Rabu, 13 November 2013

Konflik Agraria Memicu Pelanggaran HAM Di Maluku Utara



Oleh Ubaidi Abdul Halim
Biro OKK AMAN Malut

Salam adat

Konflik agraria, krisis Iklim, kerusakan lingkungan, alih fungsi kawasan hutan, krisis air bersih, kerawanan pangan dan kriminalisasi sedang mewarna kehidupan bangsa di zaman ini. Hal ini disebabkan amburaduknya kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara.

Contoh sederhana kebijakan penataan ruang di Maluku Utara. Potret pembangunan yang didorong oleh pemerintah kita, masih menempatkan hutan dan tanah sebagai sumber ekonomi yang semata – mata untuk meningkatkan devisa negara terutama PAD. Kebijakan yang mendorong konservasi hutan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat masih jauh dari yang di cita-citakan. Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan sawit menjadi nomor satu. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan (kerusakan ekologi) sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi konsesi – konsesi tambang dan sawit tersebut dominan masuk dalam wilayahnya masyarakat adat yang selama ini menjadikan wilayah mereka sebagai suporting kehidupan.

Masyarakat adat menjadi pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pembangunan yang lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan mereka. Lihat saja, PT NHM yang mengeksploitasi wilayah adat suku Pagu, PT WBN yang menguasai separoh dari wilayah adat suku Sawai, PT Antam, PT Harita dll yang menguasai wilayah suku Tobelo Dalam, PT Oro Kni Global yang menguasai wilayah adat Suku Sahu, PT Sanatova diatas wilayah adat Suku Paceda, kasus Masyarakat Morotai dengan AURI, dll. Praktek penguasaan wilayah – wilayah adat ini akan terus berlanjut seiring dengan masuknya proyek nasional Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan mendorong tambang sebagai leading sektor utama di Halmahera (nilai investasi 81 triliun). Proyek MP3EI sebuah proyek besar yang akan merubah RTRW provinsi untuk menyesuaikan dengan MP3EI. MP3EI adalah mahluk dan monster yang sangat menakutkan karena membagi-bagi tanah dan laut Indonesia untuk di serahkan ke pada para pemangsa dan penghisap harta-harta masyarakat adat atau masyarakat lokal. proyek ini akan memanggil para investor asing untuk menciptakan konflik antar suku,konflik tapal batas dan konflik sosial yang akan mewarnai kehidupan masyarakat adat.

Akibat dari investasi itupula, masyarakat adat semakin kesulitan untuk mengkases sumberdaya hutan dan laut, dimana – mana terjadi pencemaran lingkungan (Kasus PT Tekindo dan PT NHM), kriminalisasi kepada masyarakat adat meningkat. Masyarakat adat semakin tidak berdaya dan harus beralih profesi kerja dari petani dan nelayan menjadi buruh – buruh kasar di perusahan. Yang lebih menyakitkan konstruksi nilai baru yang dibawah seiring masuknya investasi tersebut. Nilai lokalitas sebagai pegangan hidup menjadi tidak berdaya dan masyarakat adat harus membangun hidupnya secara individualistik.

Kedepan konflik agraria akan terus meningkat. Kepastian hak tenurial masih menjadi tanda tanya jika tidak ada pengakuan dan perlindungan hak – hak masyarakat adat di Maluku Utara. Pemerintah mestinya mengetahui bahwa masyarakat adat berserta hak mereka atas tanah, wilayah dan SDA merupakan warisan sejarah yang dibawah sejak turun – temurun. Bagi masyarakat adat tanah, wilayah dan SDA bukan sekedar memiliki nilai ekonomi, tapi juga memiliki nilai sosial dan menjadi identitas. Sehingga jangan heran ada hal yang disakralkan oleh masyarakat adat dalam konteks pemanfaatan ruang hidup yang ada di wilayah mereka.

Dalam hal itulah, kami menyampaikan Kasus Agraria kepada  KOMNAS HAM RI untuk di tidak lanjuti antara lain:


1.    Mendesak kepada KOMNAS HAM RI Untuk Memantau dan menyelidiki Kasus Agraria yang melibatkan PT.NHM dengan suku Pagu, PT. WBN dengan Suku Sawai dan PT. Antam dan Taman Nasiona Aketajawe Lolobata dengan suku Tobelo Dalam, PT Sanatova diatas wilayah adat Paceda, PT. Oro Kni Global diatas wilayah adat Suku Sahu, dan izin – izin lainnya, terutama di Sula, Haltim dan Halteng) karena dinilai tidak mengikuti mekanisme Free Prior Informend Consent (FPIC) dengan masyarakat adat setempat sebagai pemilik sah wilayah yang di eksploitasi.

2.  Mendesak kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera mengembalikan  tanah yang di rampas oleh perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef)

3.   kepada KOMNAS HAM RI memangil paksa Bupati Halteng dan menyelidiki kasus PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe dan woejerena serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat lukulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar