Rabu, 20 Agustus 2014

 Domain Rakyat versus Negara
“Kemerdekaan atas Tanah dan Air”


Oleh:
Ubaidi Abdul Halim
Kepala Biro OKK AMAN Malut


Semenjak masuknya undang-undang desa, hak-hak masyarakat adat perlahan-lahan hilang. Sistem dan tata cara pengakuan tentang tanah dan wilayah adat diubah sesuai dengan selera rezim. Kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di hutan. Tanah-tanah masyarakat adat di Pulau Halmahera bukan hak berian dari negara tapi merupakan hak “bawaan” sejak lahir berdasarkan sejarah asal-usul masyarakat adat yang menempati wilayah tertentu, dan tanah sebenarnya adalah warisan para leluhur yang hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, regulasi-regulasi sektoral muncul di sana-sini, tujuannya adalah mengurangi kewenangan sistem kelembagaan adat yang dibangun sejak ribuan tahun yang lalu. Kepala-kepala adat pun mengurus hal-hal yang tidak substansial seperti perkawinan dan acara sunatan, sementara tanah, hutan dan sumberdaya lainnya diserahkan kepada negara. Dari sini drama perampasan dan penyerobotan hak-hak masyarakat adat terjadi.


Hasil obsevasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara di beberapa komunitas masyarakat adat, menunjukkan bahwa istilah sertifikat tanah sebagai bukti hukum adanya hak-hak atas tanah tidak dikenal di kalangan masyarakat adat. Pengakuan tentang kepemilikan tanah hanya berdasarkan sejarah asal-usul. Soal batas-batas wilayah adat yang mereka kenal adalah mental map (peta mental) biasanya batas wilayah adat itu, simbol yang digunakan adalah alam ,misalnya batas sungai, batu besar, pohon-pohon besar, gunung, bukit dan tanjung.

Tambang dan Sawit Ibarat Monster

Kebijakan pemerintah terkait 335  izin usaha pertambangan (data Kementerian ESDM) di luar dua kontrak karya yaitu PT. Weda Bay Nickel dan PT. Nusa Halmahera Minerals di Pulau Halmahera seperti menebar racun. Pengelolaan nikel dan sumber daya alam lainnya di Pulau Halmahera ibarat “monster kerkepala sembilan”. Monster legendaris yang diceritakan di dalam mithologi Yunani kuno. Monster berkepala sembilan yang merupakan satu dari sembilan kepala adalah abadi, sedangkan delapan kepala lainnya akan menumbuhkan dua kepala baru jika dipotong. Seperti itulah, kisah izin investasi sumberdaya alam di Maluku Utara, jika dicabut satu maka akan tumbuh subur di daerah lain.

Kebijakan pengelolaan pun justru sangat menggelisahkan serta menuai kecaman aktivis dan penggiat lingkungan di  Maluku Utara. Sejumlah perencanaan telah disusun untuk pembangunan industri estraktif berskala besar mulai dari pembagunan smelter, reboisasi, jaminan reklamasi sampai program “suap” seperti dana sosial responsibility (CSR). Eksploitasi sumberdaya alam dipastikan akan menimbulkan konflik sosial di mana-mana, mulai dari masalah sengketa tanah antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal, krisis air bersih, kerawanan pangan, masalah lingkungan, kesehatan, pendidikan, adat dan budaya serta peralihan profesi warga menjadi buruh pabrik perusahaan tambang maupun pabrik perkebunan kelapa sawit.

Sumber-sumber produksi masyarakat menjadi sarana kontestasi antara pemerintah, pengusaha termasuk masyarakat adat. Di sana akan tercipta ruang-ruang pertarungan dan perundingan baru, siapa yang kuat akan menang dan siapa yang lemah akan kalah. Merebut sumber produksi tidaklah dilakukan dengan cara imperialisme baru dengan menggunakan agresi militer, cukup menakuti mereka dengan undang-undang dan  mempengaruhi pikiran serta menyogok para bandit-bandit itu. Biasanya dalam pertarungan ini, dimenangkan oleh pengusaha dan lagi-lagi masyarakat adat dikorbankan. Jika masyarakat adat melakukan protes maka mereka dianggap anti pembangunan dan mengganggu alat fital negara. Tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adat akan dicaplok dan disulap menjadi tandus serta akan menghilangkan sumber-sumber produksi agraria yang berimplikasi buruk pada hancurnya wilayah produksi masyarakat.Masyarakat adat diakui di dalamnya.

Beberapa hari ini PT. Manggala Rimba Sejahtera, sala satu perusahaan perkebunan sawit mewarnai halaman-halaman media massa lokal. Protes dan penolakan perkebunan sawit mengalir dan datang dengan sendirinya dari warga dengan tujuan investasi kelapa sawit segera ditanggapi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah atau bahkan dicabut izin investasinya karena sangat mengganggu sumber produksi masyarakat seperti pala, cengkih dan kopra.

Dugaan sementara Wakil Bupati memancing “monster” itu, untuk datang ke Patani. Penetapan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan sekitar 11.870 hektar Kawasan Hutan Produksi (KHP) di Kabupaten Halmahera Tengah tepatnya di Patani Timur, untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT. Rimba Manggala Sejahtera  tidak melalui proses sosial yang melibatkan masyarakat adat. Jika Pemerintah daerah menengok kembali Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 18B dan 28I) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 terhadap Undang-Undang Kehutanan No.40 tahun 1999.  Maka semua masyarakat adat Patani akan selamat dari bencana buasnya “monster” ini, karena sewaktu-waktu  akan mengeluarkan racun dan menghisap darah daging rakyat.

Tapi pada tanggal 22 Februari 2014 lalu Wakil Bupati Halteng Soksi Hi. Ahmad justru mengorganisir camat dan beberapa kepala desa bertemu dengan Direktur PT.Manggala Rimba Sejahtera. Mereka dipaksa untuk menyetujui kehadiran perusahaan. Sementara fakta di lapangan banyak masyarakat adat yang menolak keberadaan perusahan, seperti diberitakan sebuah media lokal.

Saat lahan pala, cengke dan kelapa dikonversikan menjadi perkebunan sawit monokultur, masyarakat adat akan kehilangan hak serta sumberdaya alam di dalamnya sebagai menyumbang  90% pendapatan masyarakat adat Patani. Selama ini, kehidupan mereka bergantung pada pala, cengkih dan kopra. Perkebunan sawit sering dipromosikan dan ditawarkan sebagai solusi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Menurut banyak orang perkebunan sawit justru akan melahirkan masalah sosial dan lingkungan.

Perusahan sawit membutuhkan lahan yang luas dan air yang banyak untuk mendapatkan keutungan lebih besar. Perusahaan akan berjanji setelah izin selesai tanah ini akan dikembalikan kepada pemilik lahan. Sesunguhnya saat perusahaan mengatakan akan mengembalikan tanah kepada warga yang dimiliki, tapi yang dimaksud adalah tanah akan kembali kepada negara bukan kepada masyarakat adat (lihat film Sawit “Suara dari Perkebunan Sawit”) “jangan dibeking”Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan semua pemerintah kabupaten harus belajar dari Provinsi Kalimantan dan Sumatera atas dampak perusahaan tambang dan perkebunan sawit di wilayah adat mereka. Pemerintah daerah jangan lagi membujuk  masyarakat untuk menerima kebohongan ini dan menjanjikan serta menawarkan jaminan pekerjaan justru pemerintah harus memberikan informasi  kepada masyarakat secara utuh tentang rencana kejahatan perusahaan, yang masuk di wilayah-wilayah adat. Menolak perkebunan sawit dan perusahaan tambang adalah keputusan terbaik untuk menyelamatkan kampung anda dan masa depan anak cucu kita. Semoga. (*)

Sumber : http://poskomalut.com/2014/08/20/domain-rakyat-versus-negara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar