Jumat, 26 April 2013

RITUAL SOPIK : SOLUSI PENYELESAIAN HUKUM PERDATA MASYARAKAT TAHANE



“Di tengah-tengah rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi oleh proses hukum di negeri ini, maka masyarakat bisa kembali ke kearifan local untuk mencari alternatif. Ritual Sopik mungkin menjadi solusi bagi pencari keadilan hukum, khususnya perkara perdata.”

Dalam skripsinya berjudul “Upacara Sopik: Kearifan local dalam penyelesaian sengketa di kalangan masyarakat Tahane”, Sukran Iksan menulis, pada zaman dahulu ada satu komunitas yang bermukim di sebuah desa bernama Bunga Daiyo atau Daiyo Bunga (sekarang Tahane, Makian Pulau). Desa itu dipimpin seorang Raja bernama Barbara. Raja Barbara memiliki dua orang putra bernama Machimatali dan Simatali.

Setelah Raja Barbara Wafat, kedua putranya saling merebut Tahta, akhirnya kedua sepakat meninggalkan Desa Bunga Daiyo. Machiamatali sang kakak bersama pengikutnya ke Pulau Kayowa dan mendirikan perkampungan Malabbono (Kampung tua red) sementara Simatali dan Sekelompoknya bergeser kedolik Makian Tahane dan mendirikan perkampungan di sana. 

Seiring berjalannya waktu, permusuhan kedua kelompok tetap berlangsung. Masing-masing mengklaim Desa Bungan Daiyo sebagai pemiliknya. Tak jarang terjadi bakuhantam antar kedua kelompok, bahkan sampai jatuh korban jiwa.

Para tetua (Toko Masyarakat) kampong kebingungan menyaksikan pertentangan kedua kelompok kakak beradik ini. Suda banyak solusi ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut, tapi tak ada satu pun yang jitu. Permusuhan tetap berlangsung. Hingga satu ketika, datang seorang ulama penyebar agama islam. Sebelumnya, ulama itu singga dibeberapah desa di pulau Makian tetapi ditolak kehadirannya oleh masyarakat setempat. Sang ulama tersebut akhirnya diterimah  oleh Masyarakat Bunga Daiyo.

Di desa itu ia mulai menyebarkan Agama Islam. Hamper seluruh masyarakat Desa Bunga Daiyo memeluk Agama baru itu. Meski begitu, perebutan Wilayah antara Machiamatali dengan Simata terus berlanjut.

Atas petunjuk sang pencipta, sang ulama menawarkan sebuah solusi untuk menghentikan perseteruan dua kelompok itu. Solusi yang  ditawarkan adalah “SOPIK” dengan cara ini diyakini dapat menentukan siapa  pemilik sah atau berhak menguasai Wilayah yang di sengketakan. Dari sinilah awal mula terjadi Ritual Sopik bagi masyarakat Tahane yang hingga kini masih dilakukan untk mengadili sengketa perdata, terutama sengketa tanah, Batas Kebun, Lokasi Rumah, pemilikan ternak dan lain-lain.

Sopik berasal dari kata “SO” dalam bahasa Tahane Artinya Mandi atau Menyelam di air yang dalam, seperti di laut, di kolam atau sumur dan sungai. Biasanya, proses pelaksanaan Ritual Sopik ini  di lakukan hari jumat suda di umumkan kepada masyarakat agar setelah Shalat Jumat semua warga berkumpul di lokasi  yang ditetapkan yang biasanya di pinggiran pantai untuk menyaksikan pelaksanaan Ritual Sopik Tersebut.
Para pihak yang bersengketa di haruskan memilih masinh-masing perwakilan satu orang guna melaksanakan Ritual Sopik. Siapa saja dipilih untuk mewakili para pihak, asal jangan dari keluarga dekat (keluarga Inti). Ini semua dimaksudkan untuk menghindari unsure subjektifitas demi mencapai keadilan selain untuk menghindari korban jiwa dalam pelaksanaan ritual Sopik.

Mengapa ? karna dalam pelaksanaan Sopik, yang mewakili para pihak menyelan di laut dengan menggunakan batu sebagai pemberat. Siapa yang bertahan lebih lama di dalam air, maka secara otomatis pihak yang di wakilinya memenangkan perkara.
Dan dalam Ritual Sopik tidak mengenal siapa yang lebih panjang nafasnya atau ahli menahan nafas selama mungki di dalam laut. Kerena panjang pendeknya nafas atau lama tidaknya berada dalam air sangat tergantung pada pihak yang diwakilinya.

Proses Ritual Sopik di pimpin seorang Imam (pemuka Agama) didampingi tokoh agama, tokoh adat dan pemerintah setempat. Dua orang wakil pada pihak masing-masing memegang batu yang akan digunakan sebagai pemberat tubuh saat menyelam. Sebelumnya, batu-batu di bacakan Doanya oleh imam dan staf sara lainnya. Setelah diberikan batu, kedua orang wakil parah pihak itu berjalan ke laut hingga air sebatas Leher. Kemudian menuggu aba-aba dari Imam baru menyelam bersama.

Aba-aba dari Imam berupa Syalawat sebanyak tiga Kali. Pada bacaan Syalawat yang ketiga, keduanya langsung menceburkan diri kedalam laut dengan menggunakan pemberat dari batu itu. Saat itu ketegangan menyilimuti semua masyarakat yang menyaksikan. Karena menunggu siapa yang akan memenangkan perkara. Jika sala satu wakil yang menyelam itu muncul duluan ke permukaan laut, tandanya ia kala dan otomatis yang masih bertahan dalam air itu sebagai pemenang. Kalau suda demikian, maka pihak yang bersengketa dengan iklas menerima kekelahan maaupun kemenangan. Kedua pihak bersalaman, Doa pun di bacakan pertanda pengadilan perkara telah usai.

Menurut  pengalaman orang-orang yang perna mewakili para pihak dalam melakukan Ritual Sopik itu, jika pihak yang diwakilinya pada posisi bersala, maka ketika menyelam, nafasnya jadi sesak, semua material pasir dan bebatuan berputar naik menyilimutunya, bahkan ikan-ikan kecil entah dari mana datang mengerumuni dan mematok bagian mukanya, sehingga memaksa bersangkutan melepaskan batu pemberat tubuh dan segerah muncul ke permuakan laut. Jika bertahan mengakibatkan korban jiwa.
Sementara orang yang mewakili pihak yang pada posisi kebenaran, maka selam dalam air terasa pulas  tertidur di kasur yang empuk, sehingga kalau tidak dikagetkan dengan leparan batu dari Imam yang memimpim upacara ritual itu,mungkinsaja seharian di dalam airpun tiak apa-apa.

Menurut H.Asis.H Amuda, Imam Desa Moloku, Gane Barat Utara, bahwa Filosofi Sopik ini adalah “Air”. Mengaku berpengalaman menjadi sala satu wakil dari pihak yang bersengketa untuk melakukan Ritual Sopik di beberapa waktu lalu maupun sekarang sebagai Imam yang sering memimpin Upacara Ritual Sopik, bahwa Air sebagai unsure inti dalam ritual tersebut, dikaji dari segi mengandung makna yang dalam. Sehingga cocok dipakai untuk mencari keadilan dan kebenaran.

Air dalam tingkatan Tasawuf menurut dia, masuk dalam tingkat tarekat. Kecuali Adam (Nabi Adam) semua manusia tercipta dari setetes air. Dari air pula Bumi ini disuburkan, pepohonan tumbuh,tanamanpun hidup. Dan dari air jualah semua makhuk hidup minum dan dipakai sebagai meteri pembersi tubuh. Seorang tukang batu pasti perna menggunakan air untuk mengukur keseimbangan.

Artinya, dengan air kita bisa hidup, kita dapat membersihkan diri, kita dapat menukur keseimbangan dan kebenaran sebuah peristiwa perdata. Maka Ritual Sopik, secarah Adat dapat dijadikan solusi penyelesaian kasus-kasus perdata di masyarakat. (AR. Sangaji).
Sumber: MOMENTUM, edisi 25 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar