Minggu, 28 Juli 2013

CATATAN PERJALANAN KE TOBELO DALAM

“Hutan Adat Tobelo Dalam dikuasai Taman Nasional dan Tambang”
Ditulis oleh : Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut)

Malam itu tepat tanggal 19 Juli 2012, sekitar pukul 23.00 Wit, saya beserta dua orang teman melakukan perjalanan bersama KM. Nur Abadi. Kapal yang melintasi laut Halmahera ini menempuh perjalanan dari Tobelo menuju Buli namun menyingahi beberapa pelabuhan, salah satunya pelabuhan Patlean. Di pelabuhan inilah kami harus turun menggantikan transportasi lain untuk menuju Desa Pumlanga dan Dusun Walaino. Jarak tempuh dari Tobelo ke Patlean sekitar 7 jam.

Pemukiman Dusun Walaino Desa Pumlanga Kec.Maba Utara
Desa Pumlanga dan Dusun Walaino berada di kecamatan Maba Utara yang beribukota Doro Sagu, Halmahera Timur. Jumlah penduduk berkisar 700-an jiwa. Akses transportasi darat ke wilayah ini sangat sulit. Jalan yang menghubungkan dengan Ibukota Kabupaten atau wilayah lain belum tersambung. Akhirnya transportasi lautlah yang menjadi andalan masyarakat untuk mengakses ke wilayah – wilayah lain. Namun transportasi laut hanya melayani 2 kali dalam seminggu. 
Sebagai orang yang baru pernah melintasi wilayah tersebut,  tentu harus banyak bertanya biar tidak salah jalan. Malam itu ada beberapa penumpang kapal yang memberikan gambaran kepada kami untuk sampai ke tempat tujuan.
Perjalanan malam dengan kapal laut itu sungguh memberikan kenyaman hati. Malam itu terasa lengkap, ditemani angin sepoi-sepoi, gelombang-gelombang kecil di tengah laut Halmahera bahkan musik dandut tempo dulu. Kalau tidak salah, penyanyinya Arafiq. Ya..begitulah hiburan untuk menhilangkan kesunyian malam.

Setelah berselang beberapa jam, kapten kapal menyampaikan pesan lewat pengeras suara kalu kapal sudah berada di tengah laut depan Desa Patlean. Kapal tersebut hanya membuang jangkar di tengah laut lepas. Tidak ada jembatan tempat dimana seharusnya kapal tersebut bersandar. Motor laut yang menawarkan jasa angkutan mulai bersandar di bodi kapal. Tinggal kita memilih yang mana harus digunakan. Harga perorang dari kapal ke kampung Rp. 20.000. Terlihat banyak penumpang yang juga turun bersama – sama kami.

Hari masih pagi, sekitar pukul 06.00 Wit, kami pun tiba di Desa Patlean dan harus melanjutkan perjalanan ke Desa Pumlanga  dengan menggunakan motor laut carteran. Jarak tempuhnya sekitar 30 menit. Desa tersebut berada di bibir pantai, karena itu memiliki potensi pasir besi yang luar biasa besar. Informasi dari warga, ada rencana perusahan tambang mengeksploitasi kandungan pasir besi di wilayah tersebut dan pemukiman akan dipindahkan. Namun belum tau kapan akan dimulai. 

Alamnya terlihat sangat indah. Deretan tebing yang menjulang tinggi di bibir pantai, juga pasir hitam yang membentuk jalan raya sehingga kendaraan motor darat bebas berkeliaran sesuka mereka. Laut terlihat tenang, hanya sesekali terlihat ombak dilaut yang berjalan dengan tertib. Menurut keterangan beberapa warga Pumlanga yang kami temui, musim angin kali ini adalah musim selatan, sehingga laut masih tenang. Beda kalau musim angin timur, laut pasti memberontak. Bahkan nelayan pasti kesulitan untuk melaut kalu tiba musim timur. Nelayan harus berpindah mencari ikan di sungai, sebagian berburu rusa maupun babi. Ini bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat. Musim timur biasanya terjadi selama 3 bulan.

Kami harus istirahat sejenak di Rumah Kepala Desa dan siangnya melanjutkan perjalanan ke Dusun Walaino, tempat tinggalnya Suku Tobelo Dalam. Dusun dengan jumlah penduduk 300-an jiwa itu berada di tengah hutan yang jaraknya sekitar 9 kilo dari Desa Pumlanga. Untuk mencapai wilayah tersebut, harus menggunakan jasa motor ojek. Bahkan juga harus melintasi dua sungai besar dengan rakit yang dibuat oleh masyarakat yakni sungai Pumlanga dan sungai Akelamo. Jika musim hujan lebat, orang pasti takut melintasi sungai tersebut sebab banjir pasti terjadi. Air biasanya meluap ke pemukiman penduduk. Tahun 2007, Dusun Walaino terkena banjir besar karena meluapnya air di sungai Akelamo. Bahkan tempat tinggal mereka yang dibuat oleh pemerintah rusak parah, akhirnya saat ini orang Tobelo Dalam memilih membangun rumah sendiri di tempat yang lebih tinggi untuk menghindari banjir. Rumah yang dibangun itupun bahannya dari sisa – sisa kayu dan seng bekas dari rumah yang terkena banjir. Sebagian justru membangun rumah yang tak berdinding, atapnya juga dari daun rumbia. Disitulah mereka menjadi kan tempat tidur dan membangun hidup.  

Orang Tobelo Dalam atau yang disebut Ohongana Manyawa pada umumnya sudah beragama kristen. Mereka juga bisa berbahasa melayu Ternate, namun sebagiannya belum fasih menggunakan bahasa tersebut, sehingga dalam komunikasi sehari – hari harus dengan bahasa suku yakni Tobelo. Mereka juga sudah bisa beradaptasi dengan penduduk lain. Padahal dulu, seringkali terjadi konflik antara mereka dengan penduduk yang ada di pesisir, bahkan bisa saling membunuh. 

Menurut hasil survei Burung Indonesia, Suku Tobelo Dalam ini titik penyebarannya sekitar 19 titik, baik di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan. Mereka hidup di kawasan hutan dari turun – temurun. Sejak dulu leluhur telah menitipkan tanah dan hutan untuk keberlanjutan hidup mereka. Namun saat ini hutan yang mereka tempati masuk sebagai Taman Nasional Aketajawe - Lolobata, Konsesi Perusahan Tambang, Perkebunan Sawit, HPH dan transmigrasi. Akhirnya mereka terpinggirkan.

Kami disambut dan diarahkan untuk ke rumahnya kepala Dusun. Disitu pulalah tempat pertemuan untuk membahas agenda yang akan kami lakukan. Satu demi satu masyarakat Tobelo Dalam berdatangan, kelihatannya pemimpin – pemimpin mereka di kampung ini. Obrolan pun dimulai, beberapa rencana program yang akan kami lakukan disampaikan oleh saya. Mulai dari program Community Center maupun pemetaan wilayah adat. Mereka sangat mendukung rencana yang akan dilakukan. Bahkan siap untuk memetakan wilayah adat, serta menghibahkan sekintal tanah untuk pembangunan Comminity Center.

Obrolan itu terus berlanjut, sebagian mereka mengemukakan masalah saat ini terkait dengan penguasaan hutan adat oleh Taman Nasional. Bahkan tak jauh dari tempat tinggal mereka ada areal transmigrasi dari Jawa dan NTT, belum lagi ada rencana eksploitasi nikel salah satu perusahan tambang di  wilayah tersebut. Mereka mulai merasakan kesulitan dengan kebijakan negara ini. Akses mereka terhadap hutan terbatasi oleh penetapan status hutan dan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal ketergantungan hidup mereka ada pada hutan. Hutan bagi komunitas Tobelo Dalam merupakan kehidupan dan tempat tinggal leluhur mereka.


Ketika kami menyampaikan ada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Hutan Adat, mereka sangat antusias merespon keputusan tersebut. Bagi mereka sudah waktunya memetakan wilayah adat termasuk hutan adat mereka yang sekian tahun dikuasai pihak lain. Hutan ini harus berada dalam kuasa orang Tobelo Dalam demi menyiapkan masa depan anak – cucu mereka. (Munadi Kilkoda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar