DODAGA
- Tanah, wilayah dan sumber daya alam merupakan alat produksi sebagai
menyangga keberlanjutan hidup manusia. Mempertahankan hak-hak atas
tanah dan warisan sejarah para leluhur merupakan modal semesta ketika
membangun kesejahteraan sosial di komunitas adat. Komunitas adat
dodaga membekali diri dengan pengetahuan local yang di warisi sebelum
terbentuk organisasi Negara. Mengatur budi pekerti dan karakter
building komunitas adat Tobelo Dalam Dodaga berpedoman pada hukum
adat sebagai media untuk berkomunikasi dengan alam, manusia dan
Tuhan.
Suku Tobelo Dalam (Dok AMAN Malut) |
Alam
semesta merupakan manifestasi dari Tuhan atas manusia untuk menjaga
dan melindungi agar tidak menjadi bahaya untuk membangun peradaban
dari masa ke masa. Setiap tahun tanah dan hutan di Halmahera
mengalami penyusutan akibat laju pertumbuhan investasi. Sebagian
besar hasil petanian petani di Maluku Utara kalah bersaing dengan
petani seperti di Jawa, Sulawesi Utara dan daerah lain. Seperti
halnya, suku Tobelo Dalam Dodaga yang rata-rata berprofesi sebagai
petani, berburu dan meramu sebelum masuknya Taman Nasional dan
Transmigrasi masuk menguasai wilayah adat mereka dan membuat akses
mereka ke hutan terbatasi oleh kebijakan tersebut. Aktifitas berburu
dan mencari makan di hutan perlahan-lahan terganggu. Membuka lahan
kebun di dalam Taman Nasional dan Kawasan Hutan juga dilarang oleh
pemerintah.
![]() |
Rumah Tobelo Dalam program resettlemet (Dok AMAN Malut) |
Sang
fajar di pagi itu menunjukan hari sudah masuk tanggal 24 Novermber
2014. Kurang lebih pukul 09.00 Wit, tim Badan Registrasi Wilayah Adat
(BRWA) yang diketuai Kasmita Widodo bersama tim dari AMAN Malut,
mengunjungi komunitas adat Dodaga untuk melakukan verifikasi dan
registrasi wilayah adat. Tujuannya untuk memeriksa kelengkapan
dokumen komunitas, baik profil, maupun peta wilayah adat yang
dimiliki mereka. Hal serupa juga akan dilakukan di komunitas
masyarakat adat lain yang jumlahnya 54 komunitas. Begitulah kira-kira
keinginan yang disampaikan oleh kepala BRWA, saat masih berada di
rumah AMAN Malut.
Perjalanan
dari Ternate menuju Kota Sofifi dengan menggunakan speed boat sebagai
angkutan transportasi laut yang menjadi langganan masyarakat Maluku
Utara. Perjalanan itu ditempuh kurang dari 30 menit. Sofifi sebagai
Ibukota Provinsi Maluku Utara, juga sebagai terminal transit untuk
melanjutkan perjalanan ke beberapa Kabupaten. Dari Sofifi, kami
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil jenis avanza menuju
Desa Dodaga di Halmahera Timur. Perjalanan diperkirakan bisa ditempuh
dalam tiga jam lebih. Kita pun disuguhi panorama alam yang indah,
mulai dari tenangnya air laut di teluk Kao, maupun pohon cengkeh
milik para Petani yang tumbuh subur di sepanjang jalan menuju Dodaga.
Sesampainya
disana kami menuju dusun Rai Tukur-Tukur, sebagai anak dusun dari
Desa Dodaga. Dijemput dengan suka cita oleh masyarakat adat setempat,
juga disuguhi sajian kopi hangat merek kapal api yang sudah diramu
Kaka Feni, pemilik rumah yang menjadi tempat inap kami sementara
waktu.
Masyarakat
dusun kecil Rai Tukur-Tukur adalah Suku Tobelo Dalam ditempati kurang
lebih 20 Kepala Keluarga (KK). Sebelumnya mereka hidup di hutan
secara nomaden, namun sejak tahun 1985 pemerintah (Kemensos)
mengeluarkan mereka dari hutan lewat program resettlemet.
Kegiatan
verifikasi peta wilayah adat yang ditunggu pun dimulai pada malam
hari itu juga, ketika para tokoh-tokoh adat kurang lebih 15 orang
sudah hadir berkumpul bersama-sama tim BRWA dan AMAN.
Petani Suku Tobelo Dalam Dodaga |
Kasmita
Widodo membuka peta dan menjelaskan tumpang tindih hutan adat dengan
kawasan hutan versi kementerian Kehutanan. Dari luas wilayah adat
Dodaga 27.710.98 Ha, sebagian ditetapkan pemerintah menjadi Areal
Pengunaan Lain (APL) 8056.406 Ha, Hutan Lindung (HL) 5951.642, Hutan
Produksi Terbatas (HPT) 8134.122 Ha, Hutan Produksi Tetap (HP)
1657.313 Ha, Hutan Produksi yang dapat di koversi (HPK) 139.696 Ha,
Kawasan Suaka Alam/kawasan Pelestarian Alam (KPA) 2680.653 Ha.
“Metode
untuk mengidentifikasi ketikdasesuain selama pemetaan berlangsung
dengan menghadirkan pemangku masyarakat adat guna mencengah
kesalapahaman yang mungkin terjadi. Juga memberikan kesempatan kepada
masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga untuk mengajukan keberatan dan
bukti yang mendukungnya” Kata Widodo melanjutkan percakapan dalam
ruang itu bersama tetua dari Dodaga.
Mendapat
respon dari Kasianga Tojou, ketika mendengar penjelasan rencana
verifikasi dan registrasi wilayah adat, lalu masalah yang sering
dihadapi masyarakat adat. Bagi bapak Kasiang mewakili masyarakat adat
Tobelo Dalam Dodaga, mengatakan sejak masuknya Taman Nasional
Aketajawe-Lolobata, mereka mulai sulit mengakses hutan adat yang
selama ini menunjang kehidupan sehari-hari. Mereka sering dilarang
oleh polisi hutan untuk mencari makanan, mengambil obat di dalam
hutan adat mereka, “kami dilarang untuk membuka lahan kebun,
mengambil sayur di dalam wilayah adat yang sudah dikuasai Taman
Nasional,” tuturnya.
Respon
positif terhadap rencana ini muncul juga dari tokoh adat yang lain,
”masyarakat sangat berterima kasih kepada BRWA dan AMAN sudah
memfasilitasi proses pemetaan ini dan verifikasi peta wilayah adat
Tobelo Dalam Dodaga. Apalagi hari ini ada komunitas lain yang hadir
untuk membicarakan batas wilayah adat Dodaga. Ini sangat berguna
bagi kami, untuk menunjukan kami ada” ungkap Pendeta Elieser, salah
satu tokoh agama dari Dodaga.
Verifikasi
wilayah adat terus berlanjut, masyarakat adat pun aktif memberikan
keterangan yang berhubungan dengan wilayah adat, kelembagaan maupun
kesepakatan antara mereka dengan komunitas lain. Banyak juga cerita
yang diungkapkan oleh mereka terhadap rencana-rencana pemerintah
untuk menjarah hutan adat menjadi hutan negara. Mereka lebih percaya
hutan adat ini akan terjaga dengan baik, kalau dikelola langsung oleh
masyarakat adat. Verifikasi pun berakhir dengan rencana untuk terus
menjaga wilayah adatnya yang sudah dipetakan.***** Ubaidi Abdul Halim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar