“ PEMETAAN WILAYAH ADAT DAN MEMAHAMI LEBIH
DEKAT HUBUNGAN SUKU TOBELO DALAM DODAGA DENGAN HUTAN SERTA BERBAGAI
PERMASALAHAN MEREKA ”
Tim Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga |
Matahari mulai menunjukan dirinya ketika team ekspedisi
suku Tobelo Dalam Dodaga tiba di dusun Tukur-tukur Desa Dodaga, sekitar jam 09
pagi, Senin 24 Januari.
Tukur-tukur merupakan anak dusun dari desa Dodaga yang mayoritas penduduknya
merupakan suku Tobelo Dalam Dodaga atau dalam bahasa setempat Ohongana Manyawa. Kurang lebih 20-an
kepala keluarga mendiami dusun ini lebih dari 14 tahun lalu ketika adanya
program resetlment dari Dinas Sosial waktu itu. Suku Tobelo Dalam Dodaga sudah
mendiami wilayah dataran wasilei sampai kearah perbatasan Buli sejak ratusan
tahun lalu.
Ekspedisi Tobelo Dalam, begitulah kami
menamakannya. Sebenarnya ekspedisi ini merupakan kelanjutan proses pemetaan
partisipatif wilayah adat Dodaga. Inisiatif untuk dilakukannya pemetaan datang
sendiri dari masyarakat Dodaga, menyadari adanya ancaman dari luar terhadap
hutan dan wilayah adat mereka.
Setelah seluruh anggota tim, Abah Kasiang, Abah
Lihang, Abah Uhe, Abah Madiki, Bung Jems, si bule Cai dan saya menyiapkan
berbagai peralatan sederhana dan breffing singkat, kami pun berangkat. DAN EKSPEDISI PUN DIMULAI
Menyusuri kebun warga dan aliran sungai-sungai
kecil hampir dua jam, kami pun tiba di
pintu masuk ke wilayah hutan tobelo dalam. Kicauan burung Rangkok dan Kakatua,
seakan mau mengucapkan selamat datang kepada kami dengan barisan pohon besar berbaris lurus menjadi pagar dalam
perjalanan kami hari ini. Tujuan kami hari ini adalah Magelenga, yang merupakan batas wilayah adat Dodaga dengan
Lolobata. Jalan yang licin, berbukit dengan sisi kiri kanannya adalah jurang,
membuat kami harus tetap ekstra hati-hati. Tiba di Magelenga, kami pun mengambil titik koordinat dengan GPS sambil
tetap menyalakan track jalur kami hari ini. Setelah itu, kami harus berhenti
sebentar untuk makan siang guna menambah stamina kembali.
Sagu, Ikan Ngafi (teri Halus) dan kopi panas
menjadi sajian pengobat rasa lapar.
Setelah makan siang kami kemudian melanjutkan perjalanan hingga
terdengar suara serangga yang merupakan penanda bahwa sore hampir selesai dan
malam akan datang. Dengan berbekal terpal, tenda pun didirikan seadanya
menggunakan bahan-bahan dari hutan yang tersedia. Makan malam pun segera
disiapkan. Setelah acara bangun membangun selesai dan makan memakan berakhir,
pentas seni tradisional menjadi acara penutup hari ini. Abah Kasiang pun
menjadi actor di pentas seni ini. Basalumbe
dan Bakabata menjadi nyanyian malam
dengan iringan musik suara binatang malam yang ikut berdendang bersama kami.
Pentas seni tanpa lampu dengan suasana gelap ditemani cahaya bulan yang
menembus celah-celah pohon besar dan sisa api di tungku yang hampir padam.
Menurut Abah kasiang, nyanyian ini sudah tak lagi dinyanyikan ketika mulai
adanya teknologi tape dan VCD. Anak muda pun tak lagi menguasai nyanyian
ini.
Track sungai dan kebun warga |
Hari berikut, tujuan kami adalah Luriiha, yang adalah batas antara Dodaga
dan Akelamo. Perjalanan hari ini menyusuri sungai Lolaiha. Batu-batu besar yang
licin merupakan track kami di hari yang kedua ini. Sekitar jam 2 siang kami pun
tiba di Luriiha. Pemandangan menarik sepanjang perjalanan kami adalah terpampangnya papan nama bertuliskan Taman
Nasional atau Taman Nasional Lolobata. Ini pertanda bahwa kami berada didalam
kawasan taman Nasional.
Saat makan siang, kami coba berdiskusi kecil
tentang taman nasional Lolobata. Menurut Abah Madiki, yang adalah kepala suku
Dodaga, Taman Nasional Lolobata masuk diwilayah ini tanpa Basiloloa (meminta izin/permisi) di masyarakat adat Tobelo Dalam
Dodaga. Pemerintah seenaknya saja menetapkan hutan kami menjadi taman nasional
padahal disitu ada kebun, tempat berburu, tempat sejarah dan hutan adat. Kami
pun dibatasi untuk masuk ke hutan dan mulai dilarang untuk berburu serta
memasang jerat.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, sampai
terdengar lagi suara serangga malam, menandakan tenda harus cepat-cepat
didirikan. Makan malam menanti kembali. Setelah itu kami mulai berdiskusi tentang kegelisahan mereka akan wilayah dan
hutan. Masalah yang sementara mereka hadapi adalah gempuran transmigrasi
dan himpitan taman nasional Lolobata.
Ini merupakan ancaman bagi wilayah adat mereka. Bagi mereka hutan memiliki
hubungan emosional tersendiri dengan suku Tobelo Dalam. Hutan menjadi tempat
berburu, tempat tumbuh tanaman obat, mencari hasil hutan dan juga sebagai
tempat lahir serta rumah mereka. Hutan juga merupakan tempat berdiamnya para
leluhur masyarakat Tobelo dalam.
Masyarakat Tobelo dalam memiliki cara
tersendiri memperlakukan alam mereka khususnya hutan. Ketika hasil buruan
mereka melimpah, mereka melakukan upacara Gumatere
sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan leluhur yang telah menyediakan
makanan bagi mereka. Di tempat-tempat tertentu dalam hutan, masyarakat dilarang
masuk karena merupakan daerah keramat yang dipercaya sebagai tempat
bersemayamnya para leluhur. Gunung menjadi penanda batas wilayah antar sesama
kelompok orang Tobelo Dalam. Bila mereka berburu dan binatang buruan mereka
masuk dalam wilayah kelompok lain, maka mereka tak mengejarnya lagi karena itu
telah menjadi bagian kelompok lain. Hal itu masih dipatuhi sampai sekarang.
Disepanjang aliran sungai tumbuh berbagai jenis tanaman obat yang biasa
dipergunakan oleh masyarakat.
Sebelumnya tak pernah terdengar raungan mesin
chainsaw didalam hutan sampai masuknya transmigrasi yang juga berperan dalam
penghancuran hutan adat kami, tutur Abah Uhe. Di Gunung, di dalam hutan dan
sungai ada sejarah asal muasal orang Tobelo Dalam Dodaga, cerita tentang para
tetua kami dan juga ada makanan dan obat-obatan. Bila gunung dan hutan hancur
maka sejarah kami pun hilang, cerita para tetua pun tak terdengar lagi dan kami
akan kelaparan karena hewan buruan tidak dapat kami jumpai juga leluhur pasti
akan marah, ujar Abah Lihang. Memang miris sekali mendengarkan hal ini. Para
tetua inipun berkomitmen untuk tetap menjaga wilayah adat mereka. karena yang
kami lakukan bukan untuk saat ini saja tapi untuk generasi kami turun temurun,
untuk anak cucu kami penerus suku Tobelo Dalam Dodaga, ungkap Abah Kasiang.
Memang benar yang diungkapkan para tetua ini.
Masuknya transmigrasi berpengaruh terhdap perubahan pranata budaya dan juga
dalam pengrusakan hutan adat masyarakat Tobelo Dalam Dodaga. Sama halnya juga
dengan penetapan kawasan taman nasional yang membatasi akses masyarakat dalam
mengelola hutan.
Perjalanan hari ke 3 dan ke 4, dengan menyusuri
sungai sambil sesekali keluar celoteh kejengkelan para tetua tentang adanya
taman nasional.
Di sore terakhir kami dalam hutan, para tetua
ini dengan kompak memperagakan tarian Cakalele
yang merupakan tarian perang dan tarian Tide-tide
dengan iringan music dari handphone sambil bercanda gurau dan pastinya
masih tetap semangat.
Perjalanan 4 hari ke dalam hutan adat Dodaga,
menyisakan berbagai cerita tentang bagaimana masyarakat Tobelo Dalam Dodaga
memperlakukan hutan serta hubungan emosional mereka dengan gunung, hutan dan
sungai.
Karena disana ada cerita dan disana ada sejarah…………….
(juniorabe.blogspot.com//Ekspedisi Tobelo Dalam Dodaga)
Abe Ngingi