PERTARUNGAN HIDUP DI
OPEN PIT
Oleh : Munadi Kilkoda
Aktivis AMAN Malut
![]() | |
Penambang rakyat dari Soa Pagu di lokasi Open Pit Donga |
Berikut lirik lagu
Indonesia Raya “Indonesia Tanah Air ku” diganti oleh masyarakat Soa Pagu
menjadi “Indonesia Air – Air ku”. Mereka menggambarkan eksploitasi sumberdaya
alam yang dilakukan secara massif di wilayah adat Soa Pagu, Halmahera Utara. Eksploitasi
ini dilakukan sejak tahun 1997 oleh pemodal asing dari Australia yakni PT Nusa
Halmahera Mineral dengan luasan konsesi sebesar
29.622 Ha.
Eksploitasi dengan
menggaruk tanah ini juga pernah dilakukan oleh PT ANTAM di Pulau Gebe,
Halmahera Tengah sampai tanah tersebut sudah membentuk satu pulau di Jepang.
Bahkan lebih memprihatinkan kejahatan PT. ANTAM bersekutu dengan beberapa IUP
mengeksploitasi hutan di Buli dan Pulau Gee, Halmahera Timur.
Hidup semakin sulit, lapangan pekerja yang tidak seimbang
dengan angkatan kerja, hilangnya sumber – sumber kehidupan lain, sedangkan
kebutuhan pokok terus meningkat dari hari
ke hari. Itu yang dirasakan oleh masyarakat adat Soa Pagu. Kondisi ini
memaksakan sebagian warga menjadikan malam sebagai siang untuk menggais rejeki
di lokasi open pit perusahan NHM. Mereka adalah penambang tanpa izin (illegal) yang
berasal dari desa – desa di Soa Pagu maupun suku pendatang.
Malam sekitar pukul 12.00 penambang ini menyusuri hutan yang
gelap gulita hanya dengan bermodal senter. Berjalan sekitar 4 jam untuk sampai
ke open pit. Bahkan juga melintasi sungai dan gunung yang menjulang tinggi.
Mereka terdiri dari laki – laki dan perempuan, bekerja berkelompok. Dalam satu
kelompok bisa 4 – 6 orang, bahkan juga sampai 100 orang dalam semalam yang
melakukan penambangan di lokasi open pit. Mereka harus bertempur dengan dingin
di tengah malam bahkan hujan pun tak menyurutkan semangat mereka. Dengan
peralatanan seadanya, penambang ini berharap bisa memperoleh hasil yang
memuaskan.
Sepanjang jalan, mereka harus berhati – hati. Pandangan
mereka tak putus dari sinar cahaya mobil sebagai penanda ada patroli security
perusahan. Jika patroli datang, serentak ada komando untuk menghindar dan
bersembunyi di semak – semak pohon. Karena kalau kedapatan, mereka ditangkap
dan dihukum oleh pihak keamanan perusahan.
Bagi mereka, saat ini tidak ada lagi pekerjaan yang mereka
lakukan selain menambang. Menambang merupakan pekerjan yang satu - satunya,
hasilnya juga sangat memuaskan untuk kecukupan hidup keluarga. Proses
pengolahan dari batu menjadi emas, biasanya dilakukan di tromol milik warga
local atau penguasa lain. Setelah diolah, lalu transaksi dilakukan. Dalam
semalam mereka bisa memperoleh hasil 5 – 15 gram emas, jika di rupiahkan, uang
yang di dapat bisa sampai 5 jutaan, namun kemudian harus dibagi dengan anggota
kelompok dan pihak aparat. Aktifitas menambang di lokasi open pit itu tidak
selamanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus di hadapi, baik resiko
kecelakaan karena rawan longsor, maupun tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Brimob dan Security perusahan yang menjaga lokasi tersebut.
Lokasi menambang dilakukan di open pit (lubang) yang
terletak di gunung Dunga. Lebar open pit sekitar 1 kilo, sedangkan kedalaman
sekitar 50 meter. Tebingnya menjulang tinggi, batu – batuan yang tidak terlalu
kuat melekat di tanah berpotensi menimbulkan longsor setiap saat. Sedangkan
aktifitas penambang dilakukan di dasar tanah yang jika terjadi longsor maka
akan pasti menimbun mereka. Bahkan juga ada aktifitas eksavator dan truk milik
perusahan yang bekerja mengangkut tanah diatas open pit. Beberapa waktu lalu
salah satu penambang meninggalkan dunia karena tertindis batu yang jatuh karena
longsor.
Tidak saja rawan kecelakaan, bahkan juga rawan terjadi
kekerasan yang dilakukan oleh Brimob dan security perusahan. Tiga orang warga
Soa Pagu pernah di pukul sampai babak belur oleh Brimob saat menambang. Malam
berikutnya hampir 100 orang terdiri dari laki – laki dan perempuan yang rata –
rata adalah masyarakat sekitar tambang di tangkap dan hasil tambangnya diambil
oleh Brimob. Karena itu penambang harus membangun kongsi dengan Brimob jika tak
mau dipukul atau diambil hasilnya. Kongsi itu dengan membagi dua hasil tambang
yang telah dijual. Itulah hokum rimba di lokasi tambang
Penambangan rakyat di dalam open pit ini sudah dilakukan
sejak dua bulan lalu. Dan dilakukan hampir setiap malam. Mereka berjalan ke
lokasi pada malam hari dan pulang pada siang hari. Sebagian memilih membuat
tenda dan bermalam di hutan karena jarak dari lokasi tambang dan perkampungan
sangat jauh. Tidak setiap malam mereka bisa memperoleh hasil yang memuaskan.
Bahkan sering harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil tambangnya
diambil oleh Brimob dan security.
Penambang ini tak pernah khawatir dengan ancaman yang ada
walaupun kematian atau di pukul ada di depan mata, yang penting mereka bisa
memperoleh hasil untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Susahnya menjadi pekerjaan
lain membuat mereka nekat menempuh jalan pintas untuk membangun hidup.
Kilauan emas diatas tanah adat Soa Pagu ini telah banyak
mendatangkan masalah. Sejak tahun 1997, ikan teri mulai hilang di teluk Kao.
Ikan teri adalah primadona dan menjadi lumbung ekonomi masyarakat adat Pagu.
Lalu dugaan terjadi pencemaran di beberapa sungai, salah satunya sungai kobok
sebagai sumber kehidupan masyarakat Tomabaru. Muncul juga penyakit benjol -
benjol yang terindikasi karena konsumsi air yang tercemar oleh limbah
perusahan. Berkurangnya hasil buruan, bahkan juga pembukaan lahan baru oleh
perusahan dalam wilayah adat Pagu yang tidak pernah dikomunikasikan kepada
masyarakat adat.
Penguasaan wilayah adat secara sepihak oleh perusahan ini
membuat akses masyarakat adat Soa Pagu terhadap asset sumberdaya alam menjadi
hilang. Kemiskinan menjadi tontonan diatas kilauan emas, karena kekayaan itu
hanya dinikmati oleh segelintir orang di negeri ini. Kedaulatan masyarakat adat
Soa Pagu tercerabut oleh karena UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan UU Kehutanan
No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan pemberian izin eksploitasi PT Nusa Halmahera
Mineral (PT NHM) oleh Negara tanpa mengindahkan hak – hak masyarakat adat Soa
Pagu yang juga dilindungi dalam UUD 1945.
Identitas budaya dan hak tradisional masyrakat adat merupakan
hak konstitusional, termasuk di dalamnya adalah hak Soa Pagu atas tanah,
wilayah dan sumberdaya alam yang saat ini dikuasai oleh PT. NHM. Penegasan
dalam UUD 1945 ini semestinya mengharuskan pemerintah Indonesia, pemerintah
provinsi Maluku Utara dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara untuk memaksakan
PT. NHM kembali bernegosiasi dengan masyarakat adat Soa Pagu sebagai pemilik
wilayah adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagai
prinsip baku dalam negosiasi tersebut, agar masyarakat adat Soa Pagu bisa
berdaulat, mandiri dan bermartabat dalam membangun hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar