Editor: Oka La Owi
Peliput: Amirudin Hi. Ibrahim
Peliput: Amirudin Hi. Ibrahim
WEDA – Lahan
pertanian warga trasmigrasi Kobe, Kecamatan Weda Tengah mengalami problem
serius. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Halteng tercatat 79 lahan petani
tidak bisa digarap. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Halteng,
Kamil Jumat menjelaskan, 79 lahan yang dinyatakan tidak bisa digarap lagi
itu diakibatkan terjadinya sedimentasi akibat proses penambangan yang dilakukan
oleh PT. Tekindo Energy Site Lelilef. “Lahan itu tidak bisa dimanfaatkan karena
tertimbun sedimentasi akibat aktifitas tambang nikel PT. Tekindo setebal 17
centimeter,” katanya.
Dalam hitung-hitungan matematika, bila dihitung kerugian material dari 79 lahan yang tidak digarap ini, dengan estimasi 1 kali penanaman dalam satu tahun, maka 79 lahan itu bisa terjadi kerugian sebesar 158 ton beras dalam satu tahun. Bila dihitung dalam bentuk uang, maka kerugian yang diderita oleh petani adalah sebesar Rp632 juta per satu tahun. “Ini bukan persoalan sepeleh, sebab sudah menyangkut masa depan warga trans, bayangkan saja kerugian material dan kerugian rupiah yang ditimbulkan sangat besar, ini persoalan serius, jadi harus ditangani dengan serius pula,” jelasnya.
Sedimentasi yang menimbun areal lahan warga sebanyak 79 lahan itu adalah tanggung jawab Dinas Pertambangan dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Dan hal ini telah disampaikan ke DPRD beberapa waktu lalu,” lanjut Kamil. Jumlah kerugian materil dan kerugian rupiah yang dihasilkan itu, tambah, Kamil tidak bisa dihitung dalam sumber pendapatan daerah tapi masuk dalam penghasilan warga atau PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). “Soal kerugian ini murni kerugian petani jadi tidak dihitung dalam kerugian PAD,” ujarnya. Kamil menyangkan, kerusakan lingkungan akibat terjadinya pencemaran lingkugan hidup itu. “17 centimeter itu sangat tebal. Dan tidak bisa dimanfaatkan untuk bertani, sebab proses dinetrifikasi pada akar itu tidak jadi karena pencahayaan tidak menembus hingga kedalam tanah,” timpalnya.
Lebih lanjut, Kamil mengaku, aktifitas petani utamanya di SP 1 Trans Kobe saat ini terpaksa menggarap lahan orang lain atau menjadi buruh tani dan mencari pekerjaan lain yang bisa mendatangkan uang. “Untunglah lahan warga yang ditinggalkan warga trans SP 1 lainnya itu masih bisa dimanfaatkan oleh warga lainnya,” tuturnya. Untuk mengatasi hal tersebut, langkah yang harus diselesaikan adalah Dinas Pertambangan Halteng dan BPLH Halteng segera mendesak PT. Tekindo Energi untuk memperbaiki sistem penambangan. “Karena semua sistem penambangan PT. Tekindo itu 90 persen bias dari dokumen Amdal,” tegasnya. Selain itu Kamil mengaku Dinas Pertambangan sendiri telah mendesak PT. Tekindo untuk melakukan ganti rugi. “Kemarin sudah ada kesepakatan per lahan sebesar Rp 3 juta, tapi sampai saat ini pihak perusahan belum menindaklanjuti hal itu, padahal jumlah ganti rugi itu masih sangat kecil nilainnya,” akunya.
Tidak itu saja, Kami sendiri mempertanyakan keberadaan para anggota DPRD Halteng utamanya dari Daerah Pemilihan (Dapil) Satu dan Komisi yang menangani persoalan masalah petani dan pertambangan itu sendiri. “Jika sewaktu-waktu reses keberadaan anggota DPRD ini harus melihat situasi dan kondisi dilapangan. Sehingga bisa mengetahui arah pembangunan pertanian, termasuk kondisi yang terjadi saat ini di SP 1 trans Kobe, jangan hanya asal ngomong,” tandasnya. (Sumber : Malut Pos.co.id/ http://malutpost.co.id/?p=14130 *)