Selasa, 04 Desember 2012

CATATAN PERJALANAN KE TANAH KELAHIRAN

Anak-anak sementara mancing di teluk Weda
 Sekitar pukul 06.30, waktu yang terbilang masih sangat pagi. Rasa ngantuk masih menyatu dalam diri sehingga sangat berat rasanya untuk beranjak dari tempat tidur. Namun pagi itu saya harus melanjutkan perjalanan menuju tanah kelahiran yang dipisahkan ratusan kilometer dari Weda yang merupakan ibukota kabupaten Halmahera Tengah.
Pagi itu, aktifitas pelabuhan sudah mulai ramai. Mandor – mandor speed boat sudah siaga di loket karcis, sebagian memperbaiki mesin sebelum berangkat. Ya, harus menggunakan speed boat sebagai angkutan transportasi umum yang melintas laut Halmahera. Pilihan menggunakan speed boat sebagai alternative, sebab tak ada jalur transportasi lain, seperti jalan darat yang entah kapan akan dibuka oleh pemerintah. 
Penumpang yang akan bepergian ke tempat lain juga mulai berdatangan. Tak lama kemudian aku menghampiri petugas loket dan membayar harga speed boat dengan tujuan desa Messa. Untuk perorang dari Weda menuju Messa dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 45 menit, harus membayar dengan harga Rp 150.000. Dalam benak, aku coba melahirkan pertanyaan, “ternyata sangat mahal untuk pulang kampong dan mungkin pemerintah tidak menyadari harga transportasi seperti ini sangat tidak adil bagi masyarakat umum, terutama orang kayak aku begini”.
Tak berlangsung lama, speed boat pun berangkat dari dermaga menuju kampung yang menjadi tujuan kami. Sepanjang jalan, kita bisa menikmati pemandangan alam pulau Imam, pulau Yefi, Batu Dua dll. Keindahan alam itu sangat kontras dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat adat Sawai yang tak jauh dari Weda. Pemandangan hutan yang gundul karena eksploitasi tambang PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo, juga jejeran kapal tangker yang siap angkut biji nikel yang diambil dari hasil keruk tanah adat suku Sawai.
Sepertinya ruang – ruang hidup masyarakat adat baik hutan dan tanah yang tersisa tak akan dibiarkan diam oleh cukong – cukong capital yang selama ini mendapat restu dari Negara. Ya, mereka pasti tidak berhenti, sepanjang sumberdaya alam diatas tanah adat tersebut belum dikeruk habis.
Sepanjang mengikuti perkembangan masuknya investasi tambang di wilayah Suku Sawai, seperti hadirnya PT Weda Bay Nikel, PT Tekindo, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, dan PT Chong Hay, sudah beragam konflik yang dilahirkan, terutama konflik tanah masyarakat adat dengan perusahan dan pemerintah daerah. Tak bisa dipungkiri bahwa peralihan profesi kerja masyarakat dari bertani dan nelayan menjadi buruh kasar diperusahan terus terjadi. Praktek eksploitasi wilayah adat secara massif yang dilakukan oleh investasi skala besar menjadi ironi bagi masyarakat adat setempat. Bahkan jika penyadaran tidak dilakukan, perlahan – lahan masyarakat adat beranggapan perusahan sebagai sumber kehidupan yang bisa menghidup mereka. Itu sangat beresiko terjadinya pelepasan wilayah adat untuk di ekploitasi habis oleh perusahan tersebut. 
Tak berapa lama kemudian speed boat pun sandar di pelabuhan desa Messa yang terletak di bagian utara kecamatan Weda. Desa kecil tempat kelahiran aku ini diiming – iming akan jadi ibukota kecamatan Weda Timur.  
Desa dengan penduduk hampir seribu jiwa ini, masyarakatnya lebih dominan berprofesi sebagai petani, sebagian kecil adalah nelayan. Satu kepala keluarga (KK) minimal memiliki dua lahan kebun. Mereka lebih senang menanam tanaman tahunan seperti pala, cengkeh, coklat dan kelapa. Hasil produksi pala dan cengkeh biasa dipasarkan di kota Ternate yang jarak tempuhnya bisa sampai 2 hari. 
Sedikit menengok kebelakang. Desa ini sekitar tahun 90-an, merupakan penghasil pangan terutama pangan local, berupa ubi kayu, pisang dan sagu, bahkan tanaman bulanan lain seperti cabe, tomat, kacang tanah, dll, dimiliki oleh setiap KK. Nilai social yang dibangun membuat warga hidup dengan nyaman, tidak perna ada yang mengeluh karena kelaparan. Segala kekurangan yang dimiliki oleh salah satu pihak, akan ditutupi oleh pihak yang lain. Bahkan hasil tangkapan ikan pun tak perna dijual belikan dengan rupiah, cukup dibagi habis kepada mereka yang membutuhkan.
Tanaman – tanaman bulanan itu yang tak tampak lagi saat ini. Bahkan untuk makan cabe dan tomat serta sayur saja, harus menunggu penjual dari trans yang pada umumnya orang jawa yang biasa seminggu baru sekali jualan. Nilai social mulai berkurang. Semangat untuk saling menutupi kekurangan tidak lagi terjadi karena setiap orang merasa kurang. Masyarakat Messa tidak lagi menjadi produsen tapi menjadi konsumen. Barang seperti tomat dsb yang di miliki dihasilkan dari praktek jual beli antara pribumi dan pendatang (transmigrasi). 
Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan warga, mereka mengakui bahwa saat ini sebagian besar warga sudah jarang berkebun. Mereka lebih senang kerja borongan di setiap proyek pembangunan infrastruktur karena lebih cepat dapat uang. Bahkan sebagian memilih bekerja di perusahan tambang di bandingkan berkebun. 
Upaya mengubah paradigma mereka pun dilakukan selama beberapa hari di kampong dengan melakukan diskusi – diskusi terbatas. Masyarakat diberikan pemahaman terkait dengan dampak buruk investasi tambang dan pentingnya tanah sebagai identitas yang tentu juga kebun sebagai investasi masa depan mereka. 
Dinamika perubahan kehidupan masyarakat di desa Messa berjalan begitu cepat. Pola kehidupan mulai berubah, oleh karena intervensi dari pihak luar yang merubah masyarakat semakin tidak mandiri. Kesimpulan liar saya, bahwa ada konstruksi nilai baru yang dipelihara dengan baik. Nilai ini merubah pola pikir masyarakat menjadi individualistik. Bahkan pengaruh nilai ini seiring dengan masuknya investasi – investasi tambang di wilayah – wilayah masyarakat adat terutama masyarakat desa Messa yang merupakan suku Sawai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar