Jumat, 02 Januari 2015

Catatan 2014 untuk Gubernur dan Bupati/Walikota


Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut

Tulisan ini menggambarkan situasi masyarakat adat di Maluku Utara pada 2014, termasuk perjuangan mereka untuk memperoleh kembali hak-hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam.

Menjelang pergantian tahun, tentu kita berharap banyak kedepan ada perubahan yang berhubungan pemenuhan hak hidup masyarakat adat. Ini masih menjadi harapan besar, walaupun tentu tanda-tanda kesitu terbilang sangat kecil peluangnya. Kenapa demikian..?? mari kita melihat apa yang terjadi pada tahun yang sebentar lagi kita lewati ini.

2014 bisa dikata sebagai tahun dengan konflik hak yang masih terbilang tinggi, AMAN mencatat ada 30 kasus agrarian yang terjadi pada tahun ini dan merata hampir di semua Kab/Kota. Konflik tersebut diberbagai sektor, baik sector pertambangan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur. Pertambangan, perkebunan dan kehutanan mendominasi seiring kebijakan pemerintah untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengandalkan sector tersebut. Sementara infrastruktur dikarenakan upaya percepatan pembangunan karena semangat otonomi daerah.

Kebijakan ini tidak sejalan dengan percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai kelompok paling rentan dalam pembangunan. Dalam kasus seperti masyarakat adat Banemo, Peniti, Masure, Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, Gemaf, Woejerana, Lukulamo, Pagu, Gane, Tobelo Dalam, Bicoli, Wasile, Loleo, Sagea, Buli, Sahu, dan Galela, adalah gambaran dari ketidakadanya pengakuan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat. Pengabaian hak mereka yang telah diatur oleh UUD, UU sektoral, maupun Putusan MK, itu mengakibatkan konflik terus-menerus terjadi. Klaim hak menjadi dasar persoalan dalam perebutan ruang (wilayah) dan sumberdaya alam disamping persoalan-persoalan lain yang diperkarakan masyarakat adat seperti kerusakan lingkungan, krisis social maupun kriminalisasi yang kerap terjadi seiring dengan kebijakan tersebut. Perebutan ruang itu ibarat satu kebun, namun ada tiga pihak (Negara, masyarakat adat, perusahan) saling klaim penguasaan.

Masyarakat adat harus berjuang sendiri agar Negara mengakui hak mereka atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Sementara Negara hadir dalam wajah yang berbeda. Kehadiran Negara pada masyarakat adat identiknya investasi yang massif. Belum lagi dilakukan tanpa melalui sebuah proses yang adil dan terbuka yang melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan untuk setuju atau tidak setuju atas kebijakan tersebut. Begitulah situasi yang harus dihadapi masyarakat adat. Padahal hak mereka diakui oleh Negara lewat produk hokum yang dihasilkan. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, yang kita harapkan bisa di implementasikan lebih kongkrit oleh pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), ternyata satu tahun lebih setelah putusan itu keluar tidak sama sekali dilaksanakan. Padahal putusan ini menjadi jalan penyelesaikan konflik agrarian.

2014, melahirkan dilema pembangunan. Tanah adat dan sumberdaya alam di dalamnya dijadikan sebagai kontestasi yang lebih banyak merugikan masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat terutama atas hutan dikoversi untuk kegiatan perkebunan, pertambangan dan kehutanan, lalu masyarakat adat dilarang untuk mengakses kawasan tersebut. Kasusnya seperti larangan PT WBN kepada masyarakat adat Sawai untuk membuka lahan baru di wilayah pertambangan mereka. Larangan Gubernur dan pihak Kehutanan kepada masyarakat ‘Tobelo Dalam’ untuk tidak beraktifitas di dalam kawasan hutan. Larangan Bupati Halteng kepada masyarakat Loleo yang berkebun diatas tanah yang diklaim tanah Negara dan kawasan hutan.

Sebelum KPK melakukan supervisi pertambangan, koleksi izin tambang di Malut sebanyak 335 IUP dengan luas wilayah tambang sebesar 2.618.670 hektar. Luas daratan Maluku Utara yang tersisa 709.130 hektar. Itu juga belum dihitung dengan perizinan di sector perkebunan seperti perusahan sawit. AMAN memperkirakan hampir 70% wilayah adat di Malut sudah dikonversikan menjadi areal tambang dan perkebunan.

Situasi ini tidak merubah pandangan pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang merugikan masyarakat adat itu. Bahkan terus dilanggengkan. Lebih serius lagi, muncul klaim pemerintah bahwa hutan dan tanah semuanya merupakan milik Negara. Ini pandangan yang sangat serius direspon, sebab bias pemahaman hokumnya. Kecil kemungkinan konflik agrarian akan terselesaikan, kalau pemahaman ini dipergunakan dalam perumusan kebijakan baru terutama di sector sumberdaya alam.

Inkuiri Nasional

Tahun ini, AMAN mendorong 3 kasus masyarakat adat (Pagu-PT NHM, Sawai-PT Weda Bay Nikel dan Tobelo Dalam-Taman Nasional) untuk masuk dalam perundingan nasional atau Inkuiri Nasional Komnas HAM. Komnas HAM sendiri telah memfasilitasi Dengar Pendapat Umum (DPU) untuk mendengar kesaksian langsung dari masyarakat sebagai pengadu dan perusahan/pemerintah sebagai teradu. Inkuiri Nasional ini sejalan dengan upaya bersama 12 Kementerian dan Lembaga (K/L) dibawah pimpinan KPK untuk penyelesaikan konflik hak di dalam kawasan hutan, termasuk hak masyarakat adat di Maluku Utara. Sehingga harapan besar Inkuiri bisa mengeluarkan rekomendasi yang memungkinkan ada jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat dikemudian hari.

Gerakan Pemetaan Wilayah Adat

Pemetaan wilayah adat sebagai bukti bahwa tanah, wilayah dan sumberdaya alam, bukan saja milik Negara. Putusan MK 35 tentang Hutan Adat secara jelas memisahkan hutan adat, hutan hak dan hutan Negara. Artinya jika di Maluku Utara ada masyarakat adat mengklaim kepemilikan hak yang dibuktikan berdasarkan sejarah asal-usul serta hokum adat yang mengatur penguasaan tersebut, itu menjadi bukti kepemilikan mereka.

Beberapa komunitas masyarakat adat seperti Hoana Pagu, Hoana Gura, Tobelo Dalam Dodaga, telah menyelesaikan peta wilayah adat mereka. Peta ini sebagai perwujudan bahwa mereka ada sehingga perlu diakui oleh Negara, bukan sebaliknya. Peta juga dimanfaatkan sebagai alat dalam merencanakan masa depan, juga menunjukan kedaulatan mereka atas sumberdaya alam di dalamnya. Pemetaan wiayah adat terus dilakukan. Beberapa komunitas masyarakat adat saat ini sedang dalam proses penyelesaian pemetaan.

Bagaimana 2015 nanti..??

Satu sisi kita masih pesimis di 2015 nanti konflik agrarian di Maluku Utara akan berkurang, apalagi kalau Master Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) tidak ditinjau kembali Presiden Jokowi. Kajian Komnas HAM (2014), MP3EI merupakan salah satu proyek yang tidak berprespektif HAM. Di Maluku Utara sendiri, sector yang di dorong dalam MP3EI adalah tambang di Halmahera dan perikanan di Morotai. Pemerintah daerah juga masih mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam sebagai basis utama pembangunan ekonomi daerah. Padahal kesalahan demi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam ini sudah terjadi berulang-ulang kali. Ketergantungan pada sumberdaya alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadi kesenjangan social, bahkan masyarakat adat disingkirkan dari wilayah tinggal mereka.

Upaya masyarakat adat dengan pemetaan wilayah adat harus direspon positif oleh pemerintah dengan memberikan kepastian hokum hak milik atas wilayah dalam bentuk Perda, sejalan dengan Putusan MK 35. Perbaikan tata kelola SDA menjadi sangat penting. Pemerintah harus merubah cara pandang dalam mengelola sumberdaya alam. Pengelolaan yang tidak berprespektif HAM dan lingkungan hanya mendatangkan masalah yang membuat hidup masyarakat adat semakin susah, bahkan tambah miskin. Kita tidak saja punya tambang, ada juga potensi local seperti Pala, Cengkeh, Kelapa, Perikanan yang nilai ekonomisnya juga tak kalah tertandingi. Potensi ini belum digarap dengan baik. Pemerintah masih cenderung mendahulukan industry ekstraktif sebagai unggulan pembangunan.

Akhir tulisan ini saya ingin berkata, wilayah ini masuk kategori pulau-pulau. Luas daratan kita lebih kecil dari luas lautan. Jika industry ekstraktif seperti tambang kita dahulukan, itu adalah kecelakaan pembangunan. Pembangunan harus berdasarkan karakteristik wilayah. Semoga kedepan ada perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar