Jumat, 26 Desember 2014

2014; Sebagai Tahun Penindasan

Tinggal menghitung hari kita meninggalkan tahun yang penuh Penindasan. 2014 dalam berbagai catatan adalah tahun dengan esklasi konflik agrarian yang terus meningkat.Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat, terjadi 472 konflik agrarian, terdapat 19 orang tewas, dan 2,8 juta hektar tanah rakyat di rampas. Penanganan masalah agrarian yang semakin akut ini, oleh KPA mengusulkan pemerintah membuat pengadilan khusus agraria

AMAN sendiri menyampaikan laporan kasus-kasus marginalisasi yang harus diterima masyarakat adat. Sekitar 40 kasus komunitas masyarakat adat berhadapan dengan perusahan, tambang, sawit, HTI-HPH, dan Kehutanan, (Baca Inkuiri Nasional). Selain itu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) dan Putusan MK-35 tentang Hutan Adat pun tidak dilaksanakan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Akibatnya marginalisasi dan kriminalisasi terus berlanjut. Upaya masyarakat adat untuk hidup sejahtera tidak tercapai sampai masa kini. RUU PPHMA sendiri telah diusulkan dari tahun 2011, sampai periode SBY selesai tidak sahkan.

Situasi ini diperparah lagi dengan berlakunya UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusak Hutan (P3H). Akibatnya terdapat 9 warga adat dikriminalisasi atas nama UU tersebut. Masyarakat adat juga dilarang untuk melakukan aktifitas diatas wilayah adat mereka yang masuk menjadi kawasan hutan. Misalnya di Maluku Utara, Gubernur dan pihak Kehutanan melarang suku Tobelo Dalam untuk melakukan aktifitas di dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, padahal hutan tersebut masuk dalam wilayah adat mereka.

Penindasan oleh Negara sendiri bersama korporasi terjadi berulang-ulang kali dari tahun ke tahun. Negara yang tugas utamanya melindungi rakyat dari ketidakadilan justru terbalik perannya saat ini menjadi monster yang menakutkan. Negara hadir diatas wilayah adat dengan wajah yang berbeda, bentuknya seperti buldoser, dll, yang siap menggusur tanah, hutan dan pemukiman masyarakat adat nama kepentingan Negara.

Para aktivis yang berjuang atas nama HAM, dikriminalisasi karena dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan Negara. Kasus seperti Eva Bande adalah potret nyata dimana pejuang HAM belum mendapat perlidungan dari Negara.

MP3EI menjadi magnet yang menakutkan saat ini. Jika Jokowi-JK tidak serius meninjau kembali proyek tersebut, maka diperkirakan terjadi pelanggaran HAM yang massif, sistematis dan terstruktur (baca: kajian Komnas HAM). Proyek ini telah berjalan dari tahun 2011 dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2025. Selama perjalanannya sudah terjadi penggusuran tanah-tanah warga untuk memuluskan kepentingan pemodal yang berinvestasi di atas wilayah tersebut. Salah satu contoh nyata adalah kasus PT Weda Bay Nikel di Halmahera Tengah. Perusahan asal Prancis tersebut menguasai wilayah adat suku Sawai dan Tobelo Dalam untuk jangka waktu kurang lebih 30 tahun. Sekitar 250 KK yang berdomisili di Gemaf, Lelilef Sawai dan Lelilef Woebulen harus kehilangan tanah. Belum lagi akses mereka melaut dan memungut hasil hutan tidak lagi sebebas dulu sebelum perusahan hadir. Tentulah kepentingan Negara – pemodal telah mencerabut hak hidup masyarakat adat setempat dan tentu akan terus berlanjut.

2014, kita masih berhadapan dengan problem klasik yang harusnya serius diurus oleh Negara. Pada 2015 nanti, soal-soal seperti pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, penyelesaian konflik agrarian dan pelanggaran HAM, perlindungan pejuang HAM, mendorong pembangunan yang bermartabat dan soal-soal lain harus diutamakan oleh pemerintah. Kita menuntut Presiden Jokowi untuk memimpin perjuangan pencapaian cita-cita tersebut diatas. Bangsa ini tidak akan bisa bergerak maju jika persoalan klasik seperti diatas tidak bisa kita selesaikan segera. *Semoga

Penulis: Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar