Minggu, 17 Februari 2013

PERTARUNGAN HIDUP DI OPEN PIT



PERTARUNGAN HIDUP DI OPEN PIT
Oleh : Munadi Kilkoda
Aktivis AMAN Malut

Penambang rakyat dari Soa Pagu di lokasi Open Pit Donga
Berikut lirik lagu Indonesia Raya “Indonesia Tanah Air ku” diganti oleh masyarakat Soa Pagu menjadi “Indonesia Air – Air ku”. Mereka menggambarkan eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara massif di wilayah adat Soa Pagu, Halmahera Utara. Eksploitasi ini dilakukan sejak tahun 1997 oleh pemodal asing dari Australia yakni PT Nusa Halmahera Mineral dengan luasan konsesi sebesar 29.622 Ha.
Eksploitasi dengan menggaruk tanah ini juga pernah dilakukan oleh PT ANTAM di Pulau Gebe, Halmahera Tengah sampai tanah tersebut sudah membentuk satu pulau di Jepang. Bahkan lebih memprihatinkan kejahatan PT. ANTAM bersekutu dengan beberapa IUP mengeksploitasi hutan di Buli dan Pulau Gee, Halmahera Timur.
Hidup semakin sulit, lapangan pekerja yang tidak seimbang dengan angkatan kerja, hilangnya sumber – sumber kehidupan lain, sedangkan kebutuhan pokok terus meningkat dari hari  ke hari. Itu yang dirasakan oleh masyarakat adat Soa Pagu. Kondisi ini memaksakan sebagian warga menjadikan malam sebagai siang untuk menggais rejeki di lokasi open pit perusahan NHM. Mereka adalah penambang tanpa izin (illegal) yang berasal dari desa – desa di Soa Pagu maupun suku pendatang.
Malam sekitar pukul 12.00 penambang ini menyusuri hutan yang gelap gulita hanya dengan bermodal senter. Berjalan sekitar 4 jam untuk sampai ke open pit. Bahkan juga melintasi sungai dan gunung yang menjulang tinggi. Mereka terdiri dari laki – laki dan perempuan, bekerja berkelompok. Dalam satu kelompok bisa 4 – 6 orang, bahkan juga sampai 100 orang dalam semalam yang melakukan penambangan di lokasi open pit. Mereka harus bertempur dengan dingin di tengah malam bahkan hujan pun tak menyurutkan semangat mereka. Dengan peralatanan seadanya, penambang ini berharap bisa memperoleh hasil yang memuaskan.
Sepanjang jalan, mereka harus berhati – hati. Pandangan mereka tak putus dari sinar cahaya mobil sebagai penanda ada patroli security perusahan. Jika patroli datang, serentak ada komando untuk menghindar dan bersembunyi di semak – semak pohon. Karena kalau kedapatan, mereka ditangkap dan dihukum oleh pihak keamanan perusahan.  
Bagi mereka, saat ini tidak ada lagi pekerjaan yang mereka lakukan selain menambang. Menambang merupakan pekerjan yang satu - satunya, hasilnya juga sangat memuaskan untuk kecukupan hidup keluarga. Proses pengolahan dari batu menjadi emas, biasanya dilakukan di tromol milik warga local atau penguasa lain. Setelah diolah, lalu transaksi dilakukan. Dalam semalam mereka bisa memperoleh hasil 5 – 15 gram emas, jika di rupiahkan, uang yang di dapat bisa sampai 5 jutaan, namun kemudian harus dibagi dengan anggota kelompok dan pihak aparat. Aktifitas menambang di lokasi open pit itu tidak selamanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus di hadapi, baik resiko kecelakaan karena rawan longsor, maupun tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Brimob dan Security perusahan yang menjaga lokasi tersebut.
Lokasi menambang dilakukan di open pit (lubang) yang terletak di gunung Dunga. Lebar open pit sekitar 1 kilo, sedangkan kedalaman sekitar 50 meter. Tebingnya menjulang tinggi, batu – batuan yang tidak terlalu kuat melekat di tanah berpotensi menimbulkan longsor setiap saat. Sedangkan aktifitas penambang dilakukan di dasar tanah yang jika terjadi longsor maka akan pasti menimbun mereka. Bahkan juga ada aktifitas eksavator dan truk milik perusahan yang bekerja mengangkut tanah diatas open pit. Beberapa waktu lalu salah satu penambang meninggalkan dunia karena tertindis batu yang jatuh karena longsor.
Tidak saja rawan kecelakaan, bahkan juga rawan terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Brimob dan security perusahan. Tiga orang warga Soa Pagu pernah di pukul sampai babak belur oleh Brimob saat menambang. Malam berikutnya hampir 100 orang terdiri dari laki – laki dan perempuan yang rata – rata adalah masyarakat sekitar tambang di tangkap dan hasil tambangnya diambil oleh Brimob. Karena itu penambang harus membangun kongsi dengan Brimob jika tak mau dipukul atau diambil hasilnya. Kongsi itu dengan membagi dua hasil tambang yang telah dijual. Itulah hokum rimba di lokasi tambang
Penambangan rakyat di dalam open pit ini sudah dilakukan sejak dua bulan lalu. Dan dilakukan hampir setiap malam. Mereka berjalan ke lokasi pada malam hari dan pulang pada siang hari. Sebagian memilih membuat tenda dan bermalam di hutan karena jarak dari lokasi tambang dan perkampungan sangat jauh. Tidak setiap malam mereka bisa memperoleh hasil yang memuaskan. Bahkan sering harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil tambangnya diambil oleh Brimob dan security.
Penambang ini tak pernah khawatir dengan ancaman yang ada walaupun kematian atau di pukul ada di depan mata, yang penting mereka bisa memperoleh hasil untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Susahnya menjadi pekerjaan lain membuat mereka nekat menempuh jalan pintas untuk membangun hidup.
Kilauan emas diatas tanah adat Soa Pagu ini telah banyak mendatangkan masalah. Sejak tahun 1997, ikan teri mulai hilang di teluk Kao. Ikan teri adalah primadona dan menjadi lumbung ekonomi masyarakat adat Pagu. Lalu dugaan terjadi pencemaran di beberapa sungai, salah satunya sungai kobok sebagai sumber kehidupan masyarakat Tomabaru. Muncul juga penyakit benjol - benjol yang terindikasi karena konsumsi air yang tercemar oleh limbah perusahan. Berkurangnya hasil buruan, bahkan juga pembukaan lahan baru oleh perusahan dalam wilayah adat Pagu yang tidak pernah dikomunikasikan kepada masyarakat adat.
Penguasaan wilayah adat secara sepihak oleh perusahan ini membuat akses masyarakat adat Soa Pagu terhadap asset sumberdaya alam menjadi hilang. Kemiskinan menjadi tontonan diatas kilauan emas, karena kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di negeri ini. Kedaulatan masyarakat adat Soa Pagu tercerabut oleh karena UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan pemberian izin eksploitasi PT Nusa Halmahera Mineral (PT NHM) oleh Negara tanpa mengindahkan hak – hak masyarakat adat Soa Pagu yang juga dilindungi dalam UUD 1945.
Identitas budaya dan hak tradisional masyrakat adat merupakan hak konstitusional, termasuk di dalamnya adalah hak Soa Pagu atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang saat ini dikuasai oleh PT. NHM. Penegasan dalam UUD 1945 ini semestinya mengharuskan pemerintah Indonesia, pemerintah provinsi Maluku Utara dan pemerintah Kabupaten Halmahera Utara untuk memaksakan PT. NHM kembali bernegosiasi dengan masyarakat adat Soa Pagu sebagai pemilik wilayah adat dan menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip baku dalam negosiasi tersebut, agar masyarakat adat Soa Pagu bisa berdaulat, mandiri dan bermartabat dalam membangun hidupnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar