Tampilkan postingan dengan label Suku sawai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suku sawai. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Maret 2014

Suku Sawai

Meraut loleba untuk membuat Sasiru (Foto : AN)
Suku Sawai, adalah salah satu suku yang berada di kabupaten Halmahera Tengah provinsi Maluku Utara, di kecamatan Weda Utara, yang bermukim di desa Lelilef Woi Bulan, desa Sagea, desa Gemaf, desa Lelilef Sawai, desa Kobe, desa Sidanga, desa Weda, desa Fritu, desa Wale, desa Messa dan desa Dote. Populasi suku Sawai diperkirakan tidak lebih dari 10.000 orang.

Rumah suku Sawai biasanya terbuat dari papan kayu dan beratap anyaman daun sagu. Pemukiman suku Sawai sangat sederhana, berada agak terpencil, dan sepertinya tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Bahkan wilayah tanah adat suku Sawai terancam oleh perusahaan besar yang bergerak di pertambangan nikel, yang sudah mematok tanah ribuan hektare di desa Lelilef Woi Bulan, Sagea dan desa Gemaf. Gergaji pohon (Chainshaw) membabat pohon-pohon yang telah ditanam oleh masyarakat suku Sawai selama bertahun-tahun, seperti kelapa, pala, dan cengkeh, hingga pisang, ubi kayu, dan ubi jalar. Buldozer dan truk-truk mengeruk dan mengangkut tanah berwarna merah yang mengandung nikel.

Bagi Masyarakat suku Sawai, ancaman limbah dari perusahaan besar ini juga menimpa lokasi wisata Telaga Lagaelol di Desa Sagea. Telaga berair payau itu menyimpan ikan bandeng, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya yang bisa menjadi sumber rezeki masyarakat jika sedang datang musim gelombang pasang, biasanya selama tiga bulan.

Kehadiran perusahaan besar ini sangat mengancam kehidupan suku Sawai. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah atau pusat. Apabila hal ini dibiarkan maka suku Sawai akan kehilangan tempat permukiman, bahkan kehilangan sumber mata pencarian hasil hutan dan hasil laut.

Tidak diketahui apakah dalam masyarakat suku Sawai masih memiliki bahasa asli mereka, karena saat ini suku Sawai berkomunikasi dalam bahasa Melayu Maluku Utara, yang mana.bahasa Melayu Maluku Utara ini menjadi bahasa pengantar hampir di seluruh wilayah provinsi Maluku Utara. Menurut mereka, dahulunya mereka memiliki bahasa asli yang mereka sebut sebagai bahasa Sawai, kemungkinan hanya tinggal orang-orang tua yang telah lanjut usia yang masih menguasai bahasa Sawai. Sedangkan bahasa Melayu Maluku Utara, diperkirakan dibawa oleh orang-orang dari Kesultanan Ternate, yang pada masa lalu sempat menguasai wilayah mereka ini.

Sagu, makanan pokok masyarakat Sawai (Foto : AN)
Suku Sawai termasuk langka di dunia, dan memiliki kearifan lokal fagogoru sebagai perwujudan dari kasih sayang, silaturahmi, serta budaya malu dan bermoral. Untuk itu, mereka akan sekuat tenaga berusaha tidak melakukan kekerasan dalam memprotes kehadiran tambang nikel, kecuali jika sudah tak ada lagi jalan lain.

Masyarakat suku Sawai sebagian besar memeluk agama Kristen, dan ada juga yang memeluk agama Islam. Walaupun dahulu mereka adalah pemeluk agama tradisional seperti animisme dan dinamisme, tetapi sejak kedatangan misionaris dari belanda, yang memperkenalkan agama Kristen ke dalam kehidupan masyarakat suku Sawai yang pada dasarnya pengamal animisme dan dinamisme, menerima kehadiran agama Kristen dengan baik dalam kalangan mereka, sebagian kecil dari mereka masih mempertahankan agama tradisional mereka. Sedangkan agama Islam disebarkan oleh orang-orang dari Kesultanan Ternate.

Masyarakat suku Sawai sangat ramah terhadap siapapun mereka juga menerima dengan terbuka setiap orang yang singgah dan berhenti di perkampungan mereka.

Hampir seluruh masyarakat suku Sawai hidup sebagai petani. Pohon kelapa dan pala menjadi andalan penghidupan mereka. Selain itu mereka juga pergi melaut untuk mencari ikan di perairan desa Lelilef Woi Bulan dan desa Kobe. 

sumber: 
sinar harapan
shnews.co
wikipedia
(sumber : http://den-mpuh.blogspot.com/2013/06/suku-sawai.html)

Rabu, 13 November 2013

PT. Tekindo Mengancam Masa Depan Masyarakat Adat Sawai



Beberapa desa yang merupakan suku Sawai di Halmahera Tengah, antara lain Desa Kobe Pante, Desa Kulo, Lelilef, Lukulamo, dan warga transmigrasi di Woejerana SP2 sejak tahun 2010 sampai sekarang berhadapan dengan masalah yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan nikel PT Tekindo Energi, yang beroperasi  dari tahun 2009 di Desa Kobe dan Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah.
limbah masuk dalam tambak ikan



Perusahan tersebut telah mencemari air sungai Saloi dengan limbahnya padahal sungai tersebut dipergunakan oleh warga di Lukulamo dan Woejerana untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan tanaman mereka. Sehingga sampai sekarang masyarakat kesulitan air bersih. Alternatifnya menunggu bantuan air bersih dari perusahan, membeli air gelong atau menunggu air hujan. Bantuan air dari perusahan itu pun diambil Woe Snah yang sudah dieksploitasi oleh PT TAKA sub kontraktor PT WBN. Dalam keadaan terpaksa ketika persediaan air berkurang masyarakat harus mengkonsumsi air sungai yang di duga sudah tercemar. Sekitar 90 orang yang ada di dua desa, Woejerana dan Lukulamo yang menderita penyakit gatal – gatal. 
Limbah perusahan juga mengalir ke sawah, perkebunan kelapa dan tambak – tambak ikan. Produktifitas kelapa menurun, jika di tahun sebelum masuknya PT Tekindo mereka biasa memproduksi kelapa sampai 1 ton, sekarang paling 500 kg. Padi dan ikan ribuan ekor, mati semua karena limbah perusahan tersebut mengalir bersamaan banjir dan masuk ke kebun dan tambak-tambak milik warga. 

Masyarakat adat juga kesulitan untuk mengakses hutan adat mereka. Dinas kehutanan melarang masyarakat untuk membuka lahan baru di areal wilayah adat yang sudah dikuasai PT Tekindo dan PT WBN. Bahkan kebun dan tanah sekitar 2.000 hektar yang sudah dieksploitasi tidak diganti rugi. Hutan adat menjadi rusak karena digunduli, sehingga hewan buruan menjadi berkurang, laut ikut juga termar karena limbah perusahan yang mengalir sampai ke Teluk Weda. Hasil tangkapan nelayan di Kobe dan Lukulamo menurun drastis, bahkan mencari ikan untuk makan pun sudah sangat sulit. Masyarakat adat yang berjuang hak – hak mereka sering mendapat perlakuan yang tidak wajar, mereka dihadang oleh Polisi dan Brimob. Proses intimidasi ini berjalan terus – menerus.

Aktifitas PT.Tekindo Energi di lahan suku sawai
AMAN Maluku Utara melalui Biro Advokasi, Hukum dan Politik, Masri Anwar mengatakan perusahan ini melakukan kejahatan kemanusiaan, dia membunuh masyarakat dengan menghilangkan sumber – sumber penghidupan masyarakat. Ini pelanggaran terhadap UU HAM dan UU Lingkungan Hidup. AMDALnya tidak disosialisasikan secara luas di masyarakat. Menyewa Polisi untuk masuk ke wilayah adat. Tidak ada proses Free Prior Informed Consente (FPIC) yang dia pergunakan, apalagi menghargai hak – hak masyarakat adat Sawai atas tanah, wilayah dan SDA yang dilindungi dalam UU sama sekali tidak ada.
Lanjut dia, pemerintah daerah harusnya bertindak cepat. Perusahan ini jika dibiarkan terus – tenerus beroperasi maka nasib suku Sawai di beberapa kampung itu semakin sulit. Karena itu kami mendesak pemerintah segera mencabut izin perusahan tersebut karena sudah jelas – jelas melanggar UU. Kami telah menyiapkan kasus ini untuk dilaporkan Komnas HAM.