KBR68H, Ternate - “Kita melakukan plangisasi di wilayah
masyarakat hukum adat di Halmahera Utara dan melakukan sosialisasi. Tetapi
Dinas Kehutanan di sana malah mengatakan, UU tersebut tidak berlaku di
Halmahera Utara. Ini kan aneh bin ajaib. Harusnya mereka menyambut baik,”
begitu kata perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Ternate, Maluku
Utara, Ubaidi Abdul Halim.
Menurutnya, masih banyak hutan adat yang
belum dikembalikan kepada masyarakat adat. Padahal UU-nya sudah ada dan
berlaku. Jika diterapkan dengan baik, menurut Ubaidi, putusan MK soal UU
Kehutanan tersebut bahkan bakal mampu menetralisir dan membatasi ruang konflik
di masa depan.
Pada 16 Mei
2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat. Hal penting dari putusan
tersebut adalah hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara. Di
masa mendatang, hutan adat dikategorikan sebagai hutan hak, sama seperti hutan
milik perseorangan ataupun badan hukum.
Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, selama ini hampir 50 komunitas adat
di Maluku Utara kesulitan mendapatkan haknya mengelola sumberdaya alam.
Masyarakat adat di Maluku Utara selalu berhadapan dengan pengelola izin
tambang, jasa perhotelan dan wisata yang dikeluarkan pemerintah. Hidup dan
kehidupan mereka makin terpinggirkan.
Setelah
putusan MK yang memberi hak kepada masyarakat adat mengelola hutannya, ternyata
belum berbuah banyak. Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kata Ubaid, masih belum
memihak masyarakat adat. Penyebabnya karena kementerian tak gamblang dan tegas
memerintahkan pemda untuk menerapkan aturan pasca putusan MK itu.
“Dalam UU
Kehutanan, masyarakat adat dianggap sebagai tamu negara. Kesannya
dikriminalisasikan. Padahal masyarakat adat yang mempelopori kemerdekaan.
Setelah putusan MK No.35/2012 yang memisahkan hutan masyarakat adat dan hutan
negara, tetap saja masyarakat adat tersingkirkan,” ujar Ubaidi.
Negara
harusnya sadar bahwa masyarakat ada punya hak atas tanah, wilayah dan sumber
daya alam di Indonesia. Sayangnya, meskipun UU ada, pemda seakan enggan
mensosialisasikan peraturan tersebut.
“Banyak yang
harus dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satunya wajib mengidentifikasi diri
bahwa masyarakat adat ada. Masyarakat juga perlu melakukan plangisasi dan
pemetaan wilayah adat, yang kemudian ditunjukan kepada negara,” kata Ubaid.
Dirjen
Kepulauan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Kementterian Kelautan dan
Perikanan (KKP) Sudirman Saad mengklaim kementerian sudah mengakui jelas
dan tegas pengelolaan pesisir maupun hutan yang menjadi milik masyarakat adat,
dikelola dan dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat adat diberi legitimasi
untuk mengelola dan memberikan izin bagi siapapun yang ingin mengambil manfaat
dari hutan atau wilayah pesisir laut mereka.
“Dalam UU
No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir sudah terang benderang
memberikan pengakuan hak eksistensial kepada masyrakat adat terkait hak wilayah
mereka, bukan lagi pengakuan atas pemberian negara. Setelah putusan kami pun
berkoordiunasi dengan aman.”
Menurut
Sudirman, masyarakat adat maupun aliansi, di masa datang harus terus
berkordinasi dan bergandengan tangan dengan pemerintah, misalnya Kementerian
Kelautan dan Perikanan, untuk melakukan pemetaan wilayah adat yang ada di
Indonesia.
Sumber
:http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/3229411_4215.html
Editor: Fuad
Bakhtiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar