Senin, 04 Februari 2013

“CABUT IZIN TAMBANG DAN KEMBALIKAN HAK – HAK MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH, WILAYAH DAN SDA DI MALUKU UTARA” / AKSI DAMAI BPAN MALUT

Salam adat,,,,,

Aksi damai BPAN MALUT, AMAN MALUT dan BEM STAIN, Mendesak pencabutan izin tambang dan pengembalian hak-hak Masyarakat Adat di bumi Moluku Kie Raha
Konflik agraria, krisis Iklim, kerusakan lingkungan, alih fungsi kawasan hutan, krisis air bersih, kerawanan pangan dan kriminalisasi sedang mewarnai kehidupan bangsa di zaman ini. Hal ini disebabkan amburadulnya kebijakan pembangunan yang dibuat oleh negara.

Contoh sederhana kebijakan penataan ruang di Maluku Utara. Potret pembangunan yang didorong oleh pemerintah kita, masih menempatkan hutan dan tanah sebagai sumber ekonomi yang semata – mata untuk meningkatkan devisa negara terutama PAD. Kebijakan yang mendorong konservasi hutan dan pengakuan hak – hak masyarakat adat masih jauh dari yang di cita-citakan. Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan sawit menjadi nomor satu. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan (kerusakan ekologi) sudah sangat memprihatinkan. Belum lagi konsesi – konsesi tambang dan sawit tersebut dominan masuk dalam wilayahnya masyarakat adat yang selama ini menjadikan wilayah mereka sebagai suporting kehidupan.

Masyarakat adat menjadi pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pembangunan yang lebih mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan mereka. Lihat saja, PT NHM yang mengeksploitasi wilayah adat suku Pagu, PT WBN yang menguasai separoh dari wilayah adat suku Sawai, PT Antam, PT Harita dll yang menguasai wilayah suku Tobelo Dalam, PT Oro Kni Global yang menguasai wilayah adat Suku Sahu, PT Sanatova diatas wilayah adat Suku Paceda, kasus Masyarakat Morotai dengan AURI, dll. Praktek penguasaan wilayah – wilayah adat ini akan terus berlanjut seiring dengan masuknya proyek nasional Masterplan Percepatan dan Perluasaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan mendorong tambang sebagai leading sektor utama di Halmahera (dengan nilai investasi 81 triliun rupiah).

Akibat dari investasi itupula, masyarakat adat semakin kesulitan untuk mengakses sumberdaya hutan dan laut, dimana – mana terjadi pencemaran lingkungan (Kasus PT Tekindo dan PT NHM), kriminalisasi kepada masyarakat adat meningkat. Masyarakat adat semakin tidak berdaya dan harus beralih profesi kerja dari petani dan nelayan menjadi buruh – buruh kasar di perusahan. Yang lebih menyakitkan konstruksi nilai baru yang dibawa seiring masuknya investasi tersebut. Nilai lokalitas sebagai pegangan hidup menjadi tidak berdaya dan masyarakat adat harus membangun hidupnya secara individualistik.

Kedepan, konflik agraria akan meningkat. Kepastian hak tenurial masih menjadi tanda tanya jika tidak ada pengakuan dan perlindungan hak – hak masyarakat adat di Maluku Utara. Pemerintah mestinya mengetahui bahwa masyarakat adat beserta hak mereka atas tanah, wilayah dan SDA merupakan warisan sejarah yang dibawah sejak turun – temurun. Bagi masyarakat adat tanah, wilayah dan SDA bukan sekedar memiliki nilai ekonomi, tapi juga memiliki nilai sosial dan menjadi identitas. Sehingga jangan heran ada hal yang disakralkan oleh masyarakat adat dalam konteks pemanfaatan ruang hidup yang ada di wilayah mereka.

Bersamaan dengan hal itulah, seruan agar pemerintah Maluku Utara menghentikan praktek pembangunan yang telah menyengsarakan masyarakat adat terus disuarakan oleh AMAN, BPAN maupun kelompok CSO lainnya. Dalam hal ini, kami menyampaikan sikap kepada institusi – institusi negara yang selama ini menjadi sumber masalah bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat adat, antara lain:

1. Mendesak kepada pemerintah daerah untuk segera menginisiatif Ranperda tentang perlindungan dan pengakuan Hak – Hak Masyarakat Adat di Maluku Utara.

2. Mendesak kepada pemerintah agar mencabut izin – izin pertambangan di wilayah masyarakat adat (PT. NHM diatas wilayah suku Pagu, PT. WBN diatas wilayah Suku Sawai dan Tobelo Dalam, PT. Antam diatas wilayah adat Tobelo Dalam, PT Sanatova diatas wilayah adat Paceda, PT. Oro Kni Global diatas wilayah adat Suku Sahu, dan izin – izin lainnya, terutama di Sula, Haltim dan Halteng) karena dinilai tidak mengikuti mekanisme Free Prior Informend Consent (FPIC) dengan masyarakat adat setempat sebagai pemilik sah wilayah yang di eksploitasi.

3. Mendesak kepada Pemerintah dan PT. Weda Bay Nikel untuk mengeluarkan izin konsesinya diatas tanah adat Suku Sawai. Bahkan juga segera menyelesaikan kasus perampasan tanah yang dilakukan perusahan kepada 154 KK Masyarakat adat Sawai (Gemaf dan Lelilef) dengan harus berdasar pada keinginan masyarakat adat setempat.

4. Mendesak kepada Bupati Halteng agar segera mencabut izin PT Tekindo Energy atas pencemaran lingkungan di Kali Kobe serta mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan tersebut yang telah memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat Dokulamo dan sekitarnya karena semakin kesulitan mengakses air bersih.

5. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Kep. Morotai dan TNI AURI untuk memastikan terlaksananya Reforma Agraria berdasarkan pada UU Agraria No. 5 tahun 1960. Dengan demikian institusi pemerintahan dapat memastikan bahwa yang lebih berhak atas tanah adalah rakyat.

6. Mendesak kepada Pemerintah untuk segera meninjau ulang MP3EI sebagai model kebijakan pembangunan yang tidak berdasar pada karakteristik Maluku Utara sebagai pulau – pulau kecil.

7. Mendesak kepada Pemkab Morotai agar segera mencabut izin PT MMC yang berada di Pulau Ngele – Ngele. Serta kepada Pemkab Halut untuk menyelesaikan kasus yang dihadapai oleh Masyarakat Adat di Galela dengan PT Global yang berhubungan dengan tanah eks. Perusahan pisang.

8. Mendesak kepada Kapolda Malut untuk menindak dengan tegas oknum anggota Brimob yang bertugas di Pos Brimob PT. NHM atas nama Bripka Burhan Papuling yang mengancam Sangaji Pagu (Tgl. 17 Januari 2012. Kasus ini sudah dilaporkan ke polda namun tidak di proses) dan juga kepada Anggota Brimob Sabrim Buamona yang mengancam salah satu masyarakat adat Pagu atas nama Yahya Dendeng pada tanggal 13 Januari 2013 dengan mengklaim tanah yang digarap oleh Bapak Yahya adalah milik beliau.

9. Mendesak Polda Malut untuk menindak dengan tegas oknum Brimob yang bertugas di Pos PT NHM yang telah melakukan tindakan pemukulan kepada 3 orang masyarakat adat Pagu atas nama Yunus Moi, Yunce Ngato dan Rani Rikhat Momou yang menambang emas. Kasus ini terjadi kemarin malam (03/01/2013).

10. Mendesak kepada pemerintah Maluku Utara untuk segera memfasilitasi masyarakat adat untuk melakukan pemetaan wilayah – wilayah adat.

11. Mendesak kepada pemerintah republik Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat serta mencabut pasal – pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menjadi sumber konflik masyarakat adat dengan negara.

AMAN MALUT, BPAN MALUT TOGAMOLOKA

( MUNADI KILKODA, MACHYUDIN RUMATA, HABIB PULELE)

BEM STAIN (HIMPA SAGEA,
MUJAIN R. MUSA NASRUN HAMSA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar