Selasa, 12 November 2013

Tekindo Lagi…..TEKINDO LAGI

Oleh : Munadi Kilkoda
Ketua BPH AMAN Malut

Perusahan ini sekian lama membuat Suku Sawai yang berada di Desa Kobe Kulo dan Lukulamo tidak bisa tidur nyenyak dan terus mengalami kerugian karena aktifitas ekploitasi di kawasan tersebut secara ekstraktif. Ekploitasi sumberdaya alam itu masih berlanjut sampai saat ini. Kerusakan lingkungan dan hilangnya sumber-sumber penghidupan terjadi namun luput dari perhatian Negara. Bahkan Pemerintah Daerah sering berdalih perusahan tersebut tidak memberikan dampak yang merugikan masyarakat adat.

Berdasarkan dengan Nomor SK 540/KEP/315/2009, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bernama Tekindo Energi ini diberikan izinnya oleh Bupati Halmahera Tengah, Ir Al Yasin Ali untuk melakukan kegiatan penambangan nikel di atas tanah adat seluas 3.890 hektar. Perusahan ini akan melakukan penambangan selama 20 tahun, terhitung dari tahun 2009 s/d 2029 (baca: Dinas Pertambangan Halteng). Namun sayangnya masalah demi masalah perlahan mulai muncul. Komunitas yang hidup di sekitarnya harus menerima dampak, salah satunya kehilangan tanah adat dan sumber air yang menjadi modal hidup masa kini dan akan datang.

Suku Sawai Memiliki Hak Atas Tanah, Wilayah dan SDA Seperti bunyi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang” dan pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” (baca: UUD). Dalam konteks perundangan-undangan ini Suku Sawai baik yang hidup di Kobe, Lukulamo, Lelilef, Gemaf, Kya dan lain-lain, diakui keberadaan beserta haknya baik hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Salah satu yang penting adalah hak atas hutan (hutan adat). Pengakuan hak atas hutan ini merujuk pada Keputusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mengakui ”Hutan Adat bukan Hutan Negara”. Hutan adat merupakan sumber penghidupan yang tidak dipandang pada nilai ekonomisnya saja, tapi ada nilai sosial dan religi yang menjadi satu kesatuan dengan masyarakat adat, karena itu harusnya dipertahankan kelestariannya untuk masa kini dan akan datang. Keberadaan perusahan tambang seperti Tekindo justru berbeda ceritanya. Kerusakan hutan akibat eksploitasi, belum lagi akses masyarakat adat terhadap sumber-sumber peghidupan lain terputus.

Hak atas tanah, wilayah adan sumberdaya alam merupakan hak asasi yang seharusnya bisa dinikamti oleh masyarakat adat sebagai pemilik hak. Ini merupakan hak bawaan yang diwarisi dari turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat itu sendiri. Tiga komponen ini bukan hak berian negara. Karena itu dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan SDA yang ada di wilayah adat yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahan, diharuskan untuk menghargai dan menghormati masyarakat adat sebagai pemilik sah atas satu kawasan ulayat.

Beberapa kesempatan ketika AMAN melakukan advokasi di komunitas, kehadiran PT Tekindo Energi di atas wilayah adat seluas 3.890 hektar ini tidak melaksanakan mekanisme Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), padahal mekanisme ini sudah menjadi prinsip pembangunan yang harus diterapkan perusahan tambang seperti Tekindo kepada masyarakat adat sebagai penerima dampak utama dari kegiatan mereka (Baca: UNDRIP). Suku Sawai menjadi objek yang dirugikan.

Bencana Karena Tekindo

Sejak melakukan penambangan dimuali pada tahun 2009, perusahan ini selalu memunculkan masalah. Satu demi satu masalah itu dirasakan oleh masyarakat adat baik yang ada di Kobe Kulo, Lukulamo dan masyarakat Transmigrasi Kobe. Dari 2011 masyarakat Lukulamo tidak bisa lagi mengkonsumsi air bersih yang mengalir lewat sungai Kobe. Sungai itu diduga sudah tercemar oleh limbah perusahan tambang, padahal aktifitas sehari – hari masyarakat selalu bersentuhan dengan sungai tersebut. Untuk kebutuhan air bersih masyarakat harus menunggu air yang disuplai oleh perusahan yang diangkut dari tempat lain. Perusahan Tekindo sesungguhnya telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Pelanggaran berat terhadap UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup juga terus terjadi. Pada tahun 2012 sebanyak 79 lahan sawah tidak bisa digarap karena terjadi sedimentasi. Bobolnya penampungan limbah perusahan sampai mengalir ke pemukiman penduduk bersamaan dengan banjir terjadi pada tanggal 7 September 2013 kemarin mengakibatkan ikan nila dan ikan mas ribuan ekor yang ditambak warga harus mati, perkebunan warga yang ditanami dengan tanaman bulanan mengalami gagal panen. Kasus seperti ini sudah sekitar 3 kali terjadi terus – menerus. Belum lagi penggundulan hutan adat oleh tambang yang jaraknya sekitar 3-4 kilo dari pemukiman penduduk. Namun tidak ada pengawasan yang pemerintah daerah, sehingga setiap musim hujan daerah tersebut pasti kena banjir. Derita lain dari banjir ini perumahan penduduk dan bahan sembako rusak total, hewan piaraan ikut hanyut.

Pemodal ini biasanya bekerjasama dengan Kepolisian dan Dinas Kehutanan terutama Polisi Kehutanan (Polhut) untuk mengkriminalisasi warga adat. Pada bulan April lalu warga harus berurusan dengan pihak kepolisian dan Polhut, karena membuka lahan kebun di wilayah konsesi tambang. Ini menunjukan akses masyarakat adat terhadap SDA yang merupakan haknya  terbatasi oleh izin pemerintah. Padahal SDA tersebut (tanah dan hutan) adalah hak masyarakat. Warga harus berjuang dengan melakukan demonstrasi menuntut pemerintah untuk mencabut izin perusahan tersebut.

Bupati Harus Bertindak

Pengelolaan sumberdaya alam harus memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adat/lokal bukan sebaliknya. Semangat itu yang ada di pasal 33 UUD 1945. Kesejahteraan itu bukan diukur dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan oleh perusahan kepada masyarakat adat dan royalty untuk PAD. Cara pandang seperti ini membuat kita menempatkan tanah dan hutan pada nilai ekonomisnya saja, pada akhirnya dimana-mana pemerintah memberikan izin eksploitasi SDA yang dilakukan secara masif, lalu masyarakat harus menjadi miskin. Pembangunan pada sektor ini harus menempatkan aspek kelestarian alam dan jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai instrumen dasar. Ketelibatan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan menjadi penting. Mereka bisa mengelola dan memanfaatkan sumbedaya alam tersebut dengan pendekatan nilai yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom).

Alihfungsi kawasan hutan di Halmahera Tengah untuk kegiatan pertambangan tidak memberikan keuntungan apa-apa kepada masyarakat adat. Bahkan sebaliknya kenyataan pahit harus diterima masyarakat yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan pertambangan tersebut. Sebanyak 38 rencana izin pertambangan (IUP) di Halteng yang nantinya masuk melakukan kegiatan eksploitasi menjadi ancaman baru. Kasus Tekindo harus memberikan pelajaran kepada Bupati agar berhati-hati memberikan izin tanpa melalui mekanisme yang menempatkan masyarakat adat sebagai subjek untuk menentukan YA atau TIDAK kegiatan pertambangan itu dilakukan di wilayah adat mereka.

Bupati Halmahera Tengah harusnya memiliki perhatian serius terhadap masalah yang dialami oleh Suku Sawai Kobe dan Lukulamo. Pelanggaran terhadap UU diatas tidak bisa ditolerir. Sekitar 2.000 jiwa masyarakat yang berada dalam lingkar tambang PT Tekindo terancam kehilangan mata pencaharian karena kegiatan pertambangan ini. Masyarakat kehilangan haknya, mereka tidak bisa beraktifitas kalau kegiatan pertambangan itu menguasai tanah dan hutan mereka. Karena itu izin perusahan tambang PT Tekindo Energi ini di cabut adalah keharusan yang mesti dilakukan segera oleh Bupati. Perlindungan dan Pengakuan Hak menjadi penting disini. Suku Sawai yang memiliki hak atas tanah, wilayah dan SDA yang jauh sebelum itu mereka sudah kuasai secara komunal, harus mendapat perlindungan dari pemerintah. Keputusan MK 35/PUU-X/2012, mendorong kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan inventarisasi hak – hak masyarakat adat diatas, termasuk membuat Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati masyarakat adat. Ini salah satu kunci untuk mensejahterakan masyarakat adat. (*)

sumber MalutPost :http://malutpost.co.id/2013/10/05/tekindo-lagi-tekindo-lagi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar