Domain Rakyat versus Negara
“Kemerdekaan atas Tanah dan Air”
Oleh:
Ubaidi Abdul Halim
Kepala Biro OKK AMAN Malut
Semenjak masuknya undang-undang desa, hak-hak masyarakat adat
perlahan-lahan hilang. Sistem dan tata cara pengakuan tentang tanah dan
wilayah adat diubah sesuai dengan selera rezim. Kebijakan ini sangat
berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat yang menggantungkan
hidupnya di hutan. Tanah-tanah masyarakat adat di Pulau Halmahera bukan
hak berian dari negara tapi merupakan hak “bawaan” sejak lahir
berdasarkan sejarah asal-usul masyarakat adat yang menempati wilayah
tertentu, dan tanah sebenarnya adalah warisan para leluhur yang hidup
jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebelum kemerdekaan dan sesudah
kemerdekaan, regulasi-regulasi sektoral muncul di sana-sini, tujuannya
adalah mengurangi kewenangan sistem kelembagaan adat yang dibangun sejak
ribuan tahun yang lalu. Kepala-kepala adat pun mengurus hal-hal yang
tidak substansial seperti perkawinan dan acara sunatan, sementara tanah,
hutan dan sumberdaya lainnya diserahkan kepada negara. Dari sini drama
perampasan dan penyerobotan hak-hak masyarakat adat terjadi.
Hasil obsevasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara
di beberapa komunitas masyarakat adat, menunjukkan bahwa istilah
sertifikat tanah sebagai bukti hukum adanya hak-hak atas tanah tidak
dikenal di kalangan masyarakat adat. Pengakuan tentang kepemilikan tanah
hanya berdasarkan sejarah asal-usul. Soal batas-batas wilayah adat yang
mereka kenal adalah mental map (peta mental) biasanya batas wilayah
adat itu, simbol yang digunakan adalah alam ,misalnya batas sungai, batu
besar, pohon-pohon besar, gunung, bukit dan tanjung.
Tambang dan Sawit Ibarat Monster
Kebijakan pemerintah terkait 335 izin usaha pertambangan (data
Kementerian ESDM) di luar dua kontrak karya yaitu PT. Weda Bay Nickel
dan PT. Nusa Halmahera Minerals di Pulau Halmahera seperti menebar
racun. Pengelolaan nikel dan sumber daya alam lainnya di Pulau Halmahera
ibarat “monster kerkepala sembilan”. Monster legendaris yang
diceritakan di dalam mithologi Yunani kuno. Monster berkepala sembilan
yang merupakan satu dari sembilan kepala adalah abadi, sedangkan delapan
kepala lainnya akan menumbuhkan dua kepala baru jika dipotong. Seperti
itulah, kisah izin investasi sumberdaya alam di Maluku Utara, jika
dicabut satu maka akan tumbuh subur di daerah lain.
Kebijakan pengelolaan pun justru sangat menggelisahkan serta menuai
kecaman aktivis dan penggiat lingkungan di Maluku Utara. Sejumlah
perencanaan telah disusun untuk pembangunan industri estraktif berskala
besar mulai dari pembagunan smelter, reboisasi, jaminan reklamasi sampai
program “suap” seperti dana sosial responsibility (CSR). Eksploitasi
sumberdaya alam dipastikan akan menimbulkan konflik sosial di mana-mana,
mulai dari masalah sengketa tanah antara perusahaan dengan masyarakat
adat/lokal, krisis air bersih, kerawanan pangan, masalah lingkungan,
kesehatan, pendidikan, adat dan budaya serta peralihan profesi warga
menjadi buruh pabrik perusahaan tambang maupun pabrik perkebunan kelapa
sawit.
Sumber-sumber produksi masyarakat menjadi sarana kontestasi antara
pemerintah, pengusaha termasuk masyarakat adat. Di sana akan tercipta
ruang-ruang pertarungan dan perundingan baru, siapa yang kuat akan
menang dan siapa yang lemah akan kalah. Merebut sumber produksi tidaklah
dilakukan dengan cara imperialisme baru dengan menggunakan agresi
militer, cukup menakuti mereka dengan undang-undang dan mempengaruhi
pikiran serta menyogok para bandit-bandit itu. Biasanya dalam
pertarungan ini, dimenangkan oleh pengusaha dan lagi-lagi masyarakat
adat dikorbankan. Jika masyarakat adat melakukan protes maka mereka
dianggap anti pembangunan dan mengganggu alat fital negara. Tanah-tanah
yang dikuasai masyarakat adat akan dicaplok dan disulap menjadi tandus
serta akan menghilangkan sumber-sumber produksi agraria yang
berimplikasi buruk pada hancurnya wilayah produksi masyarakat.Masyarakat
adat diakui di dalamnya.
Beberapa hari ini PT. Manggala Rimba Sejahtera, sala satu perusahaan
perkebunan sawit mewarnai halaman-halaman media massa lokal. Protes dan
penolakan perkebunan sawit mengalir dan datang dengan sendirinya dari
warga dengan tujuan investasi kelapa sawit segera ditanggapi oleh
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah atau bahkan dicabut izin
investasinya karena sangat mengganggu sumber produksi masyarakat seperti
pala, cengkih dan kopra.
Dugaan sementara Wakil Bupati memancing “monster” itu, untuk datang
ke Patani. Penetapan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan sekitar
11.870 hektar Kawasan Hutan Produksi (KHP) di Kabupaten Halmahera
Tengah tepatnya di Patani Timur, untuk perkebunan kelapa sawit atas nama
PT. Rimba Manggala Sejahtera tidak melalui proses sosial yang
melibatkan masyarakat adat. Jika Pemerintah daerah menengok kembali
Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 18B dan 28I) dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No.35/PUU-X/2012 terhadap Undang-Undang Kehutanan No.40 tahun
1999. Maka semua masyarakat adat Patani akan selamat dari bencana
buasnya “monster” ini, karena sewaktu-waktu akan mengeluarkan racun dan
menghisap darah daging rakyat.
Tapi pada tanggal 22 Februari 2014 lalu Wakil Bupati Halteng Soksi
Hi. Ahmad justru mengorganisir camat dan beberapa kepala desa bertemu
dengan Direktur PT.Manggala Rimba Sejahtera. Mereka dipaksa untuk
menyetujui kehadiran perusahaan. Sementara fakta di lapangan banyak
masyarakat adat yang menolak keberadaan perusahan, seperti diberitakan
sebuah media lokal.
Saat lahan pala, cengke dan kelapa dikonversikan menjadi perkebunan
sawit monokultur, masyarakat adat akan kehilangan hak serta sumberdaya
alam di dalamnya sebagai menyumbang 90% pendapatan masyarakat adat
Patani. Selama ini, kehidupan mereka bergantung pada pala, cengkih dan
kopra. Perkebunan sawit sering dipromosikan dan ditawarkan sebagai
solusi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Menurut banyak orang
perkebunan sawit justru akan melahirkan masalah sosial dan lingkungan.
Perusahan sawit membutuhkan lahan yang luas dan air yang banyak untuk
mendapatkan keutungan lebih besar. Perusahaan akan berjanji setelah
izin selesai tanah ini akan dikembalikan kepada pemilik lahan.
Sesunguhnya saat perusahaan mengatakan akan mengembalikan tanah kepada
warga yang dimiliki, tapi yang dimaksud adalah tanah akan kembali kepada
negara bukan kepada masyarakat adat (lihat film Sawit “Suara dari
Perkebunan Sawit”) “jangan dibeking”Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan
semua pemerintah kabupaten harus belajar dari Provinsi Kalimantan dan
Sumatera atas dampak perusahaan tambang dan perkebunan sawit di wilayah
adat mereka. Pemerintah daerah jangan lagi membujuk masyarakat untuk
menerima kebohongan ini dan menjanjikan serta menawarkan jaminan
pekerjaan justru pemerintah harus memberikan informasi kepada
masyarakat secara utuh tentang rencana kejahatan perusahaan, yang masuk
di wilayah-wilayah adat. Menolak perkebunan sawit dan perusahaan tambang
adalah keputusan terbaik untuk menyelamatkan kampung anda dan masa
depan anak cucu kita. Semoga. (*)
Sumber : http://poskomalut.com/2014/08/20/domain-rakyat-versus-negara/