Oleh: Radios Simanjuntak
Dosen UNIERA dan Mahasiswa Pasca Sarjana IPB
Indonesia memiliki 50
kawasan hutan dan perairan dengan status Taman Nasional. Merujuk pada UU
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian
Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Dari defenisi tersebut di atas, pembentukan taman nasional di Indonesia
lebih dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelestarian sumberdaya alam
yang dalam pemanfaatannya ditujukan bagi kepentingan sains modern dan
kepariwisataan, sementara adat bukan menjadi aspek yang dipertimbangkan
dalam pembentukan taman nasional. Oleh karena itu, sedikitnya 24 (dua
puluh empat) dari 50 (lima puluh) taman nasional yang sudah dibentuk,
kawasannya bertumpang tindih dengan wilayah adat atau terkait dengan
masyarakat adat (Kosmaryandi 2012). Kondisi ini diperparah dengan
penentuan sistem zonasi yang hanya mengadopsi sains modern dan tidak
mempertimbangkan adanya kearifan tradisional. Kriteria pembentukan
zonasi taman nasional belum dibangun dengan pola pikir kesetaraan dan
mutual benefit dengan masyarakat adat, sehingga terjadi ketidakselarasan
kriteria antara pola penggunaan ruang yang diterapkan pemerintah
(zonasi) dengan pola penggunaan ruang tradisional yang menyebabkan tidak
terpenuhinya persyaratan zonasi pengelolaan taman nasional.
Di Provinsi Maluku terdapat satu Taman Nasional yakni Taman Nasional
Aketajawe Lolobata (TNAL) yang ditunjuk melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan
luas mencapai ± 167.300. TNAL terdiri dari Blok Aketajawe yang berada di
Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Tidore Kepulauan serta
Blok Lolobata yang berada di Kabupaten Halmahera Timur.
TNAL merupakan salah satu taman nasional yang memiliki potensi konflik
dengan komunitas adat di dalam kawasannya, yakni Komunitas Tobelo Dalam
(O Hongana Ma Nyawa) atau yang lebih dikenal dengan Komunitas Tugutil.
Komunitas Tugutil, khususnya pada kelompok yang masih hidup dengan pola
nomaden, sangat bergantung dengan sumberdaya hutan yang dibuktikan
dengan cara hidup berburu, meramu dan ladang berpindah (Karim et al.
2006). Kondisi ini akan menyebabkan konflik dan tidak efektifnya zonasi
yang telah dibuat jika masyarakat tidak diberikan akses khusus tehadap
sumberdaya. Sebagai informasi, zonasi taman nasional di Indonesia
didasarkan atas UU No. 5 tahun 1990 yang terdiri dari zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Selanjutnya dalam PP
No. 28 tahun 2011, zonasi taman nasional meliputi zona inti, zona rimba,
zona pemanfaatan, dan atau zona lain sesuai kebutuhannya. Selanjutnya,
penjabaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional terdapat upaya
untuk mempertimbangkan keberadaan masyarakat dalam kawasan taman
nasional, yaitu dengan menambahkan “budaya” sebagai tujuan
pemanfaatanya. Penambahan “budaya” ini menjadi payung untuk zona
tradisional, religi dan budaya sebagai bagian dari zona lain taman
nasional. Adanya perbedaan zonasi dari masing-masing peraturan ini
menunjukkan inkonsistensi peraturan perundangan.
Terlepas dari hal tersebut, kriteria yang dibangun dalam Permenhut
tersebut bagi kawasan taman nasional yang berada dalam wilayah adat
menjadi sulit diterapkan karena penerapan kriteria akan menyebabkan
tidak terpenuhinya zona-zona yang dipersyaratkan. Sebagai contoh salah
satu kriteria dalam menentukan zona inti adalah mempunyai kondisi alam,
baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu
manusia, sementara itu salah satu kriteria yang harus dipenuhi dalam
penentuan zona tradisional adalah adanya potensi dan kondisi sumberdaya
alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional
oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada kawasan
seperti TNAL sangat sulit untuk menemukan kawasan yang masih asli dan
belum terganggu oleh kegiatan Komunitas Tugutil. Pola hidup dan sejarah
pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan yang nomaden menyebabkan
keseluruhan kawasan TNAL diduga menjadi daerah jelajah dan menjadi
tempat yang digunakan untuk sumber pemenuhan hidup dan kehidupannya,
sehingga keseluruhan kawasan tidak memenuhi kriteria zona inti,
sebaliknya dapat memenuhi kriteria sebagai zona tradisional. Pada
situasi seperti ini, pemerintah masih tetap mengharuskan adanya
zona-zona yang menjadi persyaratan minimal dalam sistem pengelolaan
taman nasional. Zonasi taman nasional yang ada di TNAL secara definitif
memang belum ada dan sampai saat ini masih menunggu keputusan dari
Kementerian Kehutanan. Zonasi yang ada pun hanya untuk blok Lolobata,
sedangkan blok Aketajawe masih dalam tahap perencanaan.
Setidaknya terdapat dua laporan yang menunjukkan tentang sebaran
Komunitas Tugutil di kawasan TNAL yakni Balai TNAL (2010) dan Indriani
(2009). Berdasarkan hasil interpretasi dari peta penyebaran diketahui
bahwa terdapat perbedaan mengenai titik sebaran Komunitas Tugutil di
dalam kawasan taman nasional. Penelitian Indriani (2009) menunjukkan
hanya satu titik penyebaran yang berada di dalam kawasan TNAL, sedangkan
berdasarkan peta dari TNAL setidaknya terdapat 8 titik penyebaran yang
terdapat di dalam kawasan TNAL. Perbedaan data penyebaran ini
dimungkinkan oleh pola hidup berpindah (nomaden) Komunitas Tugutil
karena penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda.
Kontradiksi
Berdasarkan gambaran di atas, terdapat kontradiksi pemanfaatan
sumberdaya alam oleh Komunitas Tugutil terhadap peraturan yang ada,
yakni adanya pemanfaatan kawasan di zona yang tidak sesuai peruntukannya
atau bentuk pemanfaatan satwa yang telah dilindungi oleh Pemerintah
Indonesia melalui PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa, seperti kuskus (Phalanger ornatus) dan rusa (Cervus
timorensis). Sementara itu Soa-Soa (biawak, Varanus sp.), yang
dimanfaatkan dengan mengambil langsung di alam, masuk dalam apdendix II
CITES yang seharusnya pemanfaatan hanya dari hasil perkawinan dalam
penangkaran (F1). Pola pemanfaatan ini juga kontradiksi dengan PP No.28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan bahwa pemanfaatan
tradisional hanya dilakukan secara terbatas bagi jenis yang tidak
dilindungi.
Ilustrasi legislasi di atas menjadi tidak bermakna ketika berhadapan
dengan masyarakat sekitar yang sepenuhnya bergantung kepada kawasan
hutan. Pengelolaan yang ada saat ini menjadi tidak efektif ketika
kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk mengambil sumberdaya hutan secara
langsung tidak terpenuhi akibat benturan dengan peraturan yang ada.
Kebijakan pengelolaan taman nasional belum bisa memberikan hak dan peran
masyarakat adat sesuai dengan prinsip keadilan karena masih di dasari
pada kepentingan nasional atau bahkan internasional. Penetapan dan
pengelolaan taman nasional dengan menutup akses terhadap kebutuhan
primer mereka selama ini, justru akan menyebabkan kelestarian hutan
sebagai tujuan konservasi tidak akan tercapai.
Oleh karena itu, pada kawasan taman nasional yang di dalamnya dihuni
oleh masyarakat adat sebaiknya diberikan kriteria khusus dalam peraturan
perundangan, baik dalam bentuk pengelolaannya maupun kriteria penetapan
zonasinya. Dalam konteks TNAL yang dikaitkan dengan peraturan
perundangan yang ada, maka kriteria zonasi untuk zona inti dan zona
rimba sudah tidak dapat dipenuhi karena Komunitas Tugutil bebas
memanfaatkan sumberdaya alam di seluruh kawasan hutan termasuk pada zona
inti dan zona rimba, atau dengan kata lain selama peraturan yang ada
tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat yang sepenuhnya bergantung
kepada hutan, seperti Komunitas Tugutil, akan terdapat kontradiksi
pengelolaan taman nasional secara formal. Sehingga diperlukan perubahan
kebijakan pengelolaan taman nasional dan adaptasi kriteria zonasi agar
dapat dipenuhi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati yang menjadi
mandat dibentuknya taman nasional dan kepentingan kehidupan masyarakat
adat di dalamnya. Selanjutnya penentuan jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai saat
ini juga belum didasarkan terhadap kajian kekinian. Belum ada kajian
parameter demografi (ukuran populasi, natalitas, mortalitas, kelas umur
dan sex ratio) dan dinamika populasi dari jenis-jenis yang dilindungi
tersebut yang seharusnya menjadi dasar status perlindungan. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai scientific authority yang
memberikan rekomendasi terhadap jenis-jenis yang dilindungi seharusnya
melakukan kajian tersebut. Akibatnya, orientasi konservasi yang ada saat
ini masih berada dalam tahap preservasi (perlindungan-pengawetan).
Padahal saat ini, semakin besar tuntutan terhadap multi fungsi kawasan
hutan, termasuk kawasan konservasi di dalamnya.
Dalam konteks jenis satwa dilindungi yang berada di TNAL yang
dimanfaatkan oleh Komunitas Tugutil, seperti rusa (
Cervus timorensis),
hendaknya dilakukan kajian parameter demografi dan dinamika populasi
untuk mengetahui apakah jenis ini memang tidak memungkinkan dimanfaatkan
atau sebaliknya jenis ini sangat memungkinkan dipanen/ dimanfaatkan
secara subsisten oleh Komunitas Tugutil untuk menjaga keseimbangan
ekosistem. (
Sumber :http://malutpost.co.id/?p=4880)