Selasa, 02 Desember 2014

Kasiang; Kami Dilarang Bertani


DODAGA - Tanah, wilayah dan sumber daya alam merupakan alat produksi sebagai menyangga keberlanjutan hidup manusia. Mempertahankan hak-hak atas tanah dan warisan sejarah para leluhur merupakan modal semesta ketika membangun kesejahteraan sosial di komunitas adat. Komunitas adat dodaga membekali diri dengan pengetahuan local yang di warisi sebelum terbentuk organisasi Negara. Mengatur budi pekerti dan karakter building komunitas adat Tobelo Dalam Dodaga berpedoman pada hukum adat sebagai media untuk berkomunikasi dengan alam, manusia dan Tuhan.
Suku Tobelo Dalam (Dok AMAN Malut)

Alam semesta merupakan manifestasi dari Tuhan atas manusia untuk menjaga dan melindungi agar tidak menjadi bahaya untuk membangun peradaban dari masa ke masa. Setiap tahun tanah dan hutan di Halmahera mengalami penyusutan akibat laju pertumbuhan investasi. Sebagian besar hasil petanian petani di Maluku Utara kalah bersaing dengan petani seperti di Jawa, Sulawesi Utara dan daerah lain. Seperti halnya, suku Tobelo Dalam Dodaga yang rata-rata berprofesi sebagai petani, berburu dan meramu sebelum masuknya Taman Nasional dan Transmigrasi masuk menguasai wilayah adat mereka dan membuat akses mereka ke hutan terbatasi oleh kebijakan tersebut. Aktifitas berburu dan mencari makan di hutan perlahan-lahan terganggu. Membuka lahan kebun di dalam Taman Nasional dan Kawasan Hutan juga dilarang oleh pemerintah.
Rumah Tobelo Dalam program resettlemet (Dok AMAN Malut)

Sang fajar di pagi itu menunjukan hari sudah masuk tanggal 24 Novermber 2014. Kurang lebih pukul 09.00 Wit, tim Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang diketuai Kasmita Widodo bersama tim dari AMAN Malut, mengunjungi komunitas adat Dodaga untuk melakukan verifikasi dan registrasi wilayah adat. Tujuannya untuk memeriksa kelengkapan dokumen komunitas, baik profil, maupun peta wilayah adat yang dimiliki mereka. Hal serupa juga akan dilakukan di komunitas masyarakat adat lain yang jumlahnya 54 komunitas. Begitulah kira-kira keinginan yang disampaikan oleh kepala BRWA, saat masih berada di rumah AMAN Malut.

Perjalanan dari Ternate menuju Kota Sofifi dengan menggunakan speed boat sebagai angkutan transportasi laut yang menjadi langganan masyarakat Maluku Utara. Perjalanan itu ditempuh kurang dari 30 menit. Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara, juga sebagai terminal transit untuk melanjutkan perjalanan ke beberapa Kabupaten. Dari Sofifi, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil jenis avanza menuju Desa Dodaga di Halmahera Timur. Perjalanan diperkirakan bisa ditempuh dalam tiga jam lebih. Kita pun disuguhi panorama alam yang indah, mulai dari tenangnya air laut di teluk Kao, maupun pohon cengkeh milik para Petani yang tumbuh subur di sepanjang jalan menuju Dodaga.

Sesampainya disana kami menuju dusun Rai Tukur-Tukur, sebagai anak dusun dari Desa Dodaga. Dijemput dengan suka cita oleh masyarakat adat setempat, juga disuguhi sajian kopi hangat merek kapal api yang sudah diramu Kaka Feni, pemilik rumah yang menjadi tempat inap kami sementara waktu.

Masyarakat dusun kecil Rai Tukur-Tukur adalah Suku Tobelo Dalam ditempati kurang lebih 20 Kepala Keluarga (KK). Sebelumnya mereka hidup di hutan secara nomaden, namun sejak tahun 1985 pemerintah (Kemensos) mengeluarkan mereka dari hutan lewat program resettlemet.
Kegiatan verifikasi peta wilayah adat yang ditunggu pun dimulai pada malam hari itu juga, ketika para tokoh-tokoh adat kurang lebih 15 orang sudah hadir berkumpul bersama-sama tim BRWA dan AMAN.

 Petani Suku Tobelo Dalam Dodaga
Kasmita Widodo membuka peta dan menjelaskan tumpang tindih hutan adat dengan kawasan hutan versi kementerian Kehutanan. Dari luas wilayah adat Dodaga 27.710.98 Ha, sebagian ditetapkan pemerintah menjadi Areal Pengunaan Lain (APL) 8056.406 Ha, Hutan Lindung (HL) 5951.642, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 8134.122 Ha, Hutan Produksi Tetap (HP) 1657.313 Ha, Hutan Produksi yang dapat di koversi (HPK) 139.696 Ha, Kawasan Suaka Alam/kawasan Pelestarian Alam (KPA) 2680.653 Ha.

Metode untuk mengidentifikasi ketikdasesuain selama pemetaan berlangsung dengan menghadirkan pemangku masyarakat adat guna mencengah kesalapahaman yang mungkin terjadi. Juga memberikan kesempatan kepada masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga untuk mengajukan keberatan dan bukti yang mendukungnya” Kata Widodo melanjutkan percakapan dalam ruang itu bersama tetua dari Dodaga.

Mendapat respon dari Kasianga Tojou, ketika mendengar penjelasan rencana verifikasi dan registrasi wilayah adat, lalu masalah yang sering dihadapi masyarakat adat. Bagi bapak Kasiang mewakili masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga, mengatakan sejak masuknya Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, mereka mulai sulit mengakses hutan adat yang selama ini menunjang kehidupan sehari-hari. Mereka sering dilarang oleh polisi hutan untuk mencari makanan, mengambil obat di dalam hutan adat mereka, “kami dilarang untuk membuka lahan kebun, mengambil sayur di dalam wilayah adat yang sudah dikuasai Taman Nasional,” tuturnya.

Respon positif terhadap rencana ini muncul juga dari tokoh adat yang lain, ”masyarakat sangat berterima kasih kepada BRWA dan AMAN sudah memfasilitasi proses pemetaan ini dan verifikasi peta wilayah adat Tobelo Dalam Dodaga. Apalagi hari ini ada komunitas lain yang hadir untuk membicarakan batas wilayah adat Dodaga. Ini sangat berguna bagi kami, untuk menunjukan kami ada” ungkap Pendeta Elieser, salah satu tokoh agama dari Dodaga.

Verifikasi wilayah adat terus berlanjut, masyarakat adat pun aktif memberikan keterangan yang berhubungan dengan wilayah adat, kelembagaan maupun kesepakatan antara mereka dengan komunitas lain. Banyak juga cerita yang diungkapkan oleh mereka terhadap rencana-rencana pemerintah untuk menjarah hutan adat menjadi hutan negara. Mereka lebih percaya hutan adat ini akan terjaga dengan baik, kalau dikelola langsung oleh masyarakat adat. Verifikasi pun berakhir dengan rencana untuk terus menjaga wilayah adatnya yang sudah dipetakan.***** Ubaidi Abdul Halim

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar