Global Warming atau pemanasan global saat ini
merupakan isu penting yang menjadi perhatian seluruh masyarakat dimuka bumi.
Pemanasan global memberi banyak dampak negatif terhadap kehidupan mahkluk hidup
dimuka bumi terlebih kepada manusia. Dampak yang terjadi seperti perubahan
iklim secara drastis yang menyebabkan mencairnya es di kutub. Ini merupakan
ancaman bagi ribuan bahkan jutaan orang yang tinggal dan hidup di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil karena naiknya permukaan air laut. Selain itu
perubahan iklim berdampak juga terhadap perubahan cuaca yang berakibat semakin
sulitnya petani tradisional dalam memprediksi cuaca untuk musim tanam ataupun
nelayan untuk musim tangkap ikan.
|
Bagoaha, kearifan lokal masyarakat adat di pulau Kumo |
Masyarakat adat
adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim
tersebut. Hal ini karena hampir sebagian
besar aktivitas mereka berhubungan langsung dengan alam. Alam telah menjadi
salah satu bagian penting dari semua aktivitas yang dilakukan. Masyarakat adat juga sebenarnya memiliki
bentuk-bentuk kearifan lokal yang biasa digunakan dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan alam. Kearifan-kearifan lokal ini merupakan hasil pengamatan
secara terus-menerus terhadap alam sekitarnya yang kemudian dijadikan sebagai
suatu kebiasaan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Hoana Gura dan Pagu
merupakan dua komunitas yang ada di pulau Halmahera diantara sekian banyak
komunitas adat yang masih mempraktekan kearifan-kearifan lokal tersebut. Karena
berada pada satu daratan, bentuk-bentuk kearifan lokal mereka sebagian besar
masih sama, hanya beberapa yang spesifik sesuai karakter wilayah masing-masing.
Kearifan Lokal Masyarakat
a
Memprediksi
Musim
Dalam
memprediksi musim khususnya musim angin yang akan berpengaruh besar pada musim
tanam serta musim melaut masyarakat Hoana Gura memiliki cara tersendiri. Mereka
biasanya melihat posisi awan yang ada di puncak gunung api. Bila awan berbentuk
garis lurus telah menutupi puncak gunung api maka itu pertanda akan ada angin
besar atau pergantian musim. Kebiasaan ini biasa dikenal dengan Mangele.
|
Seorang Ibu sementara mencari kerang di daerah padang lamun, Pulau Kumo |
Ini juga sering
digunakan untuk memprediksi musim melaut dan jenis ikan yang akan ditangkap.
Untuk musim tanam padi, masyarakat hoana Gura dan Pagu memiliki penanggalan
yang hampir sama. Musim tanam jatuh pada bulan Oktober - November dan waktu
panen pada bulan Maret - Juni. Indikasi dimulainya musim tanam dilihat dari
mulainya musim hujan pada bulan-bulan tersebut. Untuk penanggalan musim angin
berdasarkan kalender musim Hoana Gura, angin barat bertiup pada bulan Desember
- Mei, angin utara bertiup di bulan Juni – Juli, angin selatan bertiup di bulan
Agustus - September dan angin Timur bertiup di bulan Oktober – November
sedangkan berdasarkan penanggalan Suku Pagu, angin barat bertiup pada bulan
Desember – Januari, angin timur bertiup pada bulan Februari – April, angin
utara bertiup pada bulan Mei – Juni.
b.
Nanaku
|
Menanam Mangrove untuk mencegah abrasi |
Dalam melihat
perubahan musim, masyarakat Pagu dan Gura juga sering menggunakan cara
menandai/mengingat kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan sering
berulang. Masyarakat mengenalnya dengan “Nanaku”.
Nanaku digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang berdasarkan
pengalaman yang lalu dengan melihat tanda-tanda tertentu yang terjadi pada alam
ataupun perubahan perilaku hewan. Misalnya di masyarakat Gura, bila musim angin
selatan akan tiba, ditandai dengan adanya migrasi jenis burung Korehara ke wilayah mangrove di pulau
Kumo . Jenis burung ini terbang dari wilayah bagian selatan. Ini menjadi tanda
akan terjadinya perubahan musim angin, karena burung tersebut hanya terlihat
pada waktu tertentu saja, biasanya awal musim angin selatan. Kemudian ada juga jenis burung Luo-Luo yang bermigrasi ke wilayah pulau
Kumo dan Kakara pada saat akan tibanya musim Ikan Lompa karena ikan lompa
merupakan makanan burung ini. Selain
itu, perilaku hewan yang sering diamati untuk melihat perubahan alam yakni
suara burung Maleo. Burung ini bersuara pada saat air surut dan juga pasang.
Maleo masih menjadi penanda perubahan naik-turunnya air laut yang masih
digunakan oleh masyarakat Hoana Gura dan Pagu.
c.
Kearifan
Mengelola Alam
Masyarakat Hoana
Gura dan Pagu sebenarnya telah memiliki bentuk-bentuk kearifan dalam mengelola
alam. Kearifan ini berhubungan dengan aktifitas keseharian masyarakat dalam
mengambil hasil alam baik itu hasil di darat maupun hasil laut. Ada beberapa bentuk
kearifan lokal yang masih mirip antara Hoana Gura dengan Pagu.
Masyarakat Hoana
Gura mengenal dan masih mempraktekan beberapa bentuk kearifan lokal khususnya
dalam pengelolaan hasil laut.
1. Bagoaha; adalah Aktivitas mencari kerang, ikan
dan hasil laut lain. Dilakukan pada saat air surut baik siang ataupun
malam, menggunakan parang, saloi (bakul), dodofa (alat tikam). Aktivitas ini pada
pagi-sore pada saat air surut. Kearifan ini dilakukan bila terjadi musim angin
sehingga masyarakat tak bisa melaut.
2. Tototaka
; Batobo
(berendam di laut dengan air sebatas pinggang) kemudian menangkap ikan.
Caranya, melangkah maju, kemudian air di buat keruh, kemudian mundur kembali
sekitar 7 depa (sekitar 3 – 4 meter kebelakang), umpan dilepas ditempat air
yang keruh tadi. Cara ini digunakan pada saat musim ombak dan dilakukan di
sekitar pulau.
3. Bahidobongo
:
Mencari ikan di malam hari, saat air surut besar (air meti besar). Menggunakan
lampu ataupun obor, keranjang, parang dan tombak (hohoba). Pencarian dilakukan
pada air sebatas betis.
4.
Bahilo : Mencari hasil
laut (ikan, kerang dll) menggunakan perahu dan lampu. Dilakukan oleh 2 orang (
1 orang bertugas menjadi operator perahu dan yang 1 memegang tombak untuk
menikam ikan). Biasanya dilakukan pada musim teduh disekitar pulau.
5. Taugumi
: Aktivitas masyarakat banyak (sekitar 25 – 30
orang) untuk menangkap ikan di sekitar pulau Kakara. Menggunakan tali nilon dan
daun kelapa. Cara penangkapannya, daun kelapa dipasangkan pada tali nilon dan
di benamkan dalam air sampai menyerupai pagar dalam air. Ikan yang telah ada
dalam lingkaran kemudian digiring ke daerah yang airnya dangkal. Setelah itu
ikan yang telah terperangkap kemudian ditangkap menggunakan parang ataupun
tombak. (aktivitas ini sudah tak lagi dilakukan karena biasanya masyarakat
menggunakan racun sehingga ikut merusak karang).
6.
Sasi : merupakan
bentuk pelarangan pengambilan hasil alam sampai pada batas waktu tertentu yang
ditentukan. Saat ini Sasi telah dilakukan secara gereja atau dikenal dengan
istilah Sasi Gereja.
|
Kondisi bawah laut di Pulau Kumo |
Untuk masyarakat
Pagu juga memiliki bentuk kearifan dalam mengelola alam yang masih mirip dengan
masyarakat di Hoana Gura diantaranya :
1.
Tolak
Bala
; adalah bentuk ritual yang dilakukan sebelum pembukaan lahan untuk kebun
masyarakat. Biasanya dilakukan pada lahan yang baru pertama dibuka dari hutan.
2.
Bugo; adalah
bentuk larangan mengambil hasil alam yang ditandai dengan daun, batang tanaman
ataupun tanda tertentu. Bugo biasanya
dilakukan dengan menggunakan mantra-mantra tertentu yang berakibat sanksi dari
leluhur terhadap orang yang melanggar
3.
Bubugol; hampir
mirip dengan proses Bugo namun yang
membedakannya adalah bentuk sanksinya. Sanksi untuk Bubugol berupa sanksi yang langsung diberikan oleh dewan adat atau
ketua adat kepada orang yang melanggar.
4.
Sasi; mirip
dengan proses sasi gereja di Hoana
Gura
Pemanfaatan Mangrove
Bagi masyarakat
Hoana Gura, Mangrove atau lebih dikenal dengan Soki memiliki arti penting bagi kehidupan mereka yang ada di
pulau-pulau kecil. Mangrove atau Soki memiliki
fungsi sebagai lapisan pengaman pulau dari terpaan ombak, tempat pemijahan
bibit ikan, habitat burung dan biota laut seperti bia (kerang) dan Kepiting. Selain fungsi habitat, soki juga sering dijadikan sebagai obat
tradional bagi masyarakat yang tinggal disekitar pesisir pantai.
Abrasi yang
terjadi dalam 10 tahun terakhir telah membuat masyarakat Hoana Gura benar-benar
menjaga fungsi Soki ini. Di pulau
Kumo, telah dilakukan pembibitan kurang lebih 10.000 anakan Soki dari beberapa jenis untuk ditanam
ditempat-tempat yang rawan abrasi. Selain itupun mereka telah mengidentifikasi
jenis dan kegunaan Soki yang ada di
wilayah mereka.
Jenis
|
Ciri Pembeda
|
Kegunaan
|
Populasi
|
Soki-soki
|
1.Daun : agak panjang
2. Akar : tergantung
3. Warna batang pohon agak menghitam
4. Bentuk kulit batang
pohon ada retakan-retakan kecil
5. Buahnya berbentuk panjang
(40 cm), berwarna hijau tua
6. Warna bunga coklat
7. Daerah tumbuhnya di
wilayahnya yang berawa
|
1. Batang : Kayu Bakar dan alat
rumah
2. Buah : sebagai bibit tanaman
baru
3. Akar : bahan mainan
anak-anak
|
Dominan dari jenis yang lain
|
Posi – posi
|
1.
Daun : bulat
2.
Akar :
berbentuk seperti jarum yang tumbuh ke atas
3.
Warna
batang pohon coklat berbintik putih
4.
Bentuk
kulit batang utuh, tak ada retakan
5.
Buahnya
berbentuk bulat lonjong, berwarna hijau muda
6.
Warna
buah hijau
7.
Susah dibudidayakan
8.
Daerah tumbuhnya di wilayah yang pasirnya
lebih dominan
|
1.
Batang :
kayu bakar
2.
Kulit
batang : obat tradisional (demam dll)
3.
Akar :
biasanya dibuat mainan anak
4.
Buah :
dibuat mainan anak-anak (gasing)
5. Cabangnya biasanya di ambil untuk dijadikan
tempat pengasapan kopra karena kuat
|
Lebih sedikit dari Soki-soki
|
|
|
|
|
Menurut warga
Hoana Gura dan Pagu, dalam 10 tahun terakhir musim sudah sangat sulit untuk diprediksi.
Misalnya saja, untuk awal musim hujan yang biasanya jatuh di bulan Oktober
mulai bergeser ke bulan November sampai Januari. Kalau pun ada di bulan
Oktober, pasti intensitas hujannya kecil. Untuk musim hujan dan panas juga
sudah tak terbagi rata, biasanya per 6 bulan sekali. Tapi sekarang sudah acak.
Musim yang diprediksi sudah bergeser. Ini juga yang memberikan dampak bagi bagi
masyarakat Hoana Gura dan Pagu terhadap kelender musim mereka.
|
Menanam Magrove menyambut perubahan iklim |
Dalam beberapa
tahun terakhir ini telah terjadi bencana di dua wilayah tersebut. Di Hoana Gura
diperhadapkan dengan bahaya abrasi yang mengikis wilayah pulau Kumo, Kakara dan
Tagalaya. Ini menyebabkan air laut masuk sampai ke kebun warga bahkan sampai
dekat dengan pemukiman warga. Biasanya hal tersebut terjadi pada musim-musim
tertentu saja. Ini berdampak juga terhadap kelangkaan air bersih di pulau
Kakara.
Untuk wilayah
Pagu, bencana yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah kebakaran hutan
dan banjir. Kebakaran hutan terjadi dikarenakan musim panas yang panjang dan
tak seperti biasanya. Rumput alang-alang yang kering sangat rentan terhadap api
dan kemudian akan menjurus ke kebakarn hutan dan kebun-kebun warga. Selain itu
dalam lima tahun terakhir terjadi banjir besar disalah satu kampung masyarakat
Pagu. Hujan yang turun dengan intensitas yang tinggi mengakibatkan sungai
meluap hingga ke pemukiman warga.
Dalam
mengantisipasi hal-hal tersebut masyarakat di Hoana Gura dan Pagu telah
melakukan langkah-langkah adaptasi seperti penanaman mangrove di pulau Kumo,
identifikasi jenis mangrove, pendokumentasian kearifan lokal mengelola alam
serta kalender musim. Untuk masyarakat Pagu sendiri telah melakukan pemetaan
partisipatif untuk wilayah adat mereka serta mengkonsilidasikan kelembagaan
adat. Selain itu, kearifan-kearifan lokal yang diuraikan diatas tetap
dipraktekan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan alam yang terjadi. #abe
Editor : Ubaidi Abdul Halim