Rabu, 28 November 2012

MENENGOK PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT


Oleh: Munadi Kilkoda
Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara
Jika Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah air kami. Statement masyarakat adat ini sebagai pengantar masuk melihat perjuangan mereka dalam memperjuangkan hak – haknya, baik atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang ada. Di saat yang bersamaan Negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung adat justru cenderung berpihak pada kepentingan pemodal dengan memberikan izin untuk mengeksploitasi wilayah – wilayah adat yang merupakan hak milik mereka.
Konflik Ruang Hidup
Masyarakat adat yang bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam baik hutan dan laut harus berhadapan dengan kebijakan Negara yang mengkonsesikan wilayah – wilayah adat tersebut untuk kepentingan pembangunan. Sayangnya prinsip pembangunan yang dibuat Negara tidak mengindahkan prinsip – prinsip Free Prior Informan Consente (FPIC). Prinsip FPIC atau Persetujuan Bebas Tanpa Paksaan menempatkan masyarakat adat dalam satu mekanisme pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hidupnya tanpa paksaan dan bebas menerima atau menolak kebijakan pembangunan yang masuk ke wilayah adat mereka. Karena mereka yang paling merasakan dampaknya secara langsung dari pembangunan tersebut.
Konflik ruang hidup sangat merugikan masyarakat adat. Konflik ini bisa kita lihat sehari – hari, misalnya suku Pagu harus berhadapan dengan PT NHM, suku Sawai dengan PT WBN, suku Tobelo Dalam yang harus tersingkir dari wilayah adat mereka dengan masuknya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menjadikan tambang sebagai sector unggulan di Halmahera. Konflik ini terjadi juga di beberapa tempat, masyarakat adat harus berhadapan dengan investasi sawit dan tambang yang jor – joran mengeksploitasi hutan dan mencemari laut.
Eksploitasi sumberdaya alam ini berdampak pada kerusakan ekologi secara permanen yang harus ditanggung oleh masyarakat adat. Ruang hidup atau akses terhadap hutan terhalang untuk batas – batas konsesi perusahan di hutan yang dilegitimasi oleh Negara. Negara bahkan senang berkongsi dengan perusahan. Hak atas tanah, sumberdaya alam serta wilayah adatnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat hilang dan beralih fungsi. Bahkan ancaman kerusakan ekologi di Maluku Utara semakin meningkat dari hari – hari (baca: hasil riset Puslitbang UNHAS).
Dalam kurung waktu beberapa tahun kedepan, skala konflik tenurial akan semakin meningkat seiring dengan penguasaan ruang hidup masyarakat adat terhadap sumber – sumber kehidupan oleh perusahan. Bahkan eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Ini merupakan ironi bagi masa depan masyarakata adat yang hidup di Halmahera dan gugusan pulau – pulau kecil.
Pemetaan Wilayah Adat
Siang itu waktu Jakarta, 14 November 2012, rombongan AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partispatif (JKPP) bertemu dengan Badan  Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pertemuan itu untuk menyerahkan peta wilayah adat yang dikerjakan oleh AMAN dan JKPP sejumlah 265 peta wilayah adat dengan total luasan 2.402.222,824 ha diseluruh wilayah nusantara dimana komunitas masyarakat adat berada. Penyerahan ini merupakan tahapan awal karena masih banyak lagi wilayah adat yang akan dipetakan oleh masyarakat adat.
Sebuah capaian keberhasilan setelah sekian waktu berjuang mempertahankan wilayah – wilayah adat dari cengkreman kelompok korporatokrasi yang memburu wilayah – wilayah masyarakat adat yang kaya dengan sumberdaya alam. Capaian ini adalah perwujudan dari penegasan sikap masyarakat adat atas keberadaan mereka dalam Negara yang hidup secara turun – temurun jauh sebelum Negara ini dimerdekakan
Negara harus melihat manfaat dari pemetaan ini, sebagai bentuk identifikasi diri masyarakat adat beserta wilayahnya. Bahkan dengan pemetaan ini, akan dapat meminimalisir konflik kepentingan masyarakat adat, Negara dan pihak lain.
Pemetaan wilayah adat bukan sebuah ekspektasi tanpa tujuan. Tapi memiliki kegunaan dalam menjaga sumber – sumber penghidupan masyarakat adat yang selama ini menjadi penopang kehidupan mereka dari turun – temurun. Wilayah adat sesungguhnya menunjukan kedaulatan masyarakat adat tersebut yang harus diakui dan dilindungi oleh Negara. Harus juga dihormati siapapun yang masuk ke wilayah tersebut. (sumber:http://malutpost.co.id/?p=5370, Munadi Kilkoda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar