Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut
Tulisan ini menggambarkan
situasi masyarakat adat di Maluku Utara pada 2014, termasuk
perjuangan mereka untuk memperoleh kembali hak-hak atas tanah,
wilayah dan sumberdaya alam.
Menjelang pergantian
tahun, tentu kita berharap banyak kedepan ada perubahan yang
berhubungan pemenuhan hak hidup masyarakat adat. Ini masih menjadi
harapan besar, walaupun tentu tanda-tanda kesitu terbilang sangat
kecil peluangnya. Kenapa demikian..?? mari kita melihat apa yang
terjadi pada tahun yang sebentar lagi kita lewati ini.
2014 bisa dikata sebagai
tahun dengan konflik hak yang masih terbilang tinggi, AMAN mencatat
ada 30 kasus agrarian yang terjadi pada tahun ini dan merata hampir
di semua Kab/Kota. Konflik tersebut diberbagai sektor, baik sector
pertambangan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur. Pertambangan,
perkebunan dan kehutanan mendominasi seiring kebijakan pemerintah
untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengandalkan
sector tersebut. Sementara infrastruktur dikarenakan upaya percepatan
pembangunan karena semangat otonomi daerah.
Kebijakan ini tidak
sejalan dengan percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat sebagai kelompok paling rentan dalam pembangunan.
Dalam kasus seperti masyarakat adat Banemo, Peniti, Masure, Lelilef
Sawai, Lelilef Woebulen, Gemaf, Woejerana, Lukulamo, Pagu, Gane,
Tobelo Dalam, Bicoli, Wasile, Loleo, Sagea, Buli, Sahu, dan Galela,
adalah gambaran dari ketidakadanya pengakuan hak-hak mereka sebagai
masyarakat adat. Pengabaian hak mereka yang telah diatur oleh UUD, UU
sektoral, maupun Putusan MK, itu mengakibatkan konflik terus-menerus
terjadi. Klaim hak menjadi dasar persoalan dalam perebutan ruang
(wilayah) dan sumberdaya alam disamping persoalan-persoalan lain yang
diperkarakan masyarakat adat seperti kerusakan lingkungan, krisis
social maupun kriminalisasi yang kerap terjadi seiring dengan
kebijakan tersebut. Perebutan ruang itu ibarat satu kebun, namun ada
tiga pihak (Negara, masyarakat adat, perusahan) saling klaim
penguasaan.
Masyarakat adat harus
berjuang sendiri agar Negara mengakui hak mereka atas tanah, wilayah
dan sumberdaya alam. Sementara Negara hadir dalam wajah yang berbeda.
Kehadiran Negara pada masyarakat adat identiknya investasi yang
massif. Belum lagi dilakukan tanpa melalui sebuah proses yang adil
dan terbuka yang melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan untuk
setuju atau tidak setuju atas kebijakan tersebut. Begitulah situasi
yang harus dihadapi masyarakat adat. Padahal hak mereka diakui oleh
Negara lewat produk hokum yang dihasilkan. Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, yang kita harapkan bisa di
implementasikan lebih kongkrit oleh pemerintah daerah dalam bentuk
Peraturan Daerah (Perda), ternyata satu tahun lebih setelah putusan
itu keluar tidak sama sekali dilaksanakan. Padahal putusan ini
menjadi jalan penyelesaikan konflik agrarian.
2014, melahirkan dilema
pembangunan. Tanah adat dan sumberdaya alam di dalamnya dijadikan
sebagai kontestasi yang lebih banyak merugikan masyarakat adat.
Hak-hak masyarakat adat terutama atas hutan dikoversi untuk kegiatan
perkebunan, pertambangan dan kehutanan, lalu masyarakat adat dilarang
untuk mengakses kawasan tersebut. Kasusnya seperti larangan PT WBN
kepada masyarakat adat Sawai untuk membuka lahan baru di wilayah
pertambangan mereka. Larangan Gubernur dan pihak Kehutanan kepada
masyarakat ‘Tobelo Dalam’ untuk tidak beraktifitas di dalam
kawasan hutan. Larangan Bupati Halteng kepada masyarakat Loleo yang
berkebun diatas tanah yang diklaim tanah Negara dan kawasan hutan.
Sebelum KPK melakukan
supervisi pertambangan, koleksi izin tambang di Malut sebanyak 335
IUP dengan luas wilayah tambang sebesar 2.618.670 hektar. Luas
daratan Maluku Utara yang tersisa 709.130 hektar. Itu juga belum
dihitung dengan perizinan di sector perkebunan seperti perusahan
sawit. AMAN memperkirakan hampir 70% wilayah adat di Malut sudah
dikonversikan menjadi areal tambang dan perkebunan.
Situasi ini tidak merubah
pandangan pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang
merugikan masyarakat adat itu. Bahkan terus dilanggengkan. Lebih
serius lagi, muncul klaim pemerintah bahwa hutan dan tanah semuanya
merupakan milik Negara. Ini pandangan yang sangat serius direspon,
sebab bias pemahaman hokumnya. Kecil kemungkinan konflik agrarian
akan terselesaikan, kalau pemahaman ini dipergunakan dalam perumusan
kebijakan baru terutama di sector sumberdaya alam.
Inkuiri Nasional
Tahun ini, AMAN mendorong
3 kasus masyarakat adat (Pagu-PT NHM, Sawai-PT Weda Bay Nikel dan
Tobelo Dalam-Taman Nasional) untuk masuk dalam perundingan nasional
atau Inkuiri Nasional Komnas HAM. Komnas HAM sendiri telah
memfasilitasi Dengar Pendapat Umum (DPU) untuk mendengar kesaksian
langsung dari masyarakat sebagai pengadu dan perusahan/pemerintah
sebagai teradu. Inkuiri Nasional ini sejalan dengan upaya bersama 12
Kementerian dan Lembaga (K/L) dibawah pimpinan KPK untuk
penyelesaikan konflik hak di dalam kawasan hutan, termasuk hak
masyarakat adat di Maluku Utara. Sehingga harapan besar Inkuiri bisa
mengeluarkan rekomendasi yang memungkinkan ada jaminan perlindungan
hak-hak masyarakat adat dikemudian hari.
Gerakan Pemetaan
Wilayah Adat
Pemetaan wilayah adat
sebagai bukti bahwa tanah, wilayah dan sumberdaya alam, bukan saja
milik Negara. Putusan MK 35 tentang Hutan Adat secara jelas
memisahkan hutan adat, hutan hak dan hutan Negara. Artinya jika di
Maluku Utara ada masyarakat adat mengklaim kepemilikan hak yang
dibuktikan berdasarkan sejarah asal-usul serta hokum adat yang
mengatur penguasaan tersebut, itu menjadi bukti kepemilikan mereka.
Beberapa komunitas
masyarakat adat seperti Hoana Pagu, Hoana Gura, Tobelo Dalam Dodaga,
telah menyelesaikan peta wilayah adat mereka. Peta ini sebagai
perwujudan bahwa mereka ada sehingga perlu diakui oleh Negara, bukan
sebaliknya. Peta juga dimanfaatkan sebagai alat dalam merencanakan
masa depan, juga menunjukan kedaulatan mereka atas sumberdaya alam di
dalamnya. Pemetaan wiayah adat terus dilakukan. Beberapa komunitas
masyarakat adat saat ini sedang dalam proses penyelesaian pemetaan.
Bagaimana 2015
nanti..??
Satu sisi kita masih
pesimis di 2015 nanti konflik agrarian di Maluku Utara akan
berkurang, apalagi kalau Master Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Indonesia (MP3EI) tidak ditinjau kembali Presiden Jokowi. Kajian
Komnas HAM (2014), MP3EI merupakan salah satu proyek yang tidak
berprespektif HAM. Di Maluku Utara sendiri, sector yang di dorong
dalam MP3EI adalah tambang di Halmahera dan perikanan di Morotai.
Pemerintah daerah juga masih mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam
sebagai basis utama pembangunan ekonomi daerah. Padahal kesalahan
demi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam ini sudah terjadi
berulang-ulang kali. Ketergantungan pada sumberdaya alam untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadi kesenjangan social,
bahkan masyarakat adat disingkirkan dari wilayah tinggal mereka.
Upaya masyarakat adat
dengan pemetaan wilayah adat harus direspon positif oleh pemerintah
dengan memberikan kepastian hokum hak milik atas wilayah dalam bentuk
Perda, sejalan dengan Putusan MK 35. Perbaikan tata kelola SDA
menjadi sangat penting. Pemerintah harus merubah cara pandang dalam
mengelola sumberdaya alam. Pengelolaan yang tidak berprespektif HAM
dan lingkungan hanya mendatangkan masalah yang membuat hidup
masyarakat adat semakin susah, bahkan tambah miskin. Kita tidak saja
punya tambang, ada juga potensi local seperti Pala, Cengkeh, Kelapa,
Perikanan yang nilai ekonomisnya juga tak kalah tertandingi. Potensi
ini belum digarap dengan baik. Pemerintah masih cenderung
mendahulukan industry ekstraktif sebagai unggulan pembangunan.
Akhir tulisan ini saya
ingin berkata, wilayah ini masuk kategori pulau-pulau. Luas daratan
kita lebih kecil dari luas lautan. Jika industry ekstraktif seperti
tambang kita dahulukan, itu adalah kecelakaan pembangunan.
Pembangunan harus berdasarkan karakteristik wilayah. Semoga kedepan
ada perubahan.