Tulisan ini semata-mata untuk membandingkan sikap seorang
Bupati Halmahera Tengah Ir. Al Yasin Ali yang bersebarang dengan sikap ribuan
masyarakatnya sendiri yang berada di Desa Banemo, Bobane Raya, Bobane Indah,
Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam, dalam hal investasi perusahan
sawit PT Manggala Rimba Sejahtera di Patani.
Perkebunan Kelapa Sawit dan Dampaknya
Seperti yang ramai diberitakan oleh media lokal dan
nasional, Halmahera Tengah adalah salah satu lokasi masuknya perkebunan sawit.
Walaupun masih dalam proses perizinan, perusahan sawit tersebut dipastikan akan
segera berinvestasi atas restu baik dari Bupati Halmahera Tengah, Gubernur
Maluku Utara dan Menteri Kehutanan.
PT Manggala Rimba Sejahtera dengan luas konsesi 11.870
hektar, akan melakukan investasi di Kecamatan Patani Barat dan Patani Utara,
Halmahera Tengah. Investasi padat modal ini berada dilokasi yang topografi
wilayahnya dominan pegunungan serta daratan yang terbilang kecil. Namun atas
kehendak penguasa, ketidaklayakan tersebut dipaksakan harus menjadi layak,
walaupun nantinya akan memberi dampak buruk bagi masa depan masyarakat adat setempat.
Perusahan sawit dalam berbagai catatan akan memberikan
dampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia dan alam sekitarnya. Di berbagai
tempat perusahan perkebunan sawit selalu mendatangkan masalah mulai dari, (a)
penyerobotan tanah penduduk; (b) tergusurnya plasma nuftah dan budaya-budaya
lokal; (c) persaingan dengan sumber-sumber pangan lokal; (d) pengurasan air
tanah; (e) pemanasan global karena pelepasan gas-gas rumah kaca; khususnya gas
karbon mono-oksida; (e) eksploitasi buruh, khususnya buruh perempuan; (f)
konflik/kriminalisasi kepada warga, (Baca: Dampak Perusahan Sawit).
Konflik dan kriminalisasi warga senantiasa terjadi di
wilayah dimana perusahan sawit berinvestasi, contoh konkrit kasus warga Gane
Dalam dengan PT Gelora Mandiri Membangun (GMM). 13 warga Gane Dalam harus
mendekam di penjara karena berjuang mempertahankan tanah ulayatnya (Baca:
Advokasi Walhi Malut). Untuk memperluas ekspansinya, perusahan perkebunan
kelapa sawit akan menyeroboti tanah ulayat yang sudah dikelola masyarakat adat
sejak turun – temurun, termasuk yang sudah ditanami Pala dan Cengkeh oleh
masyarakat adat Patani juga akan menjadi sasarannya nanti.
Perusahan sawit banyak mendapat kritik karena
berkotribusi pada peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan
lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan
cara pembakaran untuk efesiensi biaya dan waktu. Hutan yang menjadi suporting
kehidupan manusia dan ekosistem di dalamnya akan punah. Pohon Pala dan Cengkeh
yang telah dirawat ratusan tahun lamanya dan menjadi sumber utama ekonomi
masyarakat adat Patani yang berada di beberapa di 9 desa tersebut akan ditebang
habis demi memperluas ekspansinya.
Selalu saja muncul dalil yang dibuat pemerintah dibalik
kejahatan pembangunan ini adalah demi untuk peningkatan kesejahteran
masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan logika memberi ruang sebesar – besarnya
kepada investor banyak mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan
sumberdaya alam sebagai kunci utama peningkatan taraf hidup masyarakat. Mana
mungkin masyarakat adat Patani bisa sejahtera kalau kehilangan hak atas tanah
dan tidak bisa mengakses sumberdaya alam termasuk hasil perkebunan mereka.
Pembangunan seperti yang dibuat oleh Al Yasin Ali ini justru menciptakan
kesenjangan sosial dan kemiskinan baru di Patani. Masalah demi masalah akan
muncul dikemudian hari jika PT Manggala Rimba Sejahtera dipaksakan untuk masuk
berinvestasi.
Warga Menolak, Bupati Memaksa
Seyogyanya masyarakat mendapat informasi dalam bentuk
konsultasi secara langsung atas rencana Bupati memberikan izin kepada PT
Manggala Rimba Sejahtera. Konsultasi itu harus menggunakan prinsip Free and
Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa
Paksaan namun fakta ini tak ditemukan dilapangan. Kenapa demikian? sebab
masyarakat adalah penerima dampak lingkungan dan kehilangan hak atas tanah,
wilayah dan SDA atas kebijakan tersebut. Namun fakta tersebut tidak ditemukan
dilapangan. Masyarakat tidak memperoleh konsultasi dan sosialisasi sama sekali,
bahkan secara tiba – tiba tim dari Kemenhut datang dan memasang patok di dalam
areal perkebunan warga, (Baca: Investigasi AMAN).
Lewat Kadis Kehutanan Halteng Wahab Samad, bahwa”Walaupun
masyarakat menolak, investasi ini akan tetap beroperasi di Patani” (Baca: Malut
Post 09 Agustus 2014). Beredar rekaman wawancara, Bupati tidak mau diperkarakan
di pengadilan, karena itu investasi ini akan tetap masuk. Sikap kedua orang ini
berbeda dengan sikap masyarakat adat Patani yang berada di Desa Banemo, Bobane
Raya, Bobane Indah, Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam.
Ribuan warga dengan tegas menolak yang dilakukan dengan cara pemasangan plang
hutan adat, tanda tangan surat penolakan, termasuk juga demonstrasi baik di
kantor camat, dan pemerintah daerah. Jika tidak ada langkah untuk mencabut
kembali izin perusahan tersebut, Bupati justru mementingkan keselamatan dirinya
dari pada keselamatan masyarakatnya. Kebijakan Bupati telah menciptakan
instabilitasi dalam kehidupan masyarakat adat setempat.
Penolakan masyarakat terhadap investasi tersebut memiliki
alasan yang mendasar. Ratusan tahun
lamanya mereka hidup dengan kekayaan alam yang tersedia di wilayah tersebut. Hutan mereka di tumbuhi oleh puluhan ribu
pohon Pala ‘Hutan’ dan pohon Cengkeh. Mereka membangun hidupnya dari turun –
temurun dari hasil Pala dan Cengkeh. Pala dan Cengkehlah banyak orang Patani
yang sukses dimana – mana, dari situpula mereka bisa menunaikan ibadah haji
setiap tahun, untuk kebutuhan makan sehari – hari dan membangun hidupnya
menjadi lebih baik.
Pala dan Cengkeh Terancam Kelapa Sawit
Pala dan Cengkeh memiliki cerita tersendiri di Republik
ini dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme bercokol ratusan tahun
lamanya di tanah air. Termasuk Pala dan Cengkeh yang terancam digusur oleh PT
Manggala Rimba Sejahtera untuk digantikan dengan kelapa sawit.
Patani merupakan salah satu daerah penghasil Pala
terbesar di Maluku Utara, dari situ juga pulau ini mendapat julukan kepulauan
rempah – rempah. Sebagai identitas, komoditi berharga ini menjadi penunjang utama
kebutuhan hidup masyarakat adat Patani. Sayangnya bukannya dilindungi dan
dijaga, justru sebaliknya mau digantikan dengan pohon sawit dengan alasan untuk
peningkatan kesejahteran masyarakat. Padahal jika dihitung secara ekonomis,
petani Pala memiliki pendapatan diatas rata-rata 10 juta untuk sekali panen
selama 3 bulan. Beda pendapatnya untuk menjadi buruh atau petani plasma di
perusahan. Justru pendapatan untuk setiap tenaga kerja (buruh) di perusahan
lebih kecil.
Kebijakan yang rakus SDA dan mendatangkan banyak masalah
pada masyarakat ini justru di idam-idamkan. Selain izin sawit, Halteng juga
mengoleksi 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP), nomor 2 terbanyak setelah
Kepulauan Sula yang mengoleksi 99 IUP. Ironi pembangunan masa kini yang harus
kita hadapi.
Pala dan Cengkeh yang merupakan kepunyaan rakyat harus
dipertaruhkan nasibnya karena kepentingan negara dan korporasi yang selalu
berbeda. Ketika kita berharap potensi hasil bumi ini menjadi unggulan dalam sektor
pembangunan, pemerintah malah mengunggulkan tambang dan sawit. Kepentingan
investor diupayakan berjalan tanpa masalah, walaupun kemudian mereka harus
mengabaikan kebutuhan rakyat. Itulah nasib yang harus diterima puluhan ribu
pohon Pala dan Cengkeh di Patani ketika Al Yasin Ali menghendaki PT Manggala
Rimba Sejahtera beroperasi. Kebijakan Bupati ini akan membuat Pala dan Cengkeh
hanya ada dalam memori cerita masa lalu (*)
Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar