Dampak ekspansi tambang masih terus merugikan keberadaan masyarakat adat
yang hidup di sekitar wilayah pertambangan. Dalam sebuah laporan yang
disusun oleh Shelley Marshall, Samantha Balaton-Chrimes dan Omar Pidani
menyoroti kasus penguasaan wilayah adat Suku Sawai dan Tobelo Dalam di
Maluku Utara oleh PT Weda Bay
Nickel. Laporan ini menyebutkan, bahwa hingga saat ini warga dari kedua
suku tersebut belum diberikan hak atas konsultasi atau hak atas
persetujuan penggunaan lahan terlebih dahulu secara sungguh-sungguh,
tanpa paksaan dan disertai penyediaan informasi yang cukup (free, prior, informed, consent) sebagaimana diwajibkan dalam standar Hak Asasi Manusia internasional dan standar IFC.
Penolakan Tambang Nikel di Maluku Utara |
Izin konsesi PT Weda Bay Nickel
ini menurut keterangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
telah merampas tanah 154 Kepala Keluarga Suku Sawai yang berada di dekat
wilayah pertambangan. Akibatnya, etnis Sawai kini kehilangan akses pada
lahan yang telah dibudidayakan secara turun temurun tersebut. Suku
Sawai juga kehilangan akses terhadap lahan, hutan dan kehilangan mata
pencaharian mereka.
Proyek yang merupakan bagian dari Bank
Dunia ini bernilai sekitar 500 juta dollar Amerika Serikat. Kandungan
nikel yang terdapat di perut bumi di wilayah ini diperkirakan mencapai 7
juta ton dan akan bisa dieksplorasi selama 50 tahun. Selain kandungan
tersebut, wilayah ini juga masih menyimpan sekitar 500 juta ton.
Setidaknya lima komunitas
masyarakat pesisir yang terpaksa kehilangan mata pencaharian mereka
akibat hilangnya tanah mereka, tiga diantaranya berada langsung di
wilayah konsesi: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf.
Masing-masing desa tersebut dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Mereka
tinggal tidak jauh dari pantai, dan bertani di hutan di sekitar rumah
mereka. Jika pertambangan berjalan, maka desa-desa inilah yang akan
terkena dampak lingkungan pertamakalinya akibat limbah pertambangan.
Kendati PT Weda Bay Nickel tidak memaksa mereka pindah, namun
komunitas ini terkena dampak langsung operasi tambang di wilayah mereka.
Masyarakat terpaksa melepaskan lahan mereka akibat tekanan yang begitu
kuat dari pihak perusahaan dan pemerintah setempat. Berdasar prinsip Free, Prior, Informed, Consent sejumlah pelanggaran ditemukan dalam penguasaan lahan masyarakat ini.
Pelanggaran Hak Atas Konsultasi dan Persetujuan Yang Bebas (Free)
Dalam kasus perampasan lahan ini, laporan ini memaparkan bahwa
komunitas tidak mendapat hak konsultasi dan hak untuk memberi
persetujuan atau tidak setuju terhadap status perubahan tanah mereka.
Hal ini melanggar Standar Perilaku IFC Nomor 7. Sementara Standar
Perilaku Nomor 5 mewajibkan perusahaan untuk melakukan perundingan
dengan itikad baik dengan siapa pun pemilik tanah tersebut, baik tanah
yang membutuhkan persetujuan atau tidak oleh masyarakat. Senada dengan
prinsip sebelumnya, hal ini pun tidak dilakukan oleh PT Weda Bay Nickel.
Prinsip lain yang juga dilanggar adalah prinsip Penyediaan Informasi
dan Konsultasi Yang Layak Terkait Ganti Rugi. Penelitian ini menemukan
bahwa proses yang dilakukan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan
pertambangan PT Weda Bay NIckel hanya pada tataran jumlah harga ganti
rugi, bukan pada persetujuan masyarakat setempat. Bahkan jumlah ganti
rugi yang diajukan kepada warga setempat telah ditetapkan secara sepihak
oleh pihak perusahaan tanpa negosiasi.
Tekanan dan Intimidasi
Selain keputusan yang sepihak, laporan ini juga mengungkap adanya
tekanan terhadap masyarakat adat setempat denga menggunakan aparat
keamanan. Dalam laporan Komnas HAM ditemukan bahwa satuan-satuan seperti
Brimob terlibat dalam tekanan dan intimidasi terhadap anggota
komunitas. Hal serupa juga dilakukan oleh pekerja PT Weda Bay Nickel
yang mengancam anggota komunitas karena tidak menandatangani perjanjian
ganti rugi.
Penggantian Harga Lahan Tidak Layak
Terkait dengan penggantian harga tanah untuk pertambangan, pihak
perusahaan menawarkan harga Rp 8000 per meter persegi (sekitar 70 sen dollar
AS) bersama dengan sejumlah ganti rugi untuk tanaman. Hal ini dinilai
melanggar prinsip internasional karena ganti rugi harus bisa melindubgi
komunitas dari dampak negatif proyek dan memenuhi persyaratan bahwa
ganti rugi harus mampu memulihkan dan meningkatkan sumber mata
pencaharian mereka yang hilang.
Korupsi Pembebasan Lahan
“Para petani hanya diganti dalam bentuk uang tunai dalam jumlah yang
sangat rendah setiap meter perseginya. Harga yang bahkan tidak cukup
untuk membeli sepotong makanan,” ungkap Dr. Balaton-Chrimes dalam
pernyataannya. Laporan yang disusun ini juga mengungkap sejumlah kasus
korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang terkait pembebasan
lahan dan pertambangan.
Terputusnya Akses Terhadap Keadilan
Akibat konflik perebutan lahan ini, sejumlah warga masyarakat telah
melaporkan hal ini kepada pihak Komnas HAM, dan lembaga tersebut telah
menindaklanjuti temuan mereka dengan laporan kepada pihak terkait di
Maluku Utara, namun hal ini pun tak mampu menyelesaikan masalah yang
ada. Sementara Badan Penyelesaian Keluhan PT Weda Bay Nickel tidak mampu
menangani isu-isu penting yang terkait dengan kasus-kasus pertanahan
dan perjanjian ganti rugi.
“Masyarakat yang dirugikan telah memasukkan keluhan hukum kepada
lembaga IFC milik Bank Dunia dan MIGA, namun hal ini tidak bisa
menyelesaikan masalah karena anggota masyarakat terlalu takut untuk
berpartisipasi dalam mediasi yang digelar bersama pihak perusahaan,”
tambah Dr. Marshall.
Rekomendasi yang disampaikan oleh para peneliti adalah memastikan
bahwa hak-hak ulayat komunitas yang terkena dampak tambang harus
dihormati dan dilakukan proses konsultasi dan pengambilan keputusan yang
semestinya.
Untuk mengakses laporan selengkapnya silakan klik di Link ini: http://www.buseco.monash.edu.au/blt/research/weda-bay-public-report-oct2013.pdf