Rabu, 05 Desember 2012

KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DAN MASYARAKAT ADAT

Oleh: Radios Simanjuntak
Dosen UNIERA dan Mahasiswa Pasca Sarjana IPB

Indonesia memiliki 50 kawasan hutan dan perairan dengan status Taman Nasional. Merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Dari defenisi tersebut di atas, pembentukan taman nasional di Indonesia lebih dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelestarian sumberdaya alam yang dalam pemanfaatannya ditujukan bagi kepentingan sains modern dan kepariwisataan, sementara adat bukan menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam pembentukan taman nasional. Oleh karena itu, sedikitnya 24 (dua puluh empat) dari 50 (lima puluh) taman nasional yang sudah dibentuk, kawasannya bertumpang tindih dengan wilayah adat atau terkait dengan masyarakat adat (Kosmaryandi 2012). Kondisi ini diperparah dengan penentuan sistem zonasi yang hanya mengadopsi sains modern dan tidak mempertimbangkan adanya kearifan tradisional. Kriteria pembentukan zonasi taman nasional belum dibangun dengan pola pikir kesetaraan dan mutual benefit dengan masyarakat adat, sehingga terjadi ketidakselarasan kriteria antara pola penggunaan ruang yang diterapkan pemerintah (zonasi) dengan pola penggunaan ruang tradisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya persyaratan zonasi pengelolaan taman nasional.

Di Provinsi Maluku terdapat satu Taman Nasional yakni Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang ditunjuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004  dengan luas mencapai ± 167.300. TNAL terdiri dari Blok Aketajawe yang berada di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Tidore Kepulauan serta Blok Lolobata yang berada di Kabupaten Halmahera Timur.

TNAL merupakan salah satu taman nasional yang memiliki potensi konflik dengan komunitas adat di dalam kawasannya, yakni Komunitas Tobelo Dalam (O Hongana Ma Nyawa) atau yang lebih dikenal dengan Komunitas Tugutil. Komunitas Tugutil, khususnya pada kelompok yang masih hidup dengan pola nomaden, sangat bergantung dengan sumberdaya hutan yang dibuktikan dengan cara hidup berburu, meramu dan ladang berpindah (Karim et al. 2006). Kondisi ini akan menyebabkan konflik dan tidak efektifnya zonasi yang telah dibuat jika masyarakat tidak diberikan akses khusus tehadap sumberdaya. Sebagai informasi, zonasi taman nasional di Indonesia didasarkan atas UU No. 5 tahun 1990 yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Selanjutnya dalam PP No. 28 tahun 2011, zonasi taman nasional meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan atau zona lain sesuai kebutuhannya. Selanjutnya, penjabaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional terdapat upaya untuk mempertimbangkan keberadaan masyarakat dalam kawasan taman nasional, yaitu dengan menambahkan “budaya” sebagai tujuan pemanfaatanya. Penambahan “budaya” ini menjadi payung untuk zona tradisional, religi dan budaya sebagai bagian dari zona lain taman nasional. Adanya perbedaan zonasi dari masing-masing peraturan ini menunjukkan inkonsistensi peraturan perundangan.

Terlepas dari hal tersebut, kriteria yang dibangun dalam Permenhut tersebut bagi kawasan taman nasional yang berada dalam wilayah adat menjadi sulit diterapkan karena penerapan kriteria akan menyebabkan tidak terpenuhinya zona-zona yang dipersyaratkan. Sebagai contoh salah satu kriteria dalam menentukan zona inti adalah mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, sementara itu salah satu kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan zona tradisional adalah adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada kawasan seperti TNAL sangat sulit untuk menemukan kawasan yang masih asli dan belum terganggu oleh kegiatan Komunitas Tugutil. Pola hidup dan sejarah pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan yang nomaden menyebabkan keseluruhan kawasan TNAL diduga menjadi daerah jelajah dan menjadi tempat yang digunakan untuk sumber pemenuhan hidup dan kehidupannya, sehingga keseluruhan kawasan tidak memenuhi kriteria zona inti, sebaliknya dapat memenuhi kriteria sebagai zona tradisional. Pada situasi seperti ini, pemerintah masih tetap mengharuskan adanya zona-zona yang menjadi persyaratan minimal dalam sistem pengelolaan taman nasional. Zonasi taman nasional yang ada di TNAL secara definitif memang belum ada dan sampai saat ini masih menunggu keputusan dari Kementerian Kehutanan. Zonasi yang ada pun hanya untuk blok Lolobata, sedangkan blok Aketajawe masih dalam tahap perencanaan.

Setidaknya terdapat dua laporan yang menunjukkan tentang sebaran Komunitas Tugutil di kawasan TNAL yakni Balai TNAL (2010) dan Indriani (2009). Berdasarkan hasil interpretasi dari peta penyebaran diketahui bahwa terdapat perbedaan mengenai titik sebaran Komunitas Tugutil di dalam kawasan taman nasional. Penelitian Indriani (2009) menunjukkan hanya satu titik penyebaran yang berada di dalam kawasan TNAL, sedangkan berdasarkan peta dari TNAL setidaknya terdapat 8 titik penyebaran yang terdapat di dalam kawasan TNAL. Perbedaan data penyebaran ini dimungkinkan oleh pola hidup berpindah (nomaden) Komunitas Tugutil karena penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda. 

Kontradiksi
Berdasarkan gambaran di atas, terdapat kontradiksi pemanfaatan sumberdaya alam oleh Komunitas Tugutil terhadap peraturan yang ada, yakni adanya pemanfaatan kawasan di zona yang tidak sesuai peruntukannya atau bentuk pemanfaatan satwa yang telah dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, seperti kuskus (Phalanger ornatus) dan rusa (Cervus timorensis). Sementara itu Soa-Soa (biawak, Varanus sp.), yang dimanfaatkan dengan mengambil langsung di alam, masuk dalam apdendix II CITES yang seharusnya pemanfaatan hanya dari hasil perkawinan dalam penangkaran (F1). Pola pemanfaatan ini juga kontradiksi dengan PP No.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan bahwa pemanfaatan tradisional hanya dilakukan secara terbatas bagi jenis yang tidak dilindungi.

Ilustrasi legislasi di atas menjadi tidak bermakna ketika berhadapan dengan masyarakat sekitar yang sepenuhnya bergantung kepada kawasan hutan. Pengelolaan yang ada saat ini menjadi tidak efektif ketika kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk mengambil sumberdaya hutan secara langsung tidak terpenuhi akibat benturan dengan peraturan yang ada. Kebijakan pengelolaan taman nasional belum bisa memberikan hak dan peran masyarakat adat sesuai dengan prinsip keadilan karena masih di dasari pada kepentingan nasional atau bahkan internasional. Penetapan dan pengelolaan taman nasional dengan menutup akses terhadap kebutuhan primer mereka selama ini, justru akan menyebabkan kelestarian hutan sebagai tujuan konservasi tidak akan tercapai.

Oleh karena itu, pada kawasan taman nasional yang di dalamnya dihuni oleh masyarakat adat sebaiknya diberikan kriteria khusus dalam peraturan perundangan, baik dalam bentuk pengelolaannya maupun kriteria penetapan zonasinya. Dalam konteks TNAL yang dikaitkan dengan peraturan perundangan yang ada, maka kriteria zonasi untuk zona inti dan zona rimba sudah tidak dapat dipenuhi karena Komunitas Tugutil bebas memanfaatkan sumberdaya alam di seluruh kawasan hutan termasuk pada zona inti dan zona rimba, atau dengan kata lain selama peraturan yang ada tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat yang sepenuhnya bergantung kepada hutan, seperti Komunitas Tugutil, akan terdapat kontradiksi pengelolaan taman nasional secara formal. Sehingga diperlukan perubahan kebijakan pengelolaan taman nasional dan adaptasi kriteria zonasi agar dapat dipenuhi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati yang menjadi mandat dibentuknya taman nasional dan kepentingan kehidupan masyarakat adat di dalamnya. Selanjutnya penentuan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai saat ini juga belum didasarkan terhadap kajian kekinian. Belum ada kajian parameter demografi (ukuran populasi, natalitas, mortalitas, kelas umur dan sex ratio) dan dinamika populasi dari jenis-jenis yang dilindungi tersebut yang seharusnya menjadi dasar status perlindungan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai scientific authority yang memberikan rekomendasi terhadap jenis-jenis yang dilindungi seharusnya melakukan kajian tersebut. Akibatnya, orientasi konservasi yang ada saat ini masih berada dalam tahap preservasi (perlindungan-pengawetan). Padahal saat ini, semakin besar tuntutan terhadap multi fungsi kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi di dalamnya.

Dalam konteks jenis satwa dilindungi yang berada di TNAL yang dimanfaatkan oleh Komunitas Tugutil, seperti rusa (Cervus timorensis), hendaknya dilakukan kajian parameter demografi dan dinamika populasi untuk mengetahui apakah jenis ini memang tidak memungkinkan dimanfaatkan atau sebaliknya jenis ini sangat memungkinkan dipanen/ dimanfaatkan secara subsisten oleh Komunitas Tugutil untuk menjaga keseimbangan ekosistem. (Sumber :http://malutpost.co.id/?p=4880)

1 komentar:

  1. apa yg telah tertera dari penjelasan tentang TNAL, SUKU TUGUTIL, SISTIM ZONASI DAN TITIK PENYEBARAN SUKU TUGUTIL adalh benar bahwa hal tersebut kebenarannya belum terlalu konkrit. utk itu perlu adanya penelitian yg intens dalam membangun TNAL dengan sisitem zonasi dengan memperhatikan kearifan tradisional masyarakat dalam maupun sekitar hutan yg dlm memenuhi kebutuhan hdp selalu memanfaatkan hasil hutan kayu maupun nonkayu. karena logikanya bahwa, sebelum TNAL di bentuk, masyarakat suku dalam (O' Hongana Ma Nyawa) telah lebih dulu menguasai dan menjelajah hutan dengan pola hidup nomaden. hutan seakan-akan nyawa mereka sehingga kehilangan hutan sama halnya kehilangan nyawa mereka. untuk itu diperlukan pemikiran-pemikiran yang konkrit dalam penetapan TNAL yang berpatokan pada UUN No. 5 Thn 1990 dan pemerintah hrs mmperhatikan kearifan2 tradisional yang O Hongana Manyawa miliki.

    Eben Ambeua
    Mahasiswa Kehutanan
    UNIERA/Tobelo, Maluku Utara.

    BalasHapus