![]() |
Anak-anak sementara mancing di teluk Weda |
Pagi itu, aktifitas pelabuhan
sudah mulai ramai. Mandor – mandor speed boat sudah siaga di loket karcis,
sebagian memperbaiki mesin sebelum berangkat. Ya, harus menggunakan speed boat
sebagai angkutan transportasi umum yang melintas laut Halmahera. Pilihan
menggunakan speed boat sebagai alternative, sebab tak ada jalur transportasi
lain, seperti jalan darat yang entah kapan akan dibuka oleh pemerintah.
Penumpang yang akan bepergian ke
tempat lain juga mulai berdatangan. Tak lama kemudian aku menghampiri petugas
loket dan membayar harga speed boat dengan tujuan desa Messa. Untuk perorang
dari Weda menuju Messa dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 45 menit, harus membayar
dengan harga Rp 150.000. Dalam benak, aku coba melahirkan pertanyaan, “ternyata
sangat mahal untuk pulang kampong dan mungkin pemerintah tidak menyadari harga
transportasi seperti ini sangat tidak adil bagi masyarakat umum, terutama orang
kayak aku begini”.
Tak berlangsung lama, speed boat
pun berangkat dari dermaga menuju kampung yang menjadi tujuan kami. Sepanjang
jalan, kita bisa menikmati pemandangan alam pulau Imam, pulau Yefi, Batu Dua dll.
Keindahan alam itu sangat kontras dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat
adat Sawai yang tak jauh dari Weda. Pemandangan hutan yang gundul karena
eksploitasi tambang PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo, juga jejeran kapal tangker
yang siap angkut biji nikel yang diambil dari hasil keruk tanah adat suku Sawai.
Sepertinya ruang – ruang hidup
masyarakat adat baik hutan dan tanah yang tersisa tak akan dibiarkan diam oleh cukong
– cukong capital yang selama ini mendapat restu dari Negara. Ya, mereka pasti
tidak berhenti, sepanjang sumberdaya alam diatas tanah adat tersebut belum
dikeruk habis.
Sepanjang mengikuti perkembangan
masuknya investasi tambang di wilayah Suku Sawai, seperti hadirnya PT Weda Bay
Nikel, PT Tekindo, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, dan PT Chong Hay, sudah beragam
konflik yang dilahirkan, terutama konflik tanah masyarakat adat dengan
perusahan dan pemerintah daerah. Tak bisa dipungkiri bahwa peralihan profesi
kerja masyarakat dari bertani dan nelayan menjadi buruh kasar diperusahan terus
terjadi. Praktek eksploitasi wilayah adat secara massif yang dilakukan oleh
investasi skala besar menjadi ironi bagi masyarakat adat setempat. Bahkan jika
penyadaran tidak dilakukan, perlahan – lahan masyarakat adat beranggapan
perusahan sebagai sumber kehidupan yang bisa menghidup mereka. Itu sangat
beresiko terjadinya pelepasan wilayah adat untuk di ekploitasi habis oleh
perusahan tersebut.
Tak berapa lama kemudian speed
boat pun sandar di pelabuhan desa Messa yang terletak di bagian utara kecamatan
Weda. Desa kecil tempat kelahiran aku ini diiming – iming akan jadi ibukota
kecamatan Weda Timur.
Desa dengan penduduk hampir
seribu jiwa ini, masyarakatnya lebih dominan berprofesi sebagai petani,
sebagian kecil adalah nelayan. Satu kepala keluarga (KK) minimal memiliki dua
lahan kebun. Mereka lebih senang menanam tanaman tahunan seperti pala, cengkeh,
coklat dan kelapa. Hasil produksi pala dan cengkeh biasa dipasarkan di kota
Ternate yang jarak tempuhnya bisa sampai 2 hari.
Sedikit menengok kebelakang. Desa
ini sekitar tahun 90-an, merupakan penghasil pangan terutama pangan local,
berupa ubi kayu, pisang dan sagu, bahkan tanaman bulanan lain seperti cabe,
tomat, kacang tanah, dll, dimiliki oleh setiap KK. Nilai social yang dibangun
membuat warga hidup dengan nyaman, tidak perna ada yang mengeluh karena kelaparan.
Segala kekurangan yang dimiliki oleh salah satu pihak, akan ditutupi oleh pihak
yang lain. Bahkan hasil tangkapan ikan pun tak perna dijual belikan dengan
rupiah, cukup dibagi habis kepada mereka yang membutuhkan.
Tanaman – tanaman bulanan itu
yang tak tampak lagi saat ini. Bahkan untuk makan cabe dan tomat serta sayur
saja, harus menunggu penjual dari trans yang pada umumnya orang jawa yang biasa
seminggu baru sekali jualan. Nilai social mulai berkurang. Semangat untuk
saling menutupi kekurangan tidak lagi terjadi karena setiap orang merasa
kurang. Masyarakat Messa tidak lagi menjadi produsen tapi menjadi konsumen.
Barang seperti tomat dsb yang di miliki dihasilkan dari praktek jual beli
antara pribumi dan pendatang (transmigrasi).
Dalam beberapa kesempatan diskusi
dengan warga, mereka mengakui bahwa saat ini sebagian besar warga sudah jarang
berkebun. Mereka lebih senang kerja borongan di setiap proyek pembangunan
infrastruktur karena lebih cepat dapat uang. Bahkan sebagian memilih bekerja di
perusahan tambang di bandingkan berkebun.
Upaya mengubah paradigma mereka
pun dilakukan selama beberapa hari di kampong dengan melakukan diskusi –
diskusi terbatas. Masyarakat diberikan pemahaman terkait dengan dampak buruk
investasi tambang dan pentingnya tanah sebagai identitas yang tentu juga kebun
sebagai investasi masa depan mereka.
Dinamika perubahan kehidupan masyarakat
di desa Messa berjalan begitu cepat. Pola kehidupan mulai berubah, oleh karena
intervensi dari pihak luar yang merubah masyarakat semakin tidak mandiri.
Kesimpulan liar saya, bahwa ada konstruksi nilai baru yang dipelihara dengan
baik. Nilai ini merubah pola pikir masyarakat menjadi individualistik. Bahkan
pengaruh nilai ini seiring dengan masuknya investasi – investasi tambang di
wilayah – wilayah masyarakat adat terutama masyarakat desa Messa yang merupakan
suku Sawai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar