Oleh Ubaidi Abdul Halim
Biro OKK AMAN Malut
Salam adat
Konflik
agraria, krisis Iklim, kerusakan lingkungan, alih fungsi kawasan hutan,
krisis air bersih, kerawanan pangan dan
kriminalisasi sedang
mewarna kehidupan bangsa di zaman ini.
Hal ini disebabkan amburaduknya kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara.
Contoh sederhana
kebijakan penataan ruang di Maluku Utara. Potret pembangunan yang didorong oleh
pemerintah kita, masih menempatkan hutan dan tanah sebagai sumber ekonomi yang semata
– mata untuk meningkatkan devisa negara terutama PAD. Kebijakan yang mendorong
konservasi hutan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat masih jauh dari yang
di cita-citakan. Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan sawit
menjadi nomor satu. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar
dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan (kerusakan
ekologi) sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi konsesi – konsesi tambang dan
sawit tersebut dominan masuk dalam wilayahnya masyarakat adat yang selama ini
menjadikan wilayah mereka sebagai suporting kehidupan.
Masyarakat adat menjadi
pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pembangunan yang lebih
mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan mereka. Lihat saja, PT NHM yang
mengeksploitasi wilayah adat suku Pagu, PT WBN yang menguasai separoh dari
wilayah adat suku Sawai, PT Antam, PT Harita dll yang menguasai wilayah suku
Tobelo Dalam, PT Oro Kni Global yang menguasai wilayah adat Suku Sahu, PT
Sanatova diatas wilayah adat Suku Paceda, kasus Masyarakat Morotai dengan AURI,
dll. Praktek penguasaan wilayah – wilayah adat ini akan terus berlanjut seiring
dengan masuknya proyek nasional Masterplan Percepatan dan Perluasaan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan mendorong tambang sebagai leading
sektor utama di Halmahera (nilai investasi 81 triliun). Proyek MP3EI sebuah proyek besar yang akan merubah RTRW provinsi untuk menyesuaikan dengan MP3EI. MP3EI adalah mahluk dan monster yang sangat menakutkan karena membagi-bagi tanah dan laut Indonesia untuk di serahkan ke pada para pemangsa dan penghisap harta-harta masyarakat adat atau masyarakat lokal. proyek ini akan memanggil para investor asing untuk menciptakan konflik antar suku,konflik tapal batas dan konflik sosial yang akan mewarnai kehidupan masyarakat adat.
Akibat dari investasi
itupula, masyarakat adat semakin kesulitan untuk mengkases sumberdaya hutan dan
laut, dimana – mana terjadi pencemaran lingkungan (Kasus PT Tekindo dan PT
NHM), kriminalisasi kepada masyarakat adat meningkat. Masyarakat adat semakin
tidak berdaya dan harus beralih profesi kerja dari petani dan nelayan menjadi
buruh – buruh kasar di perusahan. Yang lebih menyakitkan konstruksi nilai baru
yang dibawah seiring masuknya investasi tersebut. Nilai lokalitas sebagai
pegangan hidup menjadi tidak berdaya dan masyarakat adat harus membangun hidupnya
secara individualistik.
Kedepan konflik agraria
akan terus meningkat. Kepastian hak tenurial masih menjadi
tanda tanya jika tidak ada pengakuan dan perlindungan hak – hak masyarakat adat
di Maluku Utara. Pemerintah mestinya mengetahui bahwa masyarakat adat berserta
hak mereka atas tanah, wilayah dan SDA merupakan warisan sejarah yang dibawah
sejak turun – temurun. Bagi masyarakat adat tanah, wilayah dan SDA bukan
sekedar memiliki nilai ekonomi, tapi juga memiliki nilai sosial dan menjadi
identitas. Sehingga jangan heran ada hal yang disakralkan oleh masyarakat adat
dalam konteks pemanfaatan ruang hidup yang ada di wilayah mereka.
Dalam hal itulah, kami
menyampaikan Kasus
Agraria kepada KOMNAS
HAM RI untuk di tidak lanjuti antara lain:
1. Mendesak
kepada KOMNAS HAM RI Untuk Memantau dan menyelidiki Kasus Agraria yang
melibatkan PT.NHM dengan suku Pagu, PT. WBN dengan Suku Sawai dan PT. Antam dan Taman Nasiona
Aketajawe Lolobata dengan suku Tobelo
Dalam, PT Sanatova diatas wilayah adat Paceda, PT. Oro Kni Global diatas
wilayah adat Suku Sahu, dan izin – izin lainnya, terutama di Sula, Haltim dan
Halteng) karena dinilai tidak mengikuti mekanisme Free Prior Informend Consent
(FPIC) dengan masyarakat adat setempat sebagai pemilik sah wilayah yang di
eksploitasi.
2. Mendesak kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera mengembalikan tanah yang di rampas oleh perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef)
3. kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa Bupati Halteng dan menyelidiki kasus PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe dan woejerena serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat lukulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.
2. Mendesak kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera mengembalikan tanah yang di rampas oleh perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef)
3. kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa Bupati Halteng dan menyelidiki kasus PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe dan woejerena serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat lukulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar