“Di tengah-tengah
rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi oleh proses hukum di negeri ini, maka
masyarakat bisa kembali ke kearifan local untuk mencari alternatif. Ritual Sopik mungkin menjadi solusi
bagi pencari keadilan hukum, khususnya perkara perdata.”
Dalam skripsinya berjudul “Upacara
Sopik: Kearifan local dalam penyelesaian sengketa di kalangan masyarakat Tahane”,
Sukran Iksan menulis, pada zaman dahulu ada satu komunitas yang bermukim di sebuah
desa bernama Bunga Daiyo atau Daiyo Bunga (sekarang Tahane, Makian Pulau). Desa
itu dipimpin seorang Raja bernama Barbara. Raja Barbara memiliki dua orang
putra bernama Machimatali dan Simatali.
Setelah Raja Barbara Wafat, kedua
putranya saling merebut Tahta, akhirnya kedua sepakat meninggalkan Desa Bunga
Daiyo. Machiamatali sang kakak bersama pengikutnya ke Pulau Kayowa dan
mendirikan perkampungan Malabbono (Kampung tua red) sementara Simatali dan
Sekelompoknya bergeser kedolik Makian Tahane dan mendirikan perkampungan di
sana.
Seiring
berjalannya waktu, permusuhan kedua kelompok tetap berlangsung. Masing-masing
mengklaim Desa Bungan Daiyo sebagai pemiliknya. Tak jarang terjadi bakuhantam
antar kedua kelompok, bahkan sampai jatuh korban jiwa.
Para tetua (Toko
Masyarakat) kampong kebingungan menyaksikan pertentangan kedua kelompok kakak
beradik ini. Suda banyak solusi ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut,
tapi tak ada satu pun yang jitu. Permusuhan tetap berlangsung. Hingga satu
ketika, datang seorang ulama penyebar agama islam. Sebelumnya, ulama itu singga
dibeberapah desa di pulau Makian tetapi ditolak kehadirannya oleh masyarakat
setempat. Sang ulama tersebut akhirnya diterimah oleh Masyarakat Bunga Daiyo.
Di desa itu ia
mulai menyebarkan Agama Islam. Hamper seluruh masyarakat Desa Bunga Daiyo
memeluk Agama baru itu. Meski begitu, perebutan Wilayah antara Machiamatali
dengan Simata terus berlanjut.
Atas petunjuk sang
pencipta, sang ulama menawarkan sebuah solusi untuk menghentikan perseteruan
dua kelompok itu. Solusi yang ditawarkan
adalah “SOPIK” dengan cara ini diyakini dapat menentukan siapa pemilik sah atau berhak menguasai Wilayah yang
di sengketakan. Dari sinilah awal mula terjadi Ritual Sopik bagi masyarakat
Tahane yang hingga kini masih dilakukan untk mengadili sengketa perdata,
terutama sengketa tanah, Batas Kebun, Lokasi Rumah, pemilikan ternak dan
lain-lain.
Sopik berasal dari
kata “SO” dalam bahasa Tahane Artinya Mandi atau Menyelam di air yang dalam,
seperti di laut, di kolam atau sumur dan sungai. Biasanya, proses pelaksanaan
Ritual Sopik ini di lakukan hari jumat
suda di umumkan kepada masyarakat agar setelah Shalat Jumat semua warga
berkumpul di lokasi yang ditetapkan yang
biasanya di pinggiran pantai untuk menyaksikan pelaksanaan Ritual Sopik
Tersebut.
Para pihak yang
bersengketa di haruskan memilih masinh-masing perwakilan satu orang guna
melaksanakan Ritual Sopik. Siapa saja dipilih untuk mewakili para pihak, asal
jangan dari keluarga dekat (keluarga Inti). Ini semua dimaksudkan untuk
menghindari unsure subjektifitas demi mencapai keadilan selain untuk
menghindari korban jiwa dalam pelaksanaan ritual Sopik.
Mengapa ? karna
dalam pelaksanaan Sopik, yang mewakili para pihak menyelan di laut dengan
menggunakan batu sebagai pemberat. Siapa yang bertahan lebih lama di dalam air,
maka secara otomatis pihak yang di wakilinya memenangkan perkara.
Dan dalam Ritual
Sopik tidak mengenal siapa yang lebih panjang nafasnya atau ahli menahan nafas
selama mungki di dalam laut. Kerena panjang pendeknya nafas atau lama tidaknya
berada dalam air sangat tergantung pada pihak yang diwakilinya.
Proses Ritual
Sopik di pimpin seorang Imam (pemuka Agama) didampingi tokoh agama, tokoh adat
dan pemerintah setempat. Dua orang wakil pada pihak masing-masing memegang batu
yang akan digunakan sebagai pemberat tubuh saat menyelam. Sebelumnya, batu-batu
di bacakan Doanya oleh imam dan staf sara lainnya. Setelah diberikan batu,
kedua orang wakil parah pihak itu berjalan ke laut hingga air sebatas Leher.
Kemudian menuggu aba-aba dari Imam baru menyelam bersama.
Aba-aba dari Imam
berupa Syalawat sebanyak tiga Kali. Pada bacaan Syalawat yang ketiga, keduanya
langsung menceburkan diri kedalam laut dengan menggunakan pemberat dari batu
itu. Saat itu ketegangan menyilimuti semua masyarakat yang menyaksikan. Karena
menunggu siapa yang akan memenangkan perkara. Jika sala satu wakil yang
menyelam itu muncul duluan ke permukaan laut, tandanya ia kala dan otomatis
yang masih bertahan dalam air itu sebagai pemenang. Kalau suda demikian, maka
pihak yang bersengketa dengan iklas menerima kekelahan maaupun kemenangan.
Kedua pihak bersalaman, Doa pun di bacakan pertanda pengadilan perkara telah
usai.
Menurut pengalaman orang-orang yang perna mewakili
para pihak dalam melakukan Ritual Sopik itu, jika pihak yang diwakilinya pada
posisi bersala, maka ketika menyelam, nafasnya jadi sesak, semua material pasir
dan bebatuan berputar naik menyilimutunya, bahkan ikan-ikan kecil entah dari
mana datang mengerumuni dan mematok bagian mukanya, sehingga memaksa
bersangkutan melepaskan batu pemberat tubuh dan segerah muncul ke permuakan
laut. Jika bertahan mengakibatkan korban jiwa.
Sementara orang
yang mewakili pihak yang pada posisi kebenaran, maka selam dalam air terasa
pulas tertidur di kasur yang empuk,
sehingga kalau tidak dikagetkan dengan leparan batu dari Imam yang memimpim
upacara ritual itu,mungkinsaja seharian di dalam airpun tiak apa-apa.
Menurut H.Asis.H
Amuda, Imam Desa Moloku, Gane Barat Utara, bahwa Filosofi Sopik ini adalah “Air”.
Mengaku berpengalaman menjadi sala satu wakil dari pihak yang bersengketa untuk
melakukan Ritual Sopik di beberapa waktu lalu maupun sekarang sebagai Imam yang
sering memimpin Upacara Ritual Sopik, bahwa Air sebagai unsure inti dalam
ritual tersebut, dikaji dari segi mengandung makna yang dalam. Sehingga cocok
dipakai untuk mencari keadilan dan kebenaran.
Air dalam
tingkatan Tasawuf menurut dia, masuk dalam tingkat tarekat. Kecuali Adam (Nabi Adam) semua manusia
tercipta dari setetes air. Dari air pula Bumi ini disuburkan, pepohonan
tumbuh,tanamanpun hidup. Dan dari air jualah semua makhuk hidup minum dan
dipakai sebagai meteri pembersi tubuh. Seorang tukang batu pasti perna
menggunakan air untuk mengukur keseimbangan.
Artinya, dengan air kita bisa hidup,
kita dapat membersihkan diri, kita dapat menukur keseimbangan dan kebenaran
sebuah peristiwa perdata. Maka Ritual Sopik, secarah Adat dapat
dijadikan solusi penyelesaian kasus-kasus perdata di masyarakat. (AR. Sangaji).
Sumber: MOMENTUM, edisi 25 April 2013