Jumat, 07 Juni 2013

WEDA BAY NICKEL, BERKONFIL DENGAN MASYARAKAT, HUTAN LINDUNG PUN TERANCAM

Masyarakat adat aksi meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara


“Tanah Adat.” “Tanah Adat.” Plang-plang ini terpampang di sepanjang lahan adat yang diklaim perusahaan tambang di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Plang ini ada tertancap di tanah maupun di batang-batang pohon. Warga juga menutup jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel dan PT Tekindo, pada Senin (3/6/13), dari pukul 07.00-13.00. Mereka adalah warga Desa Woe Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, yang ingin memberikan pesan kepada perusahaan tambang agar tak mengganggu lahan adat mereka.

Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara (Malut), PT Weda Bay Nickel (WBN) memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung!  Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun di depan mata.
Sejak awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahaan bersiap eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir dari tanah leluhur mereka.

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut mendesak pemerintah meninjau kembali izin PT WBN. Jika tidak, dia memperkirakan, ke depan konflik agraria dan kerusakan lingkungan di kawasan ini akan makin parah. Terlebih lagi, perusahaan tambang ini bagian dari master plan percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI)—yang getol dipejuangkan oleh pemerintah meskipun kerab menciptakan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.

Menurut dia, konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat terjadi di beberapa desa, seperti Desa Gemaf, Kobe, Sagea, Lelilef, dan Tobelo Dalam.  Perusahaan tambang masuk, hak-hak masyarakat adatpun terampas. “Perampasan tanah adat Suku Sawai, desa-desa mereka masuk konsesi. Juga dengan Suku Tobelo Dalam. Wilayah adat mereka dikuasai perusahaan,” katanya di Jakarta, Senin(3/6/13).

Tak hanya perampasan lahan, beberapa desa terancam di relokasi karena kampung masuk dalam konsesi perusahaan. Di desa-desa masyarakat adat itu ada sekitar 140 an keluarga. “Perusahaan langsung masuk saja tanpa bicara atau ada kesepakatan dengan warga, karena merasa berbekal izin pemerintah.”
Warga pun melawan. Protes berkali-kali tetapi seakan tak ada yang mendengar, baik pemerintah apalagi pengusaha. Pada 2012, saking emosi, warga membakar alat-alat perusahaan. Warga ditangkap, dan dipenjara. “Perusahaan gunakan polisi dan tentara, kejaksaan dan polisi hutan untuk mengkapling sepihak wilayah yang jadi perkebunan masyarakat itu.”

Para aparat pemerintah yang bertindak bak perpanjangan tangan perusahaan ini menakut-nakuti masyarakat dengan pasal-pasal yang bisa mempidanakan mereka. “Misal, warga tak boleh masuk hutan, dibacakan aturan terkait itu. Warga jadi takut ke hutan karena takut tertanggap.” Padahal, sejak dulu kala, hutan adalah tempat bergantung hidup masyarakat adat ini.

‘Tim’ itu juga mendatangi lahan-lahan warga dan meminta masyarakat keluar. Mereka memasang police line agar warga tak masuk.  Itu terjadi di lahan adat Suku Sawai, 23 April 2013.
Hutan adat telah ‘diberikan’ izin kelola kepada perusahaan oleh pemerintah. Apakah masyarakat yang sudah hidup turun menurun hidup di sekitar maupun di dalam hutan, harus tersingkir?” Belum lagi ancaman kerusakan ekologi jika perusahaan ini beroperasi. “Kini masyarakat adat kehilangan tanah dan sumber daya alam. Hutan dan tanah bagi dua suku ini adalah kehidupan mereka, bukan perusahaan tambang,” ujar Munadi.

Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional mengatakan, proses penetapan wilayah masyarakat menjadi pertambangan tanpa melibatkan pertisipasi warga.
“Perusahaan dan pemerintah bikin kontrak karya 1996, ini tak libatkan warga terdampak. Jadi, kita minta harus ada evaluasi izin pertambangan ini. Keluarkan wilayah masyarakat adat dari kontrak karya. Ini bentuk rongrongan teritori warga,” ujar dia.

Dia mencontohkan, Suku Tobelo Dalam, masih hidup dari alam, bahkan beberapa dari mereka masih nomaden dan harus dilindungi. “Jadi, ruang berburu dan bertani masyarakat harus dikeluarkan dari konsesi perusahaan ini.”
Menurut Pius, posisi masyarakat adat seharusnya kuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Mei 2013 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.  Selama ini, pemerintah memberikan izin-izin kepada perusahaan di lahan adat dengan anggapan hutan adat itu hutan negara.
Padahal, pemerintah tak boleh sepihak menetapkan kawasan masyarakat adat sebagai hutan negara. “Hutan adat bukan hutan negara. Itu wilayah masyarakat adat, termasuk di Sawai dan Tobelo Dalam, harus dikeluarkan dari konsesi tambang.”

Jika tak dikeluarkan dari konsesi, perusahaan multinasional Eramet dari Prancis dan Mitsubishi asal Jepang ini, melanggar ruang wilayah masyarakat adat. “Ini pelanggaran serius sebagai perusahaan multinasional.”

Pius mengatakan, dalam waktu dekat akan ke Prancis, sekaligus menyampaikan kasus ini kepada pemerintah negara itu. “Agar ada evaluasi terhadap tambang ini.”
Kawasan tambang ini berada di tengah hutan primer yang masih bagus. Hutan inipun terancam terbabat.  Di pinggiran hutan mengalir Telaga Lor, dekat Desa Sagea. Air jernih dan bersih. Ia juga terancam tercemar. Padahal, masyarakat sekitar menggunakan air untuk kehidupan sehari-hari. Bukan itu saja, para perempuan yang akan melahirkan pun di sungai. “Mereka tak pakai Puskesmas, perempuan-perempuan melahirkan di air. Bagaimana jika sumber air tercemar?”

Belum lagi keragaman hayati di kawasan ini. Pius merasa aneh. Di kawasan ini ada program perlindungan satwa dari perburuan dan perdagangan dari Kementerian Kehutanan didukung bank dunia. “Satu sisi ada program perlindungan, tapi diberi izin tambang masuk yang potensi kerusakan alam sangat besar hingga mengancam keragaman hayati, satwa dan tumbuhan di sana.”

Kekhawatiran para pegiat lingkungan dan masyarakat akan kerusakan lingkungan bukan tak beralasan. Di beberapa pulau di sekitar, hutan hancur, dan lingkungan rusak terbabat tambang. Pius mencontohkan, Pulau Cape Buli dan Pulau Gebe.

Dalam situs PT Weda Bay Nickel, tertulis: commitment to people and nature. Mereka menyatakan beroperasi menggunakan standar kebijakan pembangunan berkelanjutan dari Eramet. Antara lain, mengelola risiko dan dampak kesehatan maupun lingkungan. Juga mempertahankan hubungan berbasis kepercayaan dengan para pemangku kepentingan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua.Benarkah?

Pada 2010, sekitar 6.000 masyarakat Prancis memberikan penghargaan Pinocchio kepada Eramet. Penghargaan ini memberikan label Eramet sebagai perusahaan Prancis terburuk dalam kategori lingkungan karena penambangan PT WBN. Bisa dibaca juga di : http://www.mongabay.co.id/2013/06/07/weda-bay-nickel-berkonflik-dengan-masyarakat-adat-hutan-lindung-pun-terancam/

Lahan adat diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan

Setelah aksi kesekian kali, pada Senin (3/6/13), warga kembali memblokir jalan yang dibuat perusahaan di wilayah adat. Masyarakat juga memberi plang-plang bertuliskan,” tanah adat,” di sepanjang lahan adat yang diklaim perusahaan

Kebun Suku Sawai diberi police line. Warga diminta keluar dari lahan yang sudah ‘diserahkan’ pemerintah kepada PT WBN, tanpa musyawarah dengan warga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar