SUNGGUH merupakan suatu kejanggalan
yang membangkitkan rasa ingin tahu serta penting, menarik, dan layak
untuk dipahami mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai tak mengakui
keberadaan masyarakat adat dengan segenap hak asal-usulnya?
Kejanggalan itu tak lain karena masyarakat adat tersebut
telah hadir dalam kenyataan sejarah jauh terlebih dahulu daripada suatu
organisasi kekuasaan teritorial yang diberi nama negara nasional (bahkan sebelum
negara kolonial).
Ada apa gerangan?
Almarhum Prof Soetandyo Wignyosoebroto berusaha
menerangkan kejanggalan itu berangkat dari analisisnya mengenai praktik hukum
negara Republik Indonesia sebagai negara pasca kolonial yang membentuk tradisi
hukum nasionalnya melanjutkan cara negara kolonial mengembangkannya. Ia
mengungkap bahwa ”kalaupun terdapat pengakuan de
facto atas eksistensi suatu masyarakat adat dengan segenap habitat
alamnya, tidaklah pengakuan itu serta-merta berarti adanya pengakuan de
jure. Ipso facto tidaklah serta-merta berartiipso jure, yang dengan
demikian akan melahirkan secara dikotomik antara apa yang fakta dan apa yang
norma dan normatif menurut hukum negara yang berlaku…. Kekuasaan negara
kolonial hadir di kepulauan Nusantara sekalipun ada pengakuan de
facto akan adanya banyaknya masyarakat adat di negeri ini, tidaklah
serta-merta berarti adanya pengakuan formil akan eksistensi de
jure masyarakat-masyarakat adat tersebut beserta hak-haknya”
(Wignyosoebroto, 1998, ”Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui
Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, Jurnal Masyarakat
Adat 01 halaman 50).
Pemerintahan Soekarno telah mengusahakan selama 12 tahun
sejak tahun 1948 mengoreksi politik agraria kolonial itu dengan pembuatan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). UUPA diresmikan tahun 1960 dan menjadi sumber
kebijakan land reform. Pada masa akhir kepemimpinan Soekarno ini
(1962-1965), implementasi land reform itu pada kenyataannya di
lapangan mengalami kegagalan. Institusi-institusi negara baru yang baru saja
memulai pembangunannya belum cukup mampu melaksanakan apa yang diputuskan
secara sentral oleh pemerintah nasional. Harapan-harapan yang
digembar-gemborkan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas bagi usaha-usaha
memakmurkan rakyat menjadi kandas. Pergolakan politik nasional yang penuh
dengan kekerasan mengganti susunan elite pemerintahan nasional beserta
keseluruhan dedikasi dan orientasi pembangunannya. Proses-proses penguasaan
negara atas wilayah adat dengan seluruh kekayaan alam di dalamnya adalah bagian
dari ”etatization yang bergandeng erat dan susul-menyusul dengan proses
positivisasi hukum. Menghadapi proses seperti itu, masyarakat-masyarakat adat
dan semua warganya sungguh sulit bertahan dan mempertahankan eksistensinya
beserta kekayaan alamnya berdasarkan hukum dan hak-hak adatnya yang kini telah
kian mengalami pengingkaran-pengingkaran itu. Jutaan penduduk
negeri—lebih-lebih lagi yang bermukim di pelosok dan daerah pedalaman—tidak
habis mengerti bagaimana mungkin fakta penguasaan atas tanah yang telah
berlangsung turun-temurun bisa tiba-tiba saja dikalahkan oleh titel-titel yang
termuat dalam sertifikat-sertifikat yang tercipta secara in abstracto”
(Wignyosoebroto, 1998:57-58).
Kronis dan meluas
Wilayah adat itu beragam karakteristiknya di seantero
kepulauan Indonesia: mulai dari yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman,
hingga pesisir; baik di dataran rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap
hutan belantara hingga padang rumput.
Kenyataan pahit banyak dialami oleh kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat Indonesia, termasuk ketika mereka berada di bawah rezim
Orde Baru (1966-1998) hingga masa reformasi (1998-sekarang). Sumber utama
penderitaan masyarakat adat adalah karena dimasukkannya seluruh atau sebagian
dari wilayah adat ke kawasan hutan negara. Dengan mengeluarkan berbagai lisensi
konsesi untuk ekstraksi dan produksi kayu hingga konservasi sumber daya alam
dan restorasi ekosistem, Menteri Kehutanan memberikan legalitas melalui
kebijakan pemberian lisensi untuk berbagai bentuk konsesi kehutanan yang
menguasai luasan tanah dan mengusahakan pembalakan kayu, serta penanaman pohon
untuk kebutuhan industri bubur kertas dalam skala raksasa. Perampasan tanah
terjadi ketika perusahaan-perusahaan raksasa pemegang konsesi-konsesi
atau instansi pemerintah itu mengusir rakyat dari tanah dan wilayah
hidupnya, baik dengan maupun tanpa program permukiman kembali (resettlement).
Ketika kelompok-kelompok masyarakat adat itu secara
sporadis memprotes keabsahan lisensi-lisensi itu dan menentang pemegang
lisensi-lisensi itu mengambil alih penguasaan mereka itu, mulailah terbentuk
konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria dimengerti sebagai pertentangan
klaim yang terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu bidang tanah/wilayah,
antara kelompok rakyat dan badan-badan penguasa tanah luas, termasuk
perusahaan-perusahaan yang menguasai konsesi-konsesi kehutanan, dan lainnya;
Pihak-pihak yang bertentangan tersebut kemudian berupaya dan bertindak, secara
langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rachman 2013).
Situasi demikianlah yang pada gilirannya menjadi sumber dari
gerakan sosial yang terkoordinasi secara nasional. Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) adalah salah satu dari organisasi gerakan sosial yang terkemuka
dan mengartikulasikan secara jelas tuntutannya dalam moto: ”kalau negara tidak
mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”. Penulis yang mengamati
perjalanan AMAN sejak pendiriannya setahun setelah tumbangnya rezim otoritarian
di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto pada tahun 1999 memahami bahwa
perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan tanah air masyarakat adat yang
digerakkan utamanya oleh perlawanan atas perampasan wilayah adat.
Status masyarakat hukum adat sudah demikian lama tidak
diakui sebagai penyandang hak, subyek hukum tersendiri, dan pemilik
tanah-wilayah adatnya. Pandangan hakim Mahkamah Konstitusi untuk perkara Nomor
35/PUU-X/2012 (MK 35) itu menyebutkan bahwa dibandingkan dengan dua subyek
hukum lainnya, yakni pemerintah dan perusahaan pemegang hak atas tanah,
masyarakat hukum adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas diatur oleh
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tentang haknya atas tanah
maupun hutan. ”(D)engan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara
potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan
haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak
tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan, acap kali
hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang-wenang,
sehingga tidak jarang menyebabkan terjadi konflik yang melibatkan masyarakat
dan pemegang hak” (Mahkamah Konstitusi 2013:169).
Menuju restitusi hak
Putusan MK 35 adalah tonggak baru dalam politik agraria
Indonesia, terutama dengan menunjukkan bagaimana Mahkamah Konstitusi mengoreksi
penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan dalam membuat aturan dalam UU
No 41/1999 tentang Kehutanan yang menyangkal status masyarakat hukum adat
sebagai pemilik wilayah adatnya, penyandang hak, dan subyek hukum tersendiri.
Dengan mengajukan uji materi atas UU No 41/1999 ke Mahkamah Konstitusi,
AMAN dan dua komunitas anggotanya memperjuangkan status kepemilikan
wilayah adat. AMAN sesungguhnya menggugat mekanisme kategorisasi yang
diskriminatif yang menjadi dasar dari proses perampasan wilayah adat dan
berbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang mereka alami.
Yang kita saksikan pasca Putusan MK 35 itu adalah jalan yang
terjal dan mendaki menuju restitusi hak dan pemulihan status masyarakat hukum
adat sebagai pemilik wilayah adatnya dalam konteks konflik-konflik agraria
struktural yang kronis serta meluas. Penulis menyimpulkan bahwa pengakuan formal
atas status masyarakat adat sebagai subyek pemangku hak, terutama berhubungan
dengan hak kepemilikan atas wilayah adat, sangat sulit untuk diwujudkan segera.
Hal itu karena komitmen politik elite parlemen dan pemerintah pusat pada akhir
masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat lemah, dalam kondisi
di mana lembaga-lembaga negara dan kementerian serta lembaga pemerintah pusat
yang mengurus politik agraria sangat terfragmentasi.
Harapan kita tumpukan pada pasangan presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia yang terpilih karena mereka telah menuliskan dalam visi,
misi, dan program aksinya yang telah berkomitmen untuk melindungi serta
memajukan hak-hak masyarakat adat. Dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan
hak-hak masyarakat adat, dengan agenda peninjauan ulang peraturan
perundang-undangan, legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat
Adat, RUU Pertanahan, RUU Penyelesaian Konflik Agraria, dan lainnya,
pembentukan komisi independen untuk masyarakat adat, serta pembentukan
desa-desa adat sebagai subyek hukum masyarakat adat.
Noer Fauzi Rachman
Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria;
Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan, IPB
Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria;
Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan, IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar