Kamis, 18 September 2014

AL YASIN ALI dan Kelapa Sawit di Patani; Pala Cengkeh Terancam..!!


Tulisan ini semata-mata untuk membandingkan sikap seorang Bupati Halmahera Tengah Ir. Al Yasin Ali yang bersebarang dengan sikap ribuan masyarakatnya sendiri yang berada di Desa Banemo, Bobane Raya, Bobane Indah, Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam, dalam hal investasi perusahan sawit PT Manggala Rimba Sejahtera di Patani.

Perkebunan Kelapa Sawit dan Dampaknya

Seperti yang ramai diberitakan oleh media lokal dan nasional, Halmahera Tengah adalah salah satu lokasi masuknya perkebunan sawit. Walaupun masih dalam proses perizinan, perusahan sawit tersebut dipastikan akan segera berinvestasi atas restu baik dari Bupati Halmahera Tengah, Gubernur Maluku Utara dan Menteri Kehutanan. 

PT Manggala Rimba Sejahtera dengan luas konsesi 11.870 hektar, akan melakukan investasi di Kecamatan Patani Barat dan Patani Utara, Halmahera Tengah. Investasi padat modal ini berada dilokasi yang topografi wilayahnya dominan pegunungan serta daratan yang terbilang kecil. Namun atas kehendak penguasa, ketidaklayakan tersebut dipaksakan harus menjadi layak, walaupun nantinya akan memberi dampak buruk bagi masa depan masyarakat adat setempat.

Perusahan sawit dalam berbagai catatan akan memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia dan alam sekitarnya. Di berbagai tempat perusahan perkebunan sawit selalu mendatangkan masalah mulai dari, (a) penyerobotan tanah penduduk; (b) tergusurnya plasma nuftah dan budaya-budaya lokal; (c) persaingan dengan sumber-sumber pangan lokal; (d) pengurasan air tanah; (e) pemanasan global karena pelepasan gas-gas rumah kaca; khususnya gas karbon mono-oksida; (e) eksploitasi buruh, khususnya buruh perempuan; (f) konflik/kriminalisasi kepada warga, (Baca: Dampak Perusahan Sawit).

Konflik dan kriminalisasi warga senantiasa terjadi di wilayah dimana perusahan sawit berinvestasi, contoh konkrit kasus warga Gane Dalam dengan PT Gelora Mandiri Membangun (GMM). 13 warga Gane Dalam harus mendekam di penjara karena berjuang mempertahankan tanah ulayatnya (Baca: Advokasi Walhi Malut). Untuk memperluas ekspansinya, perusahan perkebunan kelapa sawit akan menyeroboti tanah ulayat yang sudah dikelola masyarakat adat sejak turun – temurun, termasuk yang sudah ditanami Pala dan Cengkeh oleh masyarakat adat Patani juga akan menjadi sasarannya nanti.

Perusahan sawit banyak mendapat kritik karena berkotribusi pada peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran untuk efesiensi biaya dan waktu. Hutan yang menjadi suporting kehidupan manusia dan ekosistem di dalamnya akan punah. Pohon Pala dan Cengkeh yang telah dirawat ratusan tahun lamanya dan menjadi sumber utama ekonomi masyarakat adat Patani yang berada di beberapa di 9 desa tersebut akan ditebang habis demi memperluas ekspansinya. 

Selalu saja muncul dalil yang dibuat pemerintah dibalik kejahatan pembangunan ini adalah demi untuk peningkatan kesejahteran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan logika memberi ruang sebesar – besarnya kepada investor banyak mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam sebagai kunci utama peningkatan taraf hidup masyarakat. Mana mungkin masyarakat adat Patani bisa sejahtera kalau kehilangan hak atas tanah dan tidak bisa mengakses sumberdaya alam termasuk hasil perkebunan mereka. Pembangunan seperti yang dibuat oleh Al Yasin Ali ini justru menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan baru di Patani. Masalah demi masalah akan muncul dikemudian hari jika PT Manggala Rimba Sejahtera dipaksakan untuk masuk berinvestasi.

Warga Menolak, Bupati Memaksa

Seyogyanya masyarakat mendapat informasi dalam bentuk konsultasi secara langsung atas rencana Bupati memberikan izin kepada PT Manggala Rimba Sejahtera. Konsultasi itu harus menggunakan prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan namun fakta ini tak ditemukan dilapangan. Kenapa demikian? sebab masyarakat adalah penerima dampak lingkungan dan kehilangan hak atas tanah, wilayah dan SDA atas kebijakan tersebut. Namun fakta tersebut tidak ditemukan dilapangan. Masyarakat tidak memperoleh konsultasi dan sosialisasi sama sekali, bahkan secara tiba – tiba tim dari Kemenhut datang dan memasang patok di dalam areal perkebunan warga, (Baca: Investigasi AMAN). 

Lewat Kadis Kehutanan Halteng Wahab Samad, bahwa”Walaupun masyarakat menolak, investasi ini akan tetap beroperasi di Patani” (Baca: Malut Post 09 Agustus 2014). Beredar rekaman wawancara, Bupati tidak mau diperkarakan di pengadilan, karena itu investasi ini akan tetap masuk. Sikap kedua orang ini berbeda dengan sikap masyarakat adat Patani yang berada di Desa Banemo, Bobane Raya, Bobane Indah, Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam. Ribuan warga dengan tegas menolak yang dilakukan dengan cara pemasangan plang hutan adat, tanda tangan surat penolakan, termasuk juga demonstrasi baik di kantor camat, dan pemerintah daerah. Jika tidak ada langkah untuk mencabut kembali izin perusahan tersebut, Bupati justru mementingkan keselamatan dirinya dari pada keselamatan masyarakatnya. Kebijakan Bupati telah menciptakan instabilitasi dalam kehidupan masyarakat adat setempat.

Penolakan masyarakat terhadap investasi tersebut memiliki alasan yang mendasar. Ratusan tahun lamanya mereka hidup dengan kekayaan alam yang tersedia di wilayah tersebut. Hutan mereka di tumbuhi oleh puluhan ribu pohon Pala ‘Hutan’ dan pohon Cengkeh. Mereka membangun hidupnya dari turun – temurun dari hasil Pala dan Cengkeh. Pala dan Cengkehlah banyak orang Patani yang sukses dimana – mana, dari situpula mereka bisa menunaikan ibadah haji setiap tahun, untuk kebutuhan makan sehari – hari dan membangun hidupnya menjadi lebih baik. 

Pala dan Cengkeh Terancam Kelapa Sawit

Pala dan Cengkeh memiliki cerita tersendiri di Republik ini dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme bercokol ratusan tahun lamanya di tanah air. Termasuk Pala dan Cengkeh yang terancam digusur oleh PT Manggala Rimba Sejahtera untuk digantikan dengan kelapa sawit.
Patani merupakan salah satu daerah penghasil Pala terbesar di Maluku Utara, dari situ juga pulau ini mendapat julukan kepulauan rempah – rempah. Sebagai identitas, komoditi berharga ini menjadi penunjang utama kebutuhan hidup masyarakat adat Patani. Sayangnya bukannya dilindungi dan dijaga, justru sebaliknya mau digantikan dengan pohon sawit dengan alasan untuk peningkatan kesejahteran masyarakat. Padahal jika dihitung secara ekonomis, petani Pala memiliki pendapatan diatas rata-rata 10 juta untuk sekali panen selama 3 bulan. Beda pendapatnya untuk menjadi buruh atau petani plasma di perusahan. Justru pendapatan untuk setiap tenaga kerja (buruh) di perusahan lebih kecil. 

Kebijakan yang rakus SDA dan mendatangkan banyak masalah pada masyarakat ini justru di idam-idamkan. Selain izin sawit, Halteng juga mengoleksi 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP), nomor 2 terbanyak setelah Kepulauan Sula yang mengoleksi 99 IUP. Ironi pembangunan masa kini yang harus kita hadapi.

Pala dan Cengkeh yang merupakan kepunyaan rakyat harus dipertaruhkan nasibnya karena kepentingan negara dan korporasi yang selalu berbeda. Ketika kita berharap potensi hasil bumi ini menjadi unggulan dalam sektor pembangunan, pemerintah malah mengunggulkan tambang dan sawit. Kepentingan investor diupayakan berjalan tanpa masalah, walaupun kemudian mereka harus mengabaikan kebutuhan rakyat. Itulah nasib yang harus diterima puluhan ribu pohon Pala dan Cengkeh di Patani ketika Al Yasin Ali menghendaki PT Manggala Rimba Sejahtera beroperasi. Kebijakan Bupati ini akan membuat Pala dan Cengkeh hanya ada dalam memori cerita masa lalu (*)   
Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar