Kamis, 10 Januari 2013

KIAMAT PULAU - PULAU KECIL




Pulau Gei yang kering kerontang akibat pertambangan
Dalam tapakmaya (website) resminya hari ini, 9 Januari 2013, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali menawarkan peluang konsesi pertambangan baru di Maluku Utara. BKPM menyiarkan satu daftar 15 lokasi baru potensial tambang emas yang tersebar di Kabupaten Morotai (2 lokasi, masing-masing di Aha dan Bere-bere); Kabupaten Halmahera Utara (3 lokasi, masing-masing di Kupa-kupa, Akelamo dan Gamkehe); Kabupaten Halmahera Selatan (8 lokasi, masing-masing di Yaba, Kaputusan, Paroang, Sawadae, Pigaraja, Kayoa, Sambiki dan Anggai); dan Kabupaten Kepulauan Sula (2 lokasi, masing-masing di Kuyu dan Tawate).

Mudah ditebak bahwa tawaran menggiurkan itu adalah bagian dari kebijakan nasional yang tercantum dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Dokumen MP3I memang menetapkan kawasan Maluku Utara sebagai salah satu koridor utama ekonomi dengan tumpuan utama pada sektor pertambangan. Maka, sampai akhir tahun 2012 lalu, izin usaha pertambangan atau Kuasa Pertambangan (KP) di seluruh Maluku Utara sudah mencapai angka fantastik: 148 pada kawasan seluas total 593.311,42 ha. Sepintas, angka ini terkesan biasa-biasa saja. Tetapi, jika dicermati lebih rinci, total luas kawasan konsesi pertambangan itu adalah sama dengan 5.933,11 km2, dan itu berarti hampir seperlima (17,83%) dari total luas daratan (33.278 km2) propinsi Maluku Utara yang sebagian besarnya (76,27% atau 106.977,32 dari total 140.255,32 km2) adalah wilayah perairan (laut). Dari 148 izin KP yang sudah terdaftar, 38 di antaranya sudah memasuki tahap produksi pada kawasan seluas 103.038,84 ha atau 17,37% dari total luas kawasan konsesi. Selebihnya (110 KP dengan luas kawasan konsesi 490.272,58 ha) masih dalam tahap eksplorasi. Dalam kenyataan praktiknya selama ini, perusahaan-perusahaan yang sudah melalukan eksplorasi umumnya atau biasanya tinggal menunggu waktu saja untuk segera memasuki tahap produksi.

Dengan kata lain, hampir dapat dipastikan bahwa tidak lama lagi sekitar seperlima dari seluruh daratan Maluku Utara akan menjelma menjadi kawasan pertambangan terbuka yang sesungguhnya dan senyatanya. Bahkan, sangat mungkin lebih atau semakin luas. Karena, tidak ada jaminan bahwa kawasan konsesi pertambangan di propinsi ini memang akan berhenti pada jumlah luasan yang ada sekarang. Kemungkinan penambahan luas kawasan konsesi pertambangan justru semakin menguat.

Buktinya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk bersungguh-sungguh memperhatikan tuntutan melakukan penghentian sementara (moratorium) pertambangan di sana. Usulan moratorium itu sebenarnya sudah cukup lama diajukan. Pada bulan Juli 2011, beberapa organisasi masyarakat sipil yang dikordinasikan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara, menyerukan mendesaknya moratorium tersebut. Mereka menyebutkan bahwa total luas kawasan pertambangan sudah mencapai 1,6 juta ha atau sudah lebih dari separuh (50%) luas hutan di daerah tersebut. Usulan moratoium serupa juga pernah diajukan, pada bulan Februari 2012, oleh tim Komisi II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang melakukan peninjauan lapangan ke wilayah Halmahera Utara, meskipun usulan mereka memang hanya terbatas pada kawasan konsesi PT Nusa Halmahera Minerals (NHM). Usulan terbaru, pada bulan November 2012, datang dari kalangan akademisi, yakni dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG) Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Yang menarik adalah bahwa usulan dari PUSLITBANG UNHAS tersebut adalah hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) justru atas permintaan lembaga pemerintah daerah, yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH) Maluku Utara.

Pertanyannya adalah: mengapa lembaga resmi pemerintah seperti BKPM justru masih menawarkan terus peluang konsesi tambang baru di Maluku Utara?
Foto satelit rupa-bumi Pulau Gei di ujung Semenanjung Maba, Halmahera Timur, pada tahun 2012, nyaris botak total oleh galian tambang nikel sejak 2000.
Salah satu jawabannya adalah kenyataan bahwa semua pemerintah daerah (kabupaten) di Maluku Utara --kecuali Kota Ternate dan Kota Tidore yang wilayahnya memang sangat terbatas dan sudah merupakan kawasan perkotaan padat-- juga masih tetap dan selalu mengedepankan "potensi tambang" daerah mereka sebagai 'sajian menu utama' untuk memikat para investor baru. Para pemimpin pemerintahan dan politik di daerah ini sepertinya memang tak punya imajinasi apapun selain mengandalkan sektor pertambangan sebagai primadona sumber pendapatan utama daerah mereka. Bupati Halmahera Utara, misalnya, memang pernah menyatakan persetujuan pada usulan Komisi II DPD-RI untuk melaksanakan moratorium, khususnya pada PT NHM yang beroperasi di wilayahnya. Tetapi, alasannya sungguh mencengangkan, yakni semata-mata alasan 'ekonomis' belaka. Dia menyatakan bahwa nilai tambang yang dieksploitasi oleh PT.NHM mencapai Rp 7 trilyun per tahun, tetapi dana yang mengalir atau disetorkan ke kas pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara hanya Rp 16 milyar per tahun. Dengan kata lain, jika setoran perusahaan itu jauh lebih besar, apakah Pak Bupati juga masih setuju dengan usulan moratorium? Dan, yang jauh lebih penting, apakah juga setuju untuk moratorium total seluruh usaha pertambangan di sana, bukan hanya untuk PT.NHM saja? Dan, yang jauh lebih mendasar, apakah memiliki wawasan alternatif selain tambang? Karena, moratorium pada dasarnya hanyalah satu penyelesaian sementara, bukan penyelesaian tuntas pada akar permasalahan yang sebenarnya.

Pulau Pakal, beberapa mil di selatan Gei, satu pulau kecil yang hijau pada tahun 2002 sebelum dijual oleh warga ke PT.Aneka Tambang ; dan kini, sejak 2011, nyaris gundul pula setelah dibeli dan dieksploitasi oleh PT.Aneka Tambang.

Pulau Gee pasca proses  penambangan oleh PT. ANTAM
Dalam hal ini, memang sulit membayangkan para pemimpin pemerintahan dan politik di Maluku Utara berwawasan lebih luas dan jauh ke masa depan. Faktanya, usaha pertambangan masih terus berjalan dan berjaya di Maluku Utara dengan segenap dampak negatifnya yang sudah diketahui luas, terutama terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal. Kasus punahnya perikanan teri yang pernah berjaya di Teluk Kao, misalnya, sudah diketahui adalah akibat dari pencemaran limbah pertambangan di kawasan itu. Di Kabupaten Halmahera Timur, masyarakat adat lokal malah 'dibiarkan' menjual Pulau Pakal di Teluk Buli ke PT.Aneka Tambang (ANTAM) dengan harga yang juga mencengangkan murahnya: hanya Rp 15 milyar!! Enam anak muda Halmahera yang bertandang ke kantor INSIST di Yogyakarta, pada 5 Januari 2012, mengisahkan bagaimana banyak warga Pakal yang pernah menerima pembagian harga jual pulau mereka itu kini tak punya apa-apa lagi, bahkan ada yang setiap hari kerjanya hanya menghitung lembaran gulungan kertas rokok lintingan, seakan-akan masih menghitung tumpukan uang yang pernah mereka terima dan kini habis tanpa bekas. Dan, Pulau Gei yang hanya beberapa mil laut di sebelah utaranya, kini tersisa sebagai bongkahan tanah gundul setelah digali sejak tahun 2000.

Jika keadaan ini terus berlangsung, hanya soal waktu saja banyak pulau-pulau kecil lain di sana akan bernasib sama dengan Pakal dan Gei, atau jauh sebelumnya seperti Gebe dan Yu di lepas pantai ke arah Kepulauan Raja Ampat di Papua yang justru telah diketahui sebagai salah satu pusat terumbu karang terkaya dan tercantik di dunia. 'Ramalan Kiamat' nya kalender Suku Indian Maya yang jatuh pada bulan Desember 2012 --meskipun ini sebenarnya salah-kaprah dunia luar-- ternyata tidak terjadi, tetapi 'kiamat' bagi pulau-pulau kecil di Maluku Utara tidak mustahil sangat mungkin akan benar-benar terjadi jika wawasan pembangunan di daerah itu masih tetap bertumpu pada ekstraksi berlebihan sumberdaya alam, terutama hasil hutan dan bahan galian tambang, masih tetap menjadi tumpuan utamanya.**
(BETA PETTAWARANIE, http://www.insist.or.id/news/kiamat-pulau-pulau-kecil.html  )

1 komentar: