Kamis, 18 Desember 2014

Kisah Perempuan Kepala Suku Pagu Membela Hak Ulayat


JakartaCNN Indonesia -- Mia tonaka demia akele demia bongana, mabirahi de majojamanaaaniii, kao nyawa yoma sisanaaangi... (Tanah kami, air kami, hutan kami, cantik jelita hanya untuk kenikmatan dan kesenangan orang lain...)


Afrida Erna Ngato, pimpinan suku Pagu di Halmahera Utara, tengah bersyair dan menarikan Cakalele di halaman sebuah perusahaan tambang, akhir November 2012 silam. 
Ia diiringi oleh alunan nada dari instrumen musik tradisional Maluku, seperti gong, tifa dan lui-lui. 

Ida, begitu perempuan ini akrab disapa, dan ratusan masyarakat adat suku Pagu tengah menggelar aksi protes kepada perusahaan tambang, yakni PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). 

"Saat itu, saya datang ke sana menyatakan kedaulatan atas tanah. Kami bawa tujuh truk dan langsung kami duduki kantor PT NHM. Kami buat aksi damai, tidak ada orasi. Saya demo dengan pergelaran budaya," kata Ida kepada CNN Indonesia, Rabu petang (17/12).  

Ilustrasi Hutan Adat


Persoalan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) hak masyarakat adat di wilayah Maluku Utara memang seringkali terjadi. Pada akhir Oktober ini, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara mengadukan tiga kasus pelanggaran hak masyarakat adat di Maluku Utara untuk masuk Inkuiri Nasional Komnas HAM. 


Selain kasus suku Pagu dengan PT NHM, kasus pelanggaran hak masyarakat adat lainnya diantaranya PT WBN dengan Suku Sawai dan Tanam Nasional Aketajawe Lolobata dengan Suku Tobelo Dalam. 

Ketiga perusahaan tersebut dinilai telah melanggar HAM karena membatasi dan melarang masyarakat adat untuk mengakses hak-hak masyarakat adat atas wilayah hutan adat. 

Padahal, menurut keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 atas gugatan yang diajukan oleh AMAN, dijelaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan wewenang negara dibatasi sejauh wewenang tercakup dalam hutan adat.

Ida kemudian mengatakan setelah sehari semalaman mereka menari dan bersenandung tiba-tiba sekelompok aparat kepolisian datang. Mereka membawa senjata dan mengenakan seragam lengkap. Ida mengatakan aparat menggunakan balok kayu memukul beberapa masyarakat adat.

"Binatang kalian. Kafir. Tidak pergi ke gereja!" ujar Ida menirukan umpatan kelompok aparat berseragam coklat tersebut. 

Sebanyak 32 masyarakat adat suku Pagu lantas dibawa ke Polisi Resor (Polres) Halmahera Utara. Aparat mulai menyita barang-barang milik masyarakat, termasuk telepon genggam milik Ida.

Kesal dengan sikap aparat yang langsung tangkap, Ida balik menggertak. Ia mengatakan kepada polisi bahwa dia akan menggunakan kuasa hukum untuk membela diri. 

"Teroris saja masih punya hak untuk punya kuasa hukum, apalagi saya? Saya bukan penjahat. Saya punya hak," ujar Ida mengutip pernyataannya saat itu.

Namun, tidak sampai sehari, Bupati Halmahera Utara datang dan memberikan jaminan. Ida dan puluhan masyarakat suku Pagupun dilepas. 

Ida mengatakan menggelar aksi kebudayaan di depan kantor PT HNM lantaran ajakan rembug tak kunjung disambut oleh pihak perusahaan. 

Ajakan rembug tersebut digulirkan sebab masyarakat suku Pagu hendak meminta hak mereka terhadap kawasan hutan cengkeh dan hutan damar di Gosowong Halmahera Utara yang diduduki PT NHM sejak 1997. 

Suku Pagu menuntut PT NHM untuk segera memberikan kompensasi kerugian yang dialami masayrakat adat Pagu terkait dengan lahan perkebunan seluas 50 hektar dan tempat yang dikeramatkan berupa kuburan tua para leluhur masyarakat adat Pagu.

"Jauh sebelum negara ada, kami sudah ada. Itu hutan adat, bukan hutan negara. Di sebelah utara bagian barat hutan kami berbatasan dengan Suku Madole. Di sebelah timur laut berbatasan dengan Suku Boeng. Di sebelah barat daya, Suku Sahu dan Suku Tobaru," katanya.

Ida bercerita, sukunya telah mendiami wilayah Halmahera Utara sejak abad 11. Terhitung hingga kini, sedikitnya 14 generasi sudah mendiami tanah tersebut. Kendati demikian, ia mengatakan kalau negara telah merampas hak ulayat masyarakat.

"Kami dibuat bingung dan identitas kami semakin hilang. Orang-orang takut membangun rumah di tanahnya sendiri," ujarnya. Menurutnya, Orang Pagu telah mengalami kekacauan akibat sikap negara. 

Pemerintah, katanya, menjual tanah dan kawasan di mana suku Pagu telah tinggal selama ratusan tahun kepada perusahaan. Mereka memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT NHM. 

Akibat adanya izin, Ida mengatakan perusahan lantas mengeksplorasi sumber daya alam dan mineral terkandung di tanah. "Setelah identitas diri dirusak, mereka merampas isi semua kekayaan," ujar dia. 

Pemetaan Wilayah Adat

Kini, Ida dan kelompok perempuan lainnya tengah memperjuangkan perbatasan wilayah adat. Mereka menginisiasi peta tapal batas wilayah adat tersebut.

"Sekarang peta wilayah adat sudah selesai dan akan diklarifikasi dengan wilayah suku tetangga. Kami akan bertemu dengan suku tetangga tanggal 7 Januari tahun depan," ucapnya.

Setelah peta rampung digarap, Ida mengatakan Bupati Halmahera Utara akan mengesahkan. Kendati demikian, perjuangan Ida dan kawan-kawannya masih panjang. 

Mereka harus menunggu pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang hak-hak masyarakat adat Pagu. Peraturan tersebut tak kunjung disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebagai jalan tengah, kini pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat Pagu menandatangani nota kesepahaman. 

"Tapi jangan salah persepsi bahwa Suku Pagu berkompromi dengan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT NHM. Nota kesepahaman itu untuk pendokumentasian bahasa dan budaya Pagu untuk memperkuat identitas agar hak ulayat diakui," kata Ida.

Walau perjuangan Ida masih panjang, ia tak henti menyuarakan hak ulayat sukunya. Dia mengaku, hal tersebut merupakan panggilan hati atas kecintaanya pada tanah kelahiran. "Kalau bukan torang (kita) yang memulai, siapa lagi?" ujarnya mengakhiri cerita. 
(utd)
Sumber : http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141218231918-20-19208/kisah-perempuan-kepala-suku-pagu-membela-hak-ulayat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar