalam berbagai catatan dan tulisan, suku ini sedang berhadapan dengan ganasnya kebijakan pembangunan pada sektor tambang, Taman Nasional, HPH dan transmigrasi yang mengancam identitas mereka. Di beberapa tempat yang berada di Wasile, suku ini terusir dari tanah adatnya. Tanah dan hutan mereka di konversikan oleh pemerintah untuk kegiatan – kegiatan di atas.

Mereka yang hidup menetap di dusun Walaino sebanyak 66 kepala keluarga (KK) dan sekitar 300-an jiwa. Dalam sejarah asal – usul dan turunan, awalnya mereka terdiri dari 7 bersaudara sekandung yakni Hidotu Kaibi, Mukurino Kaibi, Mely Kaibi, Buayang Kaibi, Dunia Kaibi, Puko Henggo Kaibi dan Duguyang Kaibi yang kemudian melahirkan anak – cucu sampai berjumlah seperti saat ini. Kelompok ini dipimpin seorang kepala suku yang bernama Duguyang Kaibi. Hampir sebagian besar dari mereka belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. Komunikasi sehari – hari dengan bahasa Tobelo.

Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam. Alam menjamin keberlanjutan hidup mereka dari turun – temurun sampai saat ini. Sejak  adanya program transmigrasi Patlean di atas wilayah adat, terjadi penyempitan lahan perkebunan. Mereka tidak bebas membuka lahan kebun. Hewan – hewan yang diburu seperti rusa dan babi juga sudah sulit didapat. Selain itu juga banyak orang yang masuk ke hutan adat mereka melakukan pembalakan liar yang dikomersilkan.

Duguyang melanjutkan cerita bahwa pemerintah melalui Kemensos (2013) melaksanakan program resetlemen dengan membangun rumah beratap seng, berdinding kayu. Sayangnya sejak awal dibangun sudah diprotes warga adat, karena tidak sesuai konsep rumah mereka yang harusnya rumah  panggung sehingga di kolong  rumah bisa dijadikan kandang hewan piaraan, seperti anjing dan  sirkulasi udara juga bisa berjalan lancar. Tentu yang dibikin pemerintah ini sangat beda. Kalau di tempati siang atau malam begitu panas, karena itu bagi mereka yang sudah menempati rumah ini, pada malam hari memilih tidur di kebun. Sebagian dari mereka memilih tidak menempati rumah tersebut dan memilih tinggal di rumah yang mereka bangun sendiri.

Pada satu kesempatan pertemuan warga adat Walaino dengan pemerintah pada 16 Desember lalu, saya saksikan sendiri penolakan warga atas rencana pemerintah membangun bendungan transmigrasi. Warga menolak karena bendungan itu akan menggusur kebun kelapa, pala dan tanaman lain bahkan menyebabkan krisis air dikemudian hari.

Dalam pertemuan itu, petugas pemerintah dikawal beberapa anggota polisi. Rupanya ada intimidasi dilakukan pemerintah dalam bernegosiasi. Selesai pertemuan petugas  kemudian memberikan setiap orang uang dengan nilai Rp50.000. Entah apa maksud dari pemberian uang tersebut.  Pembangunan apa pun bentuknya, jika masuk dalam wilayah komunitas masyarakat adat, harus berdasarkan dengan mekanisme FPIC. Mekanisme ini melarang salah satu pihak melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, termasuk juga kehadiran polisi dalam pertemuan dengan warga Tobelo Dalam di Walaino. Dan keputusan apapun yang diputuskan oleh masyarakat adat Walaino, harus dihormati oleh pemerintah, bukan dengan cara menyogok dan di intimidasi.

Uang dan Produk Modernisasi di Walaino

Sejak kapan komunitas Tobelo Dalam di Walaino ini mengenal uang sebagai alat transaksi belum diketahui pasti. Namun fakta kekinian menunjukan ada perubahan paradigma dalam kehidupan mereka. Uang menjadi alat transaksi setiap saat, baik untuk kebutuhan sehari – hari maupun pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang mereka lakukan harus dibayar tenaganya dengan uang. Mereka bahkan menawarkan jasa angkutan bagi setiap orang yang melintasi sungai Akelamo. Rp 10.000 harga untuk setiap orang. Pekerjaan ini dilakukan oleh kelompok perempuan. Masyarakat adat Tobelo Dalam di Walaino, harus berhadapan dengan gelombang modernisasi yang begitu kencang masuk dalam ranah kehidupan. Derasnya informasi dan teknologi, ikut membentuk perilaku mereka. Produk makanan siap saji, misalnya beras,  mie instan ,  air mineral, buskuit dan obat – obatan (pil). Kendaraan bermotor, tv dan pakaian sudah menjadi alat yang dipergunakan setiap saat. O Doro, salah satu dari warga adat Walaino, walaupun tinggal di rumah yang sangat sederhana (bevak), tapi menjadi pedagang barang – barang tersebut. Sering juga yang bersangkutan membersihkan gigi dengan menelan pepsodent. Dalam satu acara nonton bareng film Wiro Sableng di rumah salah satu warga pada malam hari, raut wajah mereka begitu berbeda melihat adegan demi adegan yang ditampilkan aktor utama dalam cerita film tersebut. Besoknya anak – anak bermain dengan meniru gaya Wiro Sableng. Film itu memberikan pesan yang gampang sekali bisa merubah perilaku mereka.

Hemat penulis, ada pergeseran perilaku yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Produk – produk modernisasi tadi berkontribusi besar membentuk semua itu. Bahayanya bisa menciptakan ketergantungan mereka terhadap produk tersebut. Salah satunya soal makanan dan obat – obatan. Dua hal ini sebenarnya tersedia di wilayah adat mereka. Mereka tidak perlu bergantung pada produk dari luar. Menurut keterangan dari mereka, produk seperti ini dikenal ketika perusahan masuk berinvestasi di wilayah mereka, termasuk masuknya trasmigran dan proses interaksi dengan penduduk di luar mereka.

Ketahanan diri dengan budaya yang mereka miliki harus bangun. Kapasitas pengetahuannya mereka harus diperkuat agar bisa membedakan mana yang membahayakan dari aspek kebudayaan mereka dan mana yang bisa diterima. Pandangan mereka tentang alam yang sebagai kearifan lokal (local wisdom) harus terus terpelihara karena itu kunci dari kemampuan mereka bisa bertahan hidup. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar