![]() |
Masyarakat adat aksi meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara |
“Tanah Adat.” “Tanah Adat.” Plang-plang ini
terpampang di sepanjang lahan adat yang diklaim perusahaan tambang di Halmahera
Tengah, Maluku Utara. Plang ini ada tertancap di tanah maupun di batang-batang
pohon. Warga juga menutup jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel dan PT Tekindo,
pada Senin (3/6/13), dari pukul 07.00-13.00. Mereka adalah warga Desa Woe
Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, yang ingin memberikan
pesan kepada perusahaan tambang agar tak mengganggu lahan adat mereka.
Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Provinsi
Maluku Utara (Malut), PT Weda Bay Nickel (WBN) memiliki konsesi tambang seluas
54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan
lindung! Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun di depan
mata.
Sejak awal masuk pada 1999, perusahaan sudah
berkonflik dengan masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahaan
bersiap eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir
dari tanah leluhur mereka.
Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut mendesak
pemerintah meninjau kembali izin PT WBN. Jika tidak, dia memperkirakan, ke
depan konflik agraria dan kerusakan lingkungan di kawasan ini akan makin parah.
Terlebih lagi, perusahaan tambang ini bagian dari master plan percepatan dan
perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI)—yang getol dipejuangkan oleh pemerintah
meskipun kerab menciptakan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.
Menurut dia, konflik lahan antara perusahaan
dengan masyarakat adat terjadi di beberapa desa, seperti Desa Gemaf, Kobe,
Sagea, Lelilef, dan Tobelo Dalam. Perusahaan tambang masuk, hak-hak
masyarakat adatpun terampas. “Perampasan tanah adat Suku Sawai, desa-desa
mereka masuk konsesi. Juga dengan Suku Tobelo Dalam. Wilayah adat mereka
dikuasai perusahaan,” katanya di Jakarta, Senin(3/6/13).
Tak hanya perampasan lahan, beberapa desa
terancam di relokasi karena kampung masuk dalam konsesi perusahaan. Di
desa-desa masyarakat adat itu ada sekitar 140 an keluarga. “Perusahaan langsung
masuk saja tanpa bicara atau ada kesepakatan dengan warga, karena merasa
berbekal izin pemerintah.”
Warga pun melawan. Protes berkali-kali tetapi
seakan tak ada yang mendengar, baik pemerintah apalagi pengusaha. Pada 2012,
saking emosi, warga membakar alat-alat perusahaan. Warga ditangkap, dan
dipenjara. “Perusahaan gunakan polisi dan tentara, kejaksaan dan polisi hutan
untuk mengkapling sepihak wilayah yang jadi perkebunan masyarakat itu.”
Para aparat pemerintah yang bertindak bak
perpanjangan tangan perusahaan ini menakut-nakuti masyarakat dengan pasal-pasal
yang bisa mempidanakan mereka. “Misal, warga tak boleh masuk hutan, dibacakan
aturan terkait itu. Warga jadi takut ke hutan karena takut tertanggap.”
Padahal, sejak dulu kala, hutan adalah tempat bergantung hidup masyarakat adat
ini.
‘Tim’ itu juga mendatangi lahan-lahan warga dan
meminta masyarakat keluar. Mereka memasang police line agar warga tak
masuk. Itu terjadi di lahan adat Suku Sawai, 23 April 2013.
Hutan adat telah ‘diberikan’ izin kelola kepada
perusahaan oleh pemerintah. Apakah masyarakat yang sudah hidup turun menurun
hidup di sekitar maupun di dalam hutan, harus tersingkir?” Belum lagi ancaman
kerusakan ekologi jika perusahaan ini beroperasi. “Kini masyarakat adat
kehilangan tanah dan sumber daya alam. Hutan dan tanah bagi dua suku ini adalah
kehidupan mereka, bukan perusahaan tambang,” ujar Munadi.
Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi
Walhi Nasional mengatakan, proses penetapan wilayah masyarakat menjadi
pertambangan tanpa melibatkan pertisipasi warga.
“Perusahaan dan pemerintah bikin kontrak karya
1996, ini tak libatkan warga terdampak. Jadi, kita minta harus ada evaluasi
izin pertambangan ini. Keluarkan wilayah masyarakat adat dari kontrak karya.
Ini bentuk rongrongan teritori warga,” ujar dia.
Dia mencontohkan, Suku Tobelo Dalam, masih hidup
dari alam, bahkan beberapa dari mereka masih nomaden dan harus dilindungi.
“Jadi, ruang berburu dan bertani masyarakat harus dikeluarkan dari konsesi
perusahaan ini.”
Menurut Pius, posisi masyarakat adat seharusnya
kuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Mei 2013 yang menyatakan
hutan adat bukan hutan negara. Selama ini, pemerintah memberikan
izin-izin kepada perusahaan di lahan adat dengan anggapan hutan adat itu hutan
negara.
Padahal, pemerintah tak boleh sepihak menetapkan
kawasan masyarakat adat sebagai hutan negara. “Hutan adat bukan hutan negara.
Itu wilayah masyarakat adat, termasuk di Sawai dan Tobelo Dalam, harus
dikeluarkan dari konsesi tambang.”
Jika tak dikeluarkan dari konsesi, perusahaan
multinasional Eramet dari Prancis dan Mitsubishi asal Jepang ini, melanggar
ruang wilayah masyarakat adat. “Ini pelanggaran serius sebagai perusahaan
multinasional.”
Pius mengatakan, dalam waktu dekat akan ke
Prancis, sekaligus menyampaikan kasus ini kepada pemerintah negara itu. “Agar
ada evaluasi terhadap tambang ini.”
Kawasan tambang ini berada di tengah hutan primer
yang masih bagus. Hutan inipun terancam terbabat. Di pinggiran hutan
mengalir Telaga Lor, dekat Desa Sagea. Air jernih dan bersih. Ia juga terancam
tercemar. Padahal, masyarakat sekitar menggunakan air untuk kehidupan
sehari-hari. Bukan itu saja, para perempuan yang akan melahirkan pun di sungai.
“Mereka tak pakai Puskesmas, perempuan-perempuan melahirkan di air. Bagaimana
jika sumber air tercemar?”
Belum lagi keragaman hayati di kawasan ini. Pius
merasa aneh. Di kawasan ini ada program perlindungan satwa dari perburuan dan
perdagangan dari Kementerian Kehutanan didukung bank dunia. “Satu sisi ada
program perlindungan, tapi diberi izin tambang masuk yang potensi kerusakan
alam sangat besar hingga mengancam keragaman hayati, satwa dan tumbuhan di
sana.”
Kekhawatiran para pegiat lingkungan dan
masyarakat akan kerusakan lingkungan bukan tak beralasan. Di beberapa pulau di
sekitar, hutan hancur, dan lingkungan rusak terbabat tambang. Pius
mencontohkan, Pulau Cape Buli dan Pulau Gebe.
Dalam situs PT Weda Bay Nickel, tertulis: commitment
to people and nature. Mereka menyatakan beroperasi menggunakan standar
kebijakan pembangunan berkelanjutan dari Eramet. Antara lain, mengelola risiko
dan dampak kesehatan maupun lingkungan. Juga mempertahankan hubungan berbasis
kepercayaan dengan para pemangku kepentingan untuk menciptakan nilai tambah
bagi semua.Benarkah?
Pada 2010, sekitar 6.000 masyarakat Prancis
memberikan penghargaan Pinocchio kepada Eramet. Penghargaan ini memberikan
label Eramet sebagai perusahaan Prancis terburuk dalam kategori lingkungan
karena penambangan PT WBN. Bisa dibaca juga di : http://www.mongabay.co.id/2013/06/07/weda-bay-nickel-berkonflik-dengan-masyarakat-adat-hutan-lindung-pun-terancam/
![]() |
Lahan adat diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan |
![]() |
Kebun Suku Sawai diberi police line. Warga diminta keluar dari lahan yang sudah ‘diserahkan’ pemerintah kepada PT WBN, tanpa musyawarah dengan warga |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar