Pertemuan Antara KOMNAS HAM Dengan Masyarakat Adat Pagu |
Sekitar pukul 10.00 Wit, tanggal 28 Desember 2012, rombongan yang terdiri dari Komnas HAM antara lain Sandra Moniaga (Wakil Ketua
Komnas HAM) Andi Nur (Staf Komnas HAM), Munadi Kilkoda (Deputi AMAN Malut),
Safi Din, Mustamin (Staf AMAN Malut) dan Abdurahman Salam (Wartawan) bertolak
ke Pagu. Perjalanan darat itu di tempuh sekitar 2 jam dengan menggunakan mobil
berjenis Inova. Sepanjang jalan kami berkesempatan berdiskusi tentang
perjuangan masyarakat adat di berbagai daerah, sambil juga menikmati tiupan
angin sepoi – sepoi serta hijaunya hutan Halmahera.
Dalam pikiranku, hijaunya hutan Halmahera ini
disitulah sumber kehidupan masyarakat adat untuk berkebun dan mengelola alam
untuk keberlanjutan hidup. Disitu juga tempat hidup flora dan fauna, seperti
beberapa burung endemic yang terancam punah karena kesalahan pemanfaatan ruang
oleh Negara.
Hijaunya hutan itu berbanding terbalik dengan yang
terlihat di Sidangoli, salah satu wilayah di Halmahera Barat. Wilayah ini terlihat gersang. Sekitar 5 KM hanya
terlihat rumput ilalang yang dalam bahasa local disebut kusu – kusu yang tumbuh.
Bukan cerita baru, kondisi yang terlihat di Sidangoli ini karena dulunya hadir
perusahan kayu terbesar di Maluku Utara. PT. Barito, perusahan milik
penguasa Orde Baru.
Tak berselang berapa lama, kita pun melintasi
perusahan raksasa lain. Perusahan tambang milik Australia yang sudah bercokol
puluhan tahun di atas tanah Halmahera, PT Nusa Halmahera Mineral (PT NHM). Beberapa gunung
terlihat dari jauh sudah dibabat hutannya dan dikeruk tanahnya. Wilayah itu adalah
Toguraci dan Gosowong milik Masyarakat Adat Pagu. Menurut informasi warga, sekarang perusahan mulai membuka
lahan baru di gunung Diun, padahal di wilayah tersebut ada kebun cengkeh dan
tempat – tempat yang dikeramatkan seperti kubur leluhur masyarakat adat Pagu.
Sekitar pukul 12.00 Wit, kami pun tiba di
perkampungan suku Pagu, lebih tepatnya di Desa Sosol yang akan menjadi tempat pertemuan
17 desa Pagu . Kami di informasikan bahwa pertemuan akan dilakukan pada
jam 2 siang (14.00), sehingga masih ada waktu untuk makan siang dan istirahat
sejenak.
Jarum jam tepat menunjukan pada angka 2, kami pun
di undang oleh masyarakat adat yang diwakili Ibu Afrida Erna Ngato sebagai
Sangaji Pagu (Kepala Adat) untuk segera ke tempat pertemuan yang dilakukan di Balai Desa Sosol. Penjemputan dengan tarian seperti cakalele yang
diperagakan oleh anak – anak usia remaja sebagai simbol penerimaan tamu. Ratusan
warga dengan pakaian adat terlihat sudah menunggu kedatangan kami.
Teriakan
Otuuu......dan dibalas Yeeeee keluar dari mulut ke mulut masyarakat adat sebagai penambah
semangat siang itu.
Sesuai dengan agendanya, Komnas HAM melakukan
dialog dengan masyarakat adat Pagu. Munadi Kilkoda dari AMAN Maluku Utara
dipercayakan untuk mengarahkan dialog tersebut, lalu akan dilanjutkan oleh Ibu
Sandra Moniaga dari Komnas HAM yang lebih fokus pada masalah Hak Asasi Manusia
(HAM) serta mendengar informasi dari masyarakat adat.
Munadi menyampaikan, kedatangan Komnas HAM ke Masyarakat Adat Pagu
ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya terutama melaporkan kasus
pelanggaran HAM yang dilakukan perusahan tambang atau pihak – pihak lain.
Seperti masalah pengambil alihan tanah adat dan dugaan pencemaran lingkungan yang
dilakukan oleh PT NHM.
Sedangkan Sandra Moniaga dari Komnas HAM yang
didaulat sebagai narasumber dalam dialog tersebut, banyak memberikan penjelasan
yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD dan UU,
termasuk hak – hak Masyarakat Adat.
Kalau bicara HAM, UUD 1945
hasil amandemen sudah sangat dengan jelas dalam beberapa pasal mengakui dan
melindungi HAM tersebut. Masyarakat Adat beserta hak – hak adatnya sudah
diakui dalam UUD 1945 (pasal 18b dan 28i). Selain itu juga beberapa UU sektoral
seperti UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, serta UU
HAM sudah dengan jelas mengakui hak – hak masyarakat adat, namun UU Minerba
yang menjadi sumber konflik selama ini yang tidak mengakui hak – hak Masyarakat Adat. Sehingga kedepannya tugas kita bersama untuk mengajukan judicial review terhadap UU yang tidak berpihak pada
masyarakat adat dan itu membutuhkan
dukungan dari Masyarakat Adat Pagu.
Lanjut beliau, Masyarakat Adat memiliki hak atas hutan adat dan tanah adat. Hak ini dijamin dalam UUD.
Begitu juga akses mereka ke sumber kehidupan seperti ini tidak boleh dibatasi
oleh siapapun, karena ini bersumber dari hak asal – usul yang diwariskan oleh
leluhur masyarakat adat. Masyarakat Adat juga berhak adat lingkungan hidup yang
sehat, bekerja dengan rasa aman, jauh dari intimidasi dan kriminalisasi.
Dialog itu mendapat respon
yang beragam dari masyarakat adat ini terlihat dari pertanyaan seputar masalah
yang mereka hadapi selama ini. Ada yang mengatakan wilayah adat mereka sangat
kaya dengan sumberdaya alam, namun sumberdaya alam itu tidak dinikmati oleh
mereka. Bahkan mereka menganggap bahwa
selama ini mereka dimiskinkan diatas tanah adat mereka sendiri. Ada sebagian
juga yang mengatakan semakin sulit mereka mengakses hutan dan melaut karena sudah
dikuasai oleh perusahan NHM. Mereka meminta PT. NHM bertanggungjawab atas semua
masalah yang mereka hadapi. Bahkan juga semua kerusakan yang dilakukan oleh
perusahan tersebut. Harus ada denda adat. Komnas HAM juga diminta untuk membantu
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Komnas HAM sendiri menyarankan agar Masyarakat Adat Pagu terus mendokumentasikan masalah yang terjadi baik karena
aktifitas PT NHM maupun pihak lain, sambil melengkapi data – data yang mereka
temukan, untuk selanjutnya dikirim ke Komnas HAM sebagai pengaduan. Kata
Sandra.
Diakhir diskusi, Sandra
mendorong supaya Masyarakat Adat Pagu segera menyelesaikan peta wilayah adat mereka,
karena pemetaan ini menjadi penting dalam mempertahankan wilayah adat Pagu.
Selain itu juga terus menelusuri sejarah asal – usul sehingga semakin
memperjelas bahwa klaim Masyarakat Adat atas tanah adat karena didasari
pada sejarah tersebut.///***Ubaidi Halim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar