Perumahan di Dusun Waleino, Maba Utara |
Jalan tanah dengan sesekali
melewati kubangan yang penuh dengan air atau sungai kecil yang membelah jalan
merupakan perjalanan kami hari ini (22 Juli 2014) dari Wasileo menuju salah
satu komunitas Suku Tobelo Dalam di Kecamatan Maba Utara, Waleino. Dusun kecil
yang terletak dekat dengan sungai Akelamo, sungai dengan DAS terpanjang di
pulau Halmahera. Untuk menuju Waleino, bisa menggunakan sepeda motor ataupun
viar, kendaraan bermotor yang menggunakan bak di belakangnya dari desa terdekat
yakni Wasileo atau Pumlanga. Sekitar 1 jam perjalanan dengan ditemani hamparan
pemandangan hutan dan kebun masyarakat di sisi kiri kanan jalan. Kondisi jalan
yang belum beraspal mengharuskan kami ekstra hati-hati. Ironisnya sudah 67 tahun Indonesia merdeka namun pembangunan
infrastruktur jalan di wilayah ini masih jauh tertinggal dari daerah-daerah
lain di Maluku Utara. Jalan ini pun bekas perusahan kayu yang pernah beroperasi
di wilayah tersebut.
Suasana Dusun Waleino di Sore Hari |
Sungai Akelamo, Diapit Oleh Bukit yang Merupakan Batas Wilayah Adat Waleino |
Waleino
merupakan anak desa/dusun dari Desa Pumlanga Kecamatan Maba Utara Kabupaten
Halmahera Timur. Dalam bahasa setempat, Waleino berasal dari kata ‘Wale’ (Mangga) dan ‘Ino’ (Datang) yang
berarti “ Datang dari mangga”. Kata mangga digunakan karena pada kampung tua
mereka terdapat 3 buah pohon mangga besar.
Berbeda dengan desa induknya yang penduduknya datang dari berbagai suku,
sebagian besar penduduk Waleino adalah Suku Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) ditambah beberapa pendatang yang menikah dengan
warga Waleino.
Sungai Akelamo Saat Meluap |
Malam haripun
datang. Kondisi dusun mulai gelap tanpa penerangan listrik. Masyarakat biasanya
menggunakan mesin diesel berbahan bakar solar untuk menerangi dusun ini. Itupun
hanya untuk beberapa rumah sampai sekitar jam 11 malam. Penggunaan energi fosil
yang kotor serta mahal digunakan masyarakat disini karena memang tak ada
pilihan lain. Untuk mendapat layanan listrik dusun, tiap KK harus membayar
seratus ribu tiap bulannya. Itu juga tak menjamin lampu akan menyala satu bulan
penuh. Setelah lampu padam, masyarakat menggunakan lampu minyak atau loga-loga untuk menerangi rumah
masing-masing. Layanan listrik oleh PLN masih menjadi angan-angan besar
masyarakat Waleino. Entah kapan itu terjadi. Hidup dengan keterbatasan layanan
pemerintah sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagain masyarakat yang tinggal
di derah pelosok. Kalau seperti ini, kenapa kita harus bernegara ?
Kondisi Pendidikan dan
Kesehatan
Bangunan Sekolah yang Tak Digunakan Lagi |
Jauh dari kota
dengan fasilitas yang terbatas membuat banyak guru tak mampu bertahan di dusun
ini. Menurut tuturan warga, saat ini ada 3 orang guru yang mengajar di sekolah.
Namun biasanya mereka datang mengajar sekali seminggu. Lebih parahnya lagi, ada
yang datang 1 minggu dan kemudian pergi 1 bulan. Pendidikan baca-tulis-hitung
menjadi kebutuhan dasar yang masih sulit di dapatkan anak sekolah disini.
Kami
kemudian berdiskusi dengan beberapa warga membahas hal ini. Anak-anak disini
sebenarnya memiliki semangat untuk sekolah, tapi kalau kondisi guru seperti ini
anak-anak ini tak mungkin menjadi pandai. Lebih baik ikut orang tua ke hutan
untuk mengambil makanan dan berburu, ungkap Jitro Kaibi, salah satu warga
Waleino yang kemudian dibenarkan oleh beberapa warga yang turut hadir.
Anak-anak yang dibawa orang tua mereka ke hutan pun berminggu-minggu lamanya.
Kondisi pendidikan yang sangat minim membuat orang tua tak mampu berbuat banyak
untuk menghadirkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka selain terus
berharap akan datangnya guru untuk mengajar, 6 hari dalam seminggu. Beberapa
orang dewasa di dusun ini sudah bisa membaca dan menulis. Mereka merupakan
hasil program literasi yang dibawa misionaris ke dusun ini, 14 tahun lalu. Hati serasa teriris melihat kondisi pendidikan
yang sangat menyedihkan di tempat ini ketika ditempat lain fasilitas pendidikan
yang dirasakan sangat layak.
Selain
pendidikan, kebutuhan penting lainnya adalah sarana kesehatan. Tak terdapat
puskesmas atau polindes di dusun ini. Bila ada masyarakat yang sakit mereka
biasanya menggunakan obat-obatan tradisional namun untuk penyakit yang lebih
besar mereka harus berobat ke puskesmas di Dorosago, kota kecamatan yang
berjarak kurang lebih 25 KM. Untuk transportasi pergi pulang saja bisa
menghabiskan 500 – 700 ribu rupiah. Itupun belum terhitung biaya makan dan
obat. Karena keterbatasan biaya, hanya sedikit orang yang bisa memeriksakan
kesehatan mereka. Menurut kepala dusun, hal ini juga yang membuat beberapa ibu
meninggal saat akan melahirkan karena tak ada bidan yang membantu. Miris
mendengar kondisi sosial disini.
Masyarakat Waleino
hidup sangat lekat dengan hutan mereka. Ini terbukti pada waktu kami tiba dan
tak berjumpa dengan beberapa orang tua yang sementara di hutan untuk mengambil
makanan. Walaupun sudah dimukimkan melalui program pemerintah, namun hubungan
mereka dengan alam dan hutan tetap dipertahankan sampai kini.
Daniel Kaibi, Menatap Sedih Sungai Mereka yang Akan Dibendung |
Beberapa warga
kemudian menceritakan tentang kegelisahan mereka tentang pembangunan DAM untuk
kebutuhan air bagi sawah milik transmigrasi. Rencananya DAM ini akan membendung
dua sungai besar, Akelamo dan Watita yang ada dalam wilayah adat Waleino (baca
: Kapitalisme Merongrong Masyarakat Adat di Hutan Halmahera / http://amanmalut.blogspot.com/2014/02/kapitalisme-merongrong-masyarakat-adat_11.html). Proses sosialisasi sudah dilakukan
pihak terkait. Tapi apakah mereka menjelaskan dampak bagi masyarakat Waleino
dengan pembangunan DAM tersebut ?
Ketakutan
masyarakat Waleino adalah air sungai Akelamo yang biasa mereka konsumsi akan
semakin kecil debitnya apalagi kalau musim panas. Kemudian bila musim hujan,
biasanya air sungai Akelamo akan meluap kencang, ditakutkan DAM tak mampu
menahan luapan air sehingga akan jebol dan berdampak terhadap kebun serta
pemukiman mereka saat ini. Ini merupakan ketimpangan pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah. Pemerintah lebih memperhatikan pembangunan bagi transmigrasi
dibandingkan masyarakat pemilik wilayah tersebut.
Selain DAM,
masalah lainnya adalah penempatan kawasan taman nasional blok lolobata didalam
wilayah adat mereka. Puncak bukit di wilayah utara sungai Akelamo dan sebagian
wilayah mengikuti aliran sungai Watita masuk dalam wilayah taman nasional. Di
wilayah-wilayah ini masyarakat dilarang untuk memasang jerat hewan dan
beraktifitas di dalam kawasan tersebut. Seperti di wilayah lainnya, penempatan
taman nasional di wilayah adat Waleino tanpa proses kesepakatan bersama dengan
warga pemilik wilayah adat.
Pemetaan yang
dirancang dilaksanakan esok harinya namun hanya untuk sebagian wilayah saja
yang bisa ditempuh. Penghalang bagi team pemetaan adalah kondisi cuaca di
bagian hulu yang hujan sehingga sungai Akelamo banjir. Ini menyebabkan kami tak
bisa mencapai bagian atas yang berbatasan dengan kelompok Hate Gou. Hambikiye
menjadi perhentian kami beberapa malam. Sambil menunggu hujan reda dan banjir
surut, team pun terpaksa untuk kembali ke dusun guna mengatur rencana lanjutan
pemetaan wilayah adat Waleino.
Menggambar Sketsa Wilayah Adat Oleh Beberapa Warga Waleino |
Suaib Kaibi, Sementara Menjelaskan Sketsa Wilayah Adat Waleino |
Team Pemetaan Menyebrangi Sungai Akelamo Saat Banjir |